Site icon PinterPolitik.com

Heli AW-101: TNI-AU Nekat?

Foto: istimewa

Kasus pembelian helikopter AW-101 ini sebelumnya juga mendatangkan pro dan kontra karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri pernah meminta agar pembelian helikopter tersebut ditunda.


PinterPolitik.com

“It is not the young people that degenerate; they are not spoiled till those of mature age are already sunk into corruption” – Charles de Montesquieu (1689-1755)

[dropcap size=big]P[/dropcap]erang melawan korupsi adalah perjuangan untuk menyelamatkan generasi muda. Mungkin hal itulah yang menjadi catatan utama Montesquieu. Catatan tersebut juga sepertinya saat ini sedang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), setidaknya dalam kasus pengadaan helikopter Agusta Westland (AW)-101.

Berita terbaru, Polisi Militer (POM) TNI telah menetapkan tiga orang dari unsur TNI sebagai tersangka dugaan kasus korupsi pengadaan heli AW-101 tersebut. Ketiga tersangka tersebut diduga melakukan penyimpangan saat menjadi tim pengadaan heli AW-101. Tiga orang tersangka tersebut adalah Marsma FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa, Letkol WW sebagai pejabat pemegang kas dan Pelda SS yang diduga menyalurkan dana-dana terkait pengadaan ke pihak-pihak tertentu.

“Dari hasil pemeriksaan, penyidik POM TNI sudah memperoleh alat bukti yang cukup dan telah meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan. POM TNI sementara telah menetapkan 3 tersangka militer,” ujar Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam jumpa pers di Gedung KPK.

Proyek pengadaan itu disebut bernilai Rp 738 miliar dan menyebabkan kerugian keuangan negara yang untuk sementara diperkirakan sebesar Rp 220 miliar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya pernah meminta penundaan pembelian heli AW-101. Namun, perjanjian kontrak pengadaan sudah diteken pada 29 Juli 2016 antara TNI Mabes AU dan PT Diratama Jaya Mandiri.

Menariknya, Panglima juga berkoordinasi dengan Kepolisian, BPK, PPATK dan KPK dalam mengusut kasus ini. Hal ini jarang terjadi karena  TNI memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian pelanggaran di lingkungan militer.

Dalam konferensi pers bersama tersebut, Ketua KPK, Agus Rahardjo juga menyebut adanya indikasi mark-up berkaitan dengan pembelian helikopter tersebut.

“Dari laporan yang kami dapat, ini semacam mark-up ya, jadi semestinya harganya tidak sebesar itu. Itu kemudian di dalam kontraknya dinyatakan melebihi dari yang seharusnya dibeli,” tutur Agus. KPK akan membantu TNI dalam menyelidiki kasus ini khususnya untuk pihak-pihak dari sipil non-militer.

Berikut adalah rangkuman perjalanan kasus pembelian helikopter AW-101.

Jokowi Minta Tunda, TNI-AU Nekat Beli?

Kasus pembelian heli AW-101 ini sebelumnya juga mendatangkan pro dan kontra karena Presiden Jokowi sendiri pernah meminta agar pembelian helikopter tersebut ditunda. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah harganya yang terlalu mahal. Permintaan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung pada akhir 2015 lalu.

“Ada hal yang baru saja diputuskan oleh Bapak Presiden berkaitan pembelian helikopter untuk VVIP, di mana AU mengusulkan pembelian Merlin Agusta AW-101. Dengan mempertimbangkan dan juga mendengarkan berbagai masukan, presiden memutuskan untuk tidak menyetujui usulan pembelian Merlin Agusta Westland AW-101,” kata Pramono mengawali jumpa persnya di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Desember 2015 lalu.

Lalu, mengapa helikopter tersebut bisa jadi dibeli? Faktanya, Jokowi memang menolak pembelian helikopter tersebut yang sedianya akan digunakan untuk kendaraan VVIP bagi presiden dan tamu negara. Namun, setelah mendapat penolakan Jokowi, tiba-tiba muncul perencanaan dari TNI AU atas pesawat jenis yang sama dengan peruntukan untuk helikopter angkut berat. Hal tersebut salah satunya disampaikan oleh anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, Andreas Hugo Perreira. Anggaran pembelian pesawat itu pun telah dibayarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memfasilitasi rencana pengadaan pesawat VVIP Kepresidenan dari Sekertariat Negara.

Perubahan tersebut juga diungkapkan oleh KSAU saat itu, Marsekal Agus Supriatna yang menyebutkan bahwa helikopter tersebut dibeli untuk kebutuhan yang berbeda.

“Yang ditolak itu untuk VVIP. Ini untuk pasukan dan SAR tempur, sesuai kajian TNI AU,” kata KSAU Marsekal Agus Supriatna, pada Senin 26 Desember 2016 di Jakarta, dikutip dari harian Kompas edisi Selasa 27 Desember 2016.

Entah kebetulan dengan masa purna tugasnya atau tidak, Marsekal Agus Supriatna kemudian dicopot dari jabatannya sebagai KSAU pada 17 Januari 2017. Heli AW-101 tersebut sudah dibeli dan ada di Indonesia, namun hingga saat ini belum digunakan dan masih diparkir di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta serta dipasang garis polisi di sekitarnya.

Helikopter AW-101 diparkir di salah satu hanggar di Bandara Halim Perdanakusuma (Foto: jakartagreater.com)

Terkait pembelian helikopter tersebut, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AU Marsekal Pertama (Marsma) Jemi Trisonjaya, memberikan pernyataan yang cukup menarik.

“Bahwa TNI AU tidak mungkin membeli pesawat sendiri tanpa ada persetujuan dari pemerintah. Anggaran itu keluar kan dari Kementerian Keuangan. Bintang dicopot itu pasti sudah ada persetujuan dari beberapa stakeholder. Nah, itu saja penjelasan dari kita. Jadi enggak mungkin kita mengadakan pesawat sendiri sebenarnya kalau misalkan tidak ada persetujuan,” kata Marsma Jemi. Pertanyaannya adalah siapa yang ikut memberi persetujuan?

Helikopter Spesial?

Heli AW-101 disebut-sebut sebagai salah satu helikopter terbaik di kelasnya, khususnya dari sisi luas kabin. Dengan harga mencapai 55 juta dollar, helikopter jenis ini diklaim memiliki tingkat keamanan dan kenyamanan yang baik  serta mampu mengangkut banyak orang. AW-101 diklaim mampu mengangkut hingga 30 orang penumpang, mampu terbang hingga 6 jam, dan memiliki kecepatan maksimal mencapai 278 km/jam.

Namun, faktanya kecanggihan tersebut pun sudah ada pada jenis helikopter buatan PT DI, EC-725 Super Puma, bahkan dengan harga yang jauh lebih murah. Dari segi rahasia keamanan negara, penggunaan EC-725 buatan PT DI juga jauh lebih aman karena merupakan buatan dalam negeri. EC-725 pun sudah dipakai oleh sekitar 32 kepala negara di dunia, misalnya kepala negara Perancis, Spanyol, Turki, dan Korea Selatan. Sementara AW-101 buatan Italia baru digunakan oleh 4 kepala negara saja.

Helikopter Super Puma EC-725 (Foto: istimewa)

Hal yang membedakan keduanya adalah dari sisi interior saja, di mana interior AW-101 sudah dilengkapi keperluan tamu VVIP, seperti sofa dan dapur, serta kabin yang lebih nyaman dan luas. Namun, hal tersebut bisa didapatkan dari EC-725 dengan sedikit modifikasi interior.

Harga EC-725 saat ini mencapai 35 juta dollar dan jika ditambah modifikasi interior akan ada tambahan biaya 5 juta dollar. Jumlah total 40 juta dollar itu masih jauh lebih murah hingga 30 % jika dibandingkan dengan harga AW-101.

Salah satu interior helikopter AW-101 untuk jenis VVIP (foto: guiltymag.com)

Penggunaan helikopter buatan PT DI juga sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, misalnya terkait 20 % komponen dalam negeri. Pemerintah juga bisa menghemat anggaran hingga 30 % untuk pembelian helikopter tersebut dan tidak akan kesulitan membeli suku cadang dan perawatan helikopter tersebut karena tersedia di dalam negeri.

Helikopter AW-101 memang lebih istimewa dari sisi interior, namun bukan berarti EC-725 tidak bisa disebut istimewa juga – bahkan jauh lebih istimewa jika dilihat dari sisi harganya. Selain itu, EC-725 juga merupakan helikopter buatan dalam negeri, sehingga pemerintah juga ikut membantu membesarkan PT DI yang saat ini mempekerjakan sekitar 700 orang karyawan.

Era Baru Bagi TNI?

Penelusuran korupsi dan penyalagunaan wewenang dalam pembelian helikopter AW-101 ini bisa menjadi jalan masuk bagi pemberantasan korupsi lain di tubuh TNI. Saat ini, kasus korupsi di tubuh TNI jarang disidik, apalagi sampai bekerjasama dengan KPK. TNI memang punya kewenangan dan otoritas tersendiri dalam mengurus berbagai kejahatan yang terjadi dalam tubuh militer.

Hal yang dilakukan oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo ini patut diapresiasi bagi sepenuhnya ‘bersih-bersih’ korupsi di tubuh TNI. Selain itu, reformasi dalam mekanisme pengadaan barang juga perlu dilakukan agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Dengan adanya kerugian negara, ujung-ujungnya masyarakatlah yang dirugikan karena dari uang rakyatlah semua itu dibiayai.

Pada akhirnya, pemberantasan korupsi memang menjadi pekerjaan rumah untuk menciptakan generasi baru yang bersih dan bebas dari mental koruptif. Hubungan yang kondusif dan saling mendukung antara sipil dan militer juga penting bagi terwujudnya negara yang kuat dan solid.

Dengan demikian, TNI tentu tidak akan galau apakah akan membeli AW-101 atau EC-725 karena tahu bahwa untuk kepentingan bangsa dan negaralah anggaran itu digunakan. Mari kita tunggu sejauh mana Jenderal Gatot dengan bantuan KPK dapat menyukseskan aksi ‘bersih-bersih’tersebut. (S13)

 

 

Exit mobile version