Kementerian Keuangan RI merasa perlu menegaskan bahwa bitcoin (BTC) tidaklah aman untuk investasi. Saat ini, harga 1 BTC telah menyentuh 250 juta rupiah.
PinterPolitik.com
“Kalau dia merupakan suatu currency yang competing terhadap currency yang formal di Indonesia, itu adalah suatu yang harus di-address oleh BI. Kalau dia investasi, harusnya OJK yang keluarkan statement, apakah badan atau produk seperti itu memang safe bagi investasi,”
-Menteri Keuangan Sri Mulyani-
Pamor bitcoin belakangan ini kembali memuncak. Keramaiannya telah menjadi buah bibir masyarakat dan telah sampai ke telinga pejabat negara.
Sebelumnya, mata uang virtual atau digital ini sempat booming juga di Indonesia pada 2013. Sejumlah liputan merekam beruntungnya para OKB (orang kaya baru) berkat bitcoin yang dulu bernilai hanya belasan ribu rupiah, namun sekarang telah mencapai ratusan juta rupiah. Beberapa liputan juga menampilkan proses ‘menambang’ bitcoin dengan modal VGA komputer super banyak yang ditaksir menghabiskan modal ratusan juta rupiah.
Pejabat keuangan negara pun diminta bertanggung jawab untuk merespon kegaduhan ini. Namun, sejauh ini responnya belum sampai pada tahap melarang ataupun mengakomodasi kehadiran bitcoin dalam kebijakan. Yang ada hanyalah warning saja, tentang potensi risiko yang bisa diterima oleh para peminat investor bitcoin.
Sri Mulyani Wanti-wanti Tak Investasi Bitcoin https://t.co/1Rn9CJnMNk
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) December 7, 2017
Tahun ini memang ditandai oleh lonjakan nilai tukar bitcoin yang hampir tidak masuk akal. Awal Januari 2017, nilai tukar bitcoin masih berkisar di angka 10 juta rupiah. Lalu, memasuki bulan September 2017, nilai tukar bitcoin telah menyentuh 100 juta rupiah, dan melesat sampai 250 juta dalam empat bulan.
‘Bubble’ bitcoin seperti ini bisa menyebabkan nilainya ambruk sewaktu-waktu. Kenneth Rogoff, professor ekonomi dari Harvard University berpendapat, akan ada titik lesu bitcoin, yang pada akhirnya berujung masuknya regulasi pemerintah dan menurunnya harga. Sejarah menunjukkan pola seperti itu. Ia juga menyebut teknologi ‘uang daring’ akan terus berkembang, namun bitcoin sendiri tak lagi akan semahal saat ini.
Semua investor yang memilih bitcoin tentu sudah sadar. Tidak ada sekuritas yang dijamin otoritas keuangan, maka potensi merugi besar-besaran dapat terjadi kapanpun.
Namun, benarkah prospek bitcoin sampai di sini saja? Lalu, apakah mata uang daring seperti ini aman bagi establishment tatanan ekonomi politik suatu negara?
Pemerintah, Musuh Anarki Bitcoin
Pertama-tama, penting untuk mengerti bahwa bitcoin adalah mata uang semi-virtual dan bukan digital sepenuhnya. Bila berbicara tentang uang dalam ekonomi digital, maka kita berbicara tentang suatu komoditas ekonomi riil yang di-digitalisasi. Misalnya, penggunaan kartu tapcash yang saldonya dihitung dalam rupiah. Sementara uang virtual, lebih kepada bentuk uang yang tidak ada bentuk riilnya. Paling sering digunakan di belanja konten-konten permainan daring (game online).
Bitcoin jelas bukan uang digital, namun tidak bisa juga dibilang virtual. Pada tahap branding awalnya, bahkan bitcoin benar-benar diberikan gratis sebagai reward seseorang dalam game online. Lama-kelamaan, bitcoin bisa untuk dibelanjakan secara sungguhan. Tak berbentuk riil, namun sudah mulai digunakan untuk belanja riil. Bingung? Biarkan Market Mogul menjelaskan pada anda.
Nah, bitcoin dan semua jenis cryptocurrency (jenis mata uang digital) yang beredar saat ini berangkat dari ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan negara. Negara terbukti berkali-kali lalai dalam mengelola sistem perbankan yang berujung pada krisis ekonomi. Bitcoin sendiri, diinisiasi setelah krisis ekonomi 2008, dengan gagasan desentralisasi keuangan sebesar-besarnya sampai pada tahap individu. Gagasan yang cukup anarki, jika ingin disebut demikian.
Maka, untuk menciptakan anarko-individu yang merdeka dari sistem perbankan tradisional, bitcoin memberi kemampuan individu untuk ‘mencetak’ uang sendiri. Istilahnya, ‘menambang’. Sistem ‘penambangan’ ini mensyaratkan kemampuan algoritma yang mumpuni untuk memecahkan kode, di mana setiap kode yang tepat akan diberi reward sejumlah milicoin.
Dengan ‘penambangan’ sebagai satu-satunya metode untuk memperoleh setiap keping bitcoin secara orisinil, maka ada suatu merit system (sistem yang mensyaratkan kecerdasan sebagai syarat kualifikasi) yang diinginkan. Hanya yang terbaik dan tercerdas yang dapat menjadi kaya. Karenanya, tak hanya anarki, seseorang pun harus menjadi cerdas untuk juara. Yah, survival of the fittest ala-ala Darwinis lah.
Tapi, selain ‘menambang’, fenomena jual beli atau ‘investasi’ dari uang riil yang dikonversikan ke dalam bitcoin semakin marak. Dengan begitu, bitcoin sudah menemukan nilai intrinsiknya yang semakin riil dengan investasi uang riil. Ada titik-titik penurunan ekonomi di dunia nyata, entah itu minyak atau moneter dunia, yang menyebabkan orang-orang beralih investasi ke ekonomi digital.
Pun bila ingin ‘menambang’, semakin kemari teknologi komputer dengan modal mahal pun semakin dipakai. Ujung-ujungnya, adalah uang riil yang digunakan untuk modal ‘menambang’.
Lantas, layaknya investasi pada umumnya, mereka yang telah lama memperhatikan bitcoin dan membelinya saat masih murah, kini tengah merasakan menjadi miliuner. Selamat!
Dengan adanya bitcoin, diharapkan kesepakatan akan mata uang yang universal dan tidak terhambat regulasi negara dapat terjadi. Hambatan seperti bea masuk—misalnya dalam peraturan pajak pembelian buku elektronik yang akan segera diterapkan di Indonesia—ingin ditelanjangi oleh sistem yang lebih bebas layaknya bitcoin.
Banyak sudah kisah ‘sukses’ orang karena bitcoin. Tapi, tentu tren tersebut sudah tidak dapat diikuti lagi oleh orang-orang lain. Harga bitcoin saat ini sudah terlampau tinggi karena popularitasnya. Sistem anarko-darwinisnya sudah dimenangkan oleh sebagian orang yang berhasil mengumpulkan kapital riil. Mereka-mereka itu, ya tentu saja para anarko-kapitalis.
Hampir pasti, Bitcoin akan terus melambung sampai harga yang tak lagi terjangkau. Lalu, di satu titik, harga akan kembali wajar karena regulasi pemerintah. Dan di situ, nama bitcoin tak akan terlalu menggiurkan untuk investasi seperti halnya hari ini.
Satoshi dan Masalah dalam Solusi
“The swarm is headed towards us… If you don’t believe it or don’t get it, I don’t have the time to try to convince you, sorry.”
-Satoshi Nakamoto-
Satoshi Nakamoto adalah nama yang diklaim sebagai pengembang awal bitcoin. Namun, sampai saat ini identitasnya tak pernah diketahui oleh publik. Ia sempat berkomunikasi dengan publik via blog, email, maupun forum daring, namun tiba-tiba ‘menghilang’. Ada teori-teori berseliweran yang berusaha menjelaskan siapa dia. Mulai dari apakah dia benar-benar orang Jepang, atau sebenarnya sekelompok orang Amerika Serikat, atau malah dia sebenarnya tidak ada.
Misteri ini menjadi salah satu penyebab kengerian sejumlah pengguna bitcoin. Tanpa mengenal identitas pendirinya dan motif dibalik pengembangan bitcoin itu sendiri, ada rasa insekuritas yang muncul, bilamana bitcoin tipa-tipa ambruk, atau sistemnya ditarik dari peredaran.
Sophie Bearman, produser digital media CNBC, menilai bahwa sosok Nakamoto itu sendiri penting, karena dia adalah mastermind yang tentunya memiliki cetak biru bitcoin sampai ke dasarnya. Laporan terakhir menyebut Nakamoto memiliki satu juta BTC atau sekitar Rp. 250.000.000.000.000 (bagaimana membacanya?).
Aset sebesar ini yang kemungkinan dimiliki Nakamoto dapat menjatuhkan harga pasar serendah-rendahnya, sekali Nakamoto memutuskan melepas ‘aset’nya ini. Habislah nasib para investor kalau hal ini terjadi.
Bearman bahkan menyebut, ada nilai ‘politik’ yang dimiliki Nakamoto dalam sistem bitcoin yang dibuatnya. Sebabnya, sejak Nakamoto resmi menghilang dari peredaran, para ‘penambang’, tech-savvy, dan komunitas-komunitas bitcoin terus berdebat mengenai keberlangsungan dan keberlanjutan mata uang ini. Ya, rupanya bitcoin juga punya nilai politik yang ekstrinsik di dalamnya.
Adrian Chen, penulis kolom business & tech di The New Yorker, kemudian memberi konklusi tentang pentingnya sosok Satoshi Nakamoto. Nakamoto begitu krusial dalam menjelaskan segala nilai anti-otoritas dan desentralisasi keuangan dalam bitcoin. Lebih jauh lagi, menurut Chen, Nakamoto dapat menyampaikan visinya secara utuh untuk kebaikan teknologi dan sistem keuangan dunia di waktu yang akan datang.
Di samping orang-orang yang optimistis namun cemas dengan bubble bitcoin saat ini, ada pihak yang seratus persen skeptis dan nyinyir saja, seperti Erizeli Bandaro, blogger yang sering menyebut diri praktisi ekonomi. Dia amat meragukan sistem komputerisasi dan algoritma bitcoin, dan menyebut setiap rupiah uang nyata hanya akan mendapat uang virtual sebagai investasinya.
Menurutnya, setiap rupiah itu akan masuk ke kantong pembuatnya. Mirip-mirip Ponzi scheme, atau skema penipuan berkedok bisnis di mana investor terbesar (pendiri bitcoin) akan mengambil revenue dari para investor kecil (anda-anda pemburu investasi bitcoin). Jelas bertolak belakang dengan metode yang dipercaya dan dilakukan oleh para ‘penambang’ bitcoin sejauh ini.
Entahlah, anda mau percaya siapa dan yang mana.
Kondisi-kondisi riskan yang belum dapat dijelaskan seperti itu yang membuat sebagian orang dan otoritas negara tak merasa aman menggunakan bitcoin. Vietnam dan Korea Selatan adalah contoh negara yang telah melarang bitcoin sepenuhnya. AS dan Perancis adalah contoh yang memberi regulasi ketat bagi bitcoin. Sementara Jepang dan Tiongkok adalah pendukung utama dan telah mengintegrasikan bitcoin dalam sistem perbankan nasional. Mereka berusaha merangkul ‘anarki-anarki’ ini untuk masuk ke dalam sistem negara.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jalan Tengah Pemerintah Menyikapi Bitcoin
Bitcoin harus disikapi dengan bijaksana. Sebagai bagian dari perubahan pada era digital, bitcoin maupun cryptocurrency lainnya yang bisa saja masuk Indonesia, seperti ethereum atau litcoin, tidak bisa terus dihindari. Negara pada akhirnya harus beradaptasi. Cryptocurrency adalah satu bagian dari digitalisasi seluruh aspek hidup manusia.
Karena penggunaannya telah masif dan tanpa diatur, bitcoin telah menjadi sumber masalah-masalah dunia maya yang baru. Tindak kejahatan dapat terjadi di sana, misalnya pencucian uang, transfer uang kasus korupsi, sampai perputaran uang kelompok teroris. Kasus yang sempat terjadi pada Paypal di awal kemunculannya, atau kasus E-gold yang menyebabkannya pailit, dapat menjadi pelajaran.
Karenanya, meregulasi sistem secara ketat sampai memberi pajak pada setiap transaksi bitcoin adalah kebijakan yang wajar untuk dilakukan pemerintah. Dengan cara itu, nilai anarki atau desentralisasi bitcoin memang akan sedikit terkikis. Namun, proses menuju digitalisasi dunia ekonomi dan integrasi keuangan dunia perlahan-lahan juga dapat tetap melangkah maju.
Pada akhirnya, fenomena bitcoin memberi kita pelajaran. Secanggih dan se-mendobrak apapun suatu teknologi, ia tetap ciptaan manusia. Perlu konsensus dan otoritas tertentu untuk menjaganya tetap dalam marwah kemaslahatan umat manusia. (R17)