“Selama ini, Kementerian Agama sering dimintai rekomendasi muballigh oleh masyarakat. Belakangan, permintaan itu semakin meningkat, sehingga kami merasa perlu untuk merilis daftar nama muballigh,” ~ Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]encari penceramah untuk mengisi mimbar-mimbar kajian agama memang gampang-gampang susah. Di masa khusus sepeti bulan Ramadan, permintaan penceramah meningkat drastis sehingga tidak mudah mendapatkan nama ulama yang sesuai kriteria. Apalagi, kini banyak ulama yang disebut-sebut berhaluan radikal sehingga harus berhati-hati dalam memilih nama.
Untuk menjawab keresahan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) membuat terobosan khusus. Kementerian tersebut merilis 200 nama penceramah terekomendasi yang merupakan hasil seleksi. Ada kriteria khusus yang diberlakukan untuk menyeleksi nama-nama tersebut.
Meski tergolong baru, rilis tersebut ternyata tidak sepenuhnya disambut positif. Banyak pihak menganggap bahwa daftar tersebut berpotensi memecah-belah masyarakat. Beberapa nama yang terseleksi bahkan menolak untuk diikutsertakan pada daftar tersebut.
Sekilas, langkah Kemenag ini memang dapat dimengerti. Saat ini memang banyak nama-nama ulama yang terindikasi berpaham ekstrem, sehingga bisa saja diperlukan institusi yang menentukan ulama mana saja yang pemikirannya tidak berbahaya. Meski begitu, apakah rilis tersebut benar-benar tepat?
Nama-nama Terpilih
Sebelum mengeluarkan rilis, Kemenag mengaku bahwa selama ini kerap dimintai masyarakat rekomendasi ulama-ulama yang dapat menjadi sumber ilmu agama mereka. Oleh karena itu, Kemenag menilai daftar nama ini adalah hal yang penting untuk dirilis.
Menurut Kemenag, rilis ini masih merupakan tahap awal. Jumlah penceramah terekomendasi tersebut masih akan bertambah seiring dengan masukan dari berbagai pihak. Nama ulama yang tidak masuk daftar awal ini tidak berarti mereka tidak memenuhi kriteria.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyebut bahwa seleksi 200 nama penceramah itu dilakukan dengan sejumlah kriteria. Kriteria yang dimaksud adalah kompetensi keilmuan agama, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi.
Alasan lain dari rilis 200 nama penceramah ini adalah untuk mencegah paham radikal tumbuh subur di tanah air. Kemenag merasa perlu melakukan penyisiran seiring maraknya penyebaran paham radikal yang memecah belah masyarakat.
Jika dilihat, nama-nama yang masuk ke dalam daftar tersebut dapat dikatakan berasal dari beragam golongan. Beberapa ulama terkemuka dari ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah masuk ke dalam daftar tersebut. Selain itu, ada pula nama-nama penceramah yang kerap hadir di layar kaca seperti Abdullah Gymastiar (Aa Gym), Arifin Ilham, atau Yusuf Mansur.
Meski begitu, ada penceramah-penceramah tenar yang tengah digandrungi masyarakat justru tidak masuk ke dalam daftar tersebut. Nama-nama populer di media sosial seperti Felix Siauw, Abdul Somad, Khalid Basalamah, atau Adi Hidayat absen dari daftar tersebut.
Hal inilah yang menjadi salah satu sumber polemik di masyarakat. Beberapa orang menilai bahwa rilis rekomendasi Kemenag tersebut berbahaya karena berpotensi menimbulkan polarisasi ekstrem di masyarakat. Kebijakan tersebut dianggap dapat memicu kegaduhan di antara umat Islam sehingga harus segera dicabut.
Selain itu, kebijakan tersebut dianggap sebagai intervensi berlebihan negara dalam urusan agama. Padahal, selama ini agama dianggap sebagai hal yang privat sehingga tidak perlu campur tangan berlebihan dari negara.
Hegemoni Lewat Penceramah
Jika diperhatikan, langkah Kemenag ini dapat dipandang sebagai sebuah upaya negara untuk menunjukkan hegemoninya dalam urusan agama. Terlihat bahwa ada prinsip moral khusus yang dibuat oleh Kemenag untuk menentukan penceramah mana yang terekomendasi dan mana yang tidak.
Ada banyak teori tentang hegemoni, salah satu yang terkemuka adalah dari Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, di dalam hegemoni, ada sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, di mana sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan secara institusional atau perorangan.
Menurut Gramsci, hegemoni menjadi sarana kultural dan ideologis kelompok dominan untuk melanggengkan dominasinya. Kelas yang dominan tersebut mampu mendominasi kelompok yang lebih lemah dengan menggunakan ideologi.
(Muballigh 3) Rilis itu tak blh dianggap sbg akreditasi atau seleksi. Sebab kita tahu, bnyk yg tdk masuk dlm daftar tp nyata2 bagus sbg muballigh. Sebaliknya ada nama2 di dlm daftar itu yg mungkin blm diketahui oleh publik kapasitasnya sbg muballigh. Jgn disikapi berlebihan lah.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) May 20, 2018
Terlihat bahwa pemerintah memiliki prinsip-prinsip moral yang didiktekan kepada masyarakat melalui rilis 200 nama penceramah tersebut. Pemerintah seperti sedang membuat standar-standar khusus untuk menentukan penceramah yang sesuai dengan keinginan mereka.
Memang saat ini standar yang dimaksud masih bersifat abstrak, seperti kompetensi keilmuan agama, reputasi yang baik, atau berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Meski begitu, tidak diikutkannya nama-nama seperti Felix Siauw atau Abdul Somad menyiratkan ada standar lain yang dibuat pemerintah.
Kedua ustaz tersebut dikenal kerap bersikap berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Siauw misalnya identik dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang beberapa waktu terakhir kerap berlawanan dengan pemerintah. Aspek oposisi ini bisa menjadi standar lain pemerintah dalam menentukan 200 nama penceramah terekomendasi. Oleh karena itu, pemerintah harus mendikte kelompok tersebut melalui prinsip-prinsip dalam pemilihan 200 nama penceramah terekomendasi.
Jika merujuk kepada Gramsci, dominasi ini tidak akan membuat kelompok yang terdominasi merasa ditindas. Kelompok terdominasi tersebut cenderung akan melihat bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa saja. Hal ini tercermin misalnya dari respons sebagian masyarakat yang tidak menganggap serius daftar nama tersebut.
Meski demikian, jika dibiarkan liar tanpa penjelasan yang terang, hegemoni ini bisa berujung pada polarisasi. Rilis nama tersebut seolah menimbulkan dikotomi antara penceramah yang sesuai standar pemerintah dan yang bukan. Alih-alih menimbulkan dominasi, pemerintah bisa jadi semakin ditinggalkan karena ada kelompok masyarakat yang memilih berpihak pada ulama yang tidak masuk daftar.
Pentingnya Penegakan Hukum
Salah satu referensi yang kerap digunakan untuk melegitimasi daftar 200 nama tersebut adalah Arab Saudi. Negeri petrodolar tersebut pernah melakukan langkah khusus untuk menangkal radikalisme yang berasal dari mimbar-mimbar para pengkhotbah.
Sejak 2003, negeri padang pasir tersebut telah aktif memecat ribuan ulama yang terindikasi melakukan ceramah berbau radikal dan provokasi. Ulama-ulama tersebut adalah imam-imam yang terdaftar dan digaji oleh pemerintah melalui Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Tuntutan Agama (MOIA).
Dalam sebuah laporan disebutkan bahwa Arab Saudi telah memecat 3.500 ulama yang terindikasi radikal. Langkah ini merupakan salah satu bagian dari upaya negara penghasil minyak tersebut dalam mencegah terorisme. Pemecatan tersebut tidak serta-merta dilakukan karena mereka berpaham ekstrem, tetapi karena mereka juga telah melanggar aturan adminstrasi.
@Kemenag_RI tak perlu memfilter penceramah, jumlahnya jutaan, filter penceramah dan dai ada di MUI yg bekerjasama dgn DMI dan DKM Masjid, umat juga menjadi filter. Selama ini sdh jalan proses itu dan berjalan lancar. Rilis dari kemenang menjadi tak elok utk persatuan umat
— Mardani Ali Sera (@MardaniAliSera) May 20, 2018
Arab Saudi melakukan langkah tersebut dalam rangka memodernisasi pendidikan agama dan meminimalisasi kemungkinan salah tafsir teks. Secara khusus, pada tahun 2010, Raja Abdullah bin Abdul Aziz menerbitkan dekrit yang membatasi ulama mana saja yang bisa menerbitkan fatwa agar tidak sembarangan.
Jika memang Arab Saudi menjadi referensi, maka idealnya pemerintah melalui Kemenag mengambil langkah yang serupa. Alih-alih mengeluarkan daftar 200 nama penceramah terekomendasi, untuk mengatasi ceramah berbau provokasi, pendekatan hukum menjadi hal yang lebih penting. Ada unsur aturan yang ditegakkan dalam langkah Riyadh memecat ulama-ulama radikal.
Jika yang dituju memang adalah benar menghindari paham-paham ekstrem, maka langkah hukum tergolong lebih tepat ketimbang membuat dikotomi penceramah terekomendasi dan tidak. Ulama-ulama yang memang dianggap menanam benih terorisme dapat diproses secara hukum untuk menghindari aksi teror yang lebih luas.
Penegakan hukum cenderung dapat lebih mudah menghindari bias dan polarisasi. Tindakan baru akan diambil jika telah terbukti seorang ulama menyebarkan ajaran-ajaran berbau radikalisme yang dapat memicu aksi teror. Dalam hal ini, penindakan baru dapat dilakukan jika unsur-unsur pidana telah dilanggar oleh penceramah.
Langkah tersebut cenderung lebih aman untuk menangkal penyebaran paham radikal, jika benar yang dimaksud adalah demikian. Jika tidak, langkah ini bisa jadi hanya untuk melanggengkan hegemoni pemerintah. Hal ini terlihat terutama melalui absennya sejumlah penceramah yang kerap berseberangan dengan pemerintah. Penerbitan daftar tersebut membuat pemerintah bisa mengeksklusi ulama-ulama yang berseberangan tersebut. (H33)