Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia?
Dalam sejarah panjang geopolitik dunia, satu hal yang hampir selalu konsisten adalah adanya pembagian kekuasaan antara beberapa kekuatan besar. Dunia cenderung lebih akrab dengan sistem multipolar atau bipolar. Pada masa Perang Dingin misalnya, dunia terbelah antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Bahkan, beberapa pengamat menilai Tiongkok juga memainkan peran penting yang membuat dunia mendekati sistem tripolar.
Sebelumnya, di zaman kekaisaran Romawi yang sering disebut sebagai simbol dominasi peradaban Barat, kekuasaan dunia yang dikenal saat itu masih terbagi dengan kekuatan besar lain seperti Kekaisaran Parthia di Timur dan Kekaisaran Han di Tiongkok. Tidak pernah ada satu kekuatan tunggal yang secara absolut mendominasi dunia.
Namun hari ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, kita hidup di bawah sistem unipolar. Sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, AS menjadi satu-satunya negara dengan kekuatan militer, ekonomi, dan politik yang tak tertandingi. Hegemoni AS meluas ke hampir semua aspek kehidupan global: dari keamanan internasional, ekonomi global, hingga budaya populer.
Menariknya, meski melahirkan era yang relatif cukup “stabil”, sistem ini juga melahirkan tantangan-tantangannya sendiri, baik secara ekonomi, maupun secara politik. Kondisi ini lantas memunculkan pertanyaan mendasar: sebenarnya sistem hegemoni seperti apa yang ideal untuk politik internasional?
Harga Mahal dari Unipolaritas?
Banyak ilmuwan politik dan sejarahwan memandang sistem unipolar sebagai sesuatu yang rapuh dan mahal untuk dipertahankan. John Mearsheimer, seorang pemikir realis ternama, dalam berbagai tulisannya menekankan bahwa unipolaritas adalah hal yang cukup bersifat anomali dalam politik internasional.
Ia berpendapat bahwa negara-negara besar lainnya pada akhirnya akan mencari cara untuk menyeimbangkan kekuatan hegemon demi menjaga keberlangsungan hidup mereka sendiri. Ini merupakan refleksi dari teori keseimbangan kekuasaan klasik, yang menyatakan bahwa sistem internasional secara alami akan selalu mengarah kepada terciptanya balance of power.
Paul Kennedy dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers memperkenalkan konsep imperial overstretch—yakni kondisi di mana suatu kekuatan besar terlampau membebani diri sendiri dengan tanggung jawab global, melebihi kapasitas ekonomi dan politik domestiknya.
Mearsheimer juga menambahkan dalam berbagai artikelnya bahwa unipolaritas menuntut suatu konsep yang disebut “the price of hegemony“—harga yang harus dibayar untuk mempertahankan status hegemonik. Biaya ini tidak hanya berupa uang dan tenaga, tetapi juga legitimasi dan reputasi. Saat ekspektasi dunia terhadap suatu negara adidaya terus meningkat, maka beban domestik negara adidaya itu untuk menjaga kestabilan juga akan semakin meningkat. Dengan kata lain, unipolaritas bukan hanya menantang secara geopolitik, tetapi juga kurang sustainable secara struktural.
Dunia yang terlalu bergantung pada satu kekuatan untuk menjaga stabilitas global justru menjadi lebih rentan terhadap guncangan. Ketika hegemon mengalami krisis, tidak ada kekuatan lain yang siap membantunya secara instan. Inilah mengapa banyak kalangan melihat sistem multipolar—atau setidaknya bipolar—sebagai struktur yang lebih stabil dalam jangka panjang.
Pelajaran Sejarah dan Kemungkinan Masa Depan
Tentu saja, semua ini masih berada dalam ranah analisis teoritis. Politik internasional, sebagaimana sejarahnya, selalu penuh kejutan. Unipolaritas mungkin belum pernah benar-benar sukses dalam sejarah manusia, tetapi bukan berarti ia tidak bisa berhasil kali ini. Dunia telah berubah: teknologi komunikasi, globalisasi ekonomi, dan kerja sama multilateral memberikan alat-alat baru bagi kekuatan hegemonik untuk mempertahankan posisinya.
Meski demikian, sejarah memberi kita pelajaran berharga, bahwa keseimbangan kekuasaan yang stabil kerap kali muncul dalam sistem yang terbagi ke dalam tiga kekuatan utama. Tripolaritas, seperti yang sempat terlihat dalam era Perang Dingin antara AS, Soviet, dan Tiongkok, atau dalam sejarah kuno saat kekaisaran Romawi, Parthia, dan Han saling mengimbangi, memberi ruang untuk stabilitas relatif. Bahkan dalam konteks mitologi dan budaya politik, sistem tiga kutub kerap dianggap sebagai format yang paling seimbang—tidak terlalu biner, namun juga tidak terlalu terfragmentasi.
Namun, melihat realita hegemoni saat ini yang sudah berlangsung sekian dekade, mungkin pertanyaannya bukan lagi apakah unipolaritas ideal, tetapi apakah dunia siap beradaptasi dengan realitas baru yang lebih kompleks. Mungkin saja untuk pertama kalinya, unipolaritas bisa menjadi sistem yang stabil—tetapi hanya jika ia mampu mereformasi dirinya dari dalam.
Karena dalam dunia yang terus berubah, stabilitas tidak pernah datang dari kekuasaan semata, tetapi dari kemampuan untuk beradaptasi. (D74)