Logika kritik anggaran pertahanan dari Hasto Kristiyanto kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang menyebut “tidak perang” dinilai tak relevan dan cukup mengkhawatirkan. Mengapa demikian?
Kritik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang terarah kepada anggaran pertahanan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tampak kurang logis, utamanya saat dirinya mengatakan “Emangnya kita mau perang?”.
“Ketika rakyat menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, Pak Prabowo malah menambah utang luar negeri untuk membeli alutsista,” begitu untaian kritik Hasto lainnya pada hari Minggu 17 Desember kemarin lusa.
Tampak lebih sulit dimengerti saat sosok yang juga merupakan Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD itu mempertanyakan situasi semacam apa yang mendorong Prabowo membeli alutsista berbanderol tinggi yang canggih.
Satu hal yang mungkin dimaksud Hasto sebenarnya adalah anggaran Kementerian Pertahanan, bukan utang luar negeri, karena nominal yang disebutnya ialah Rp396 triliun.
Hasto pun mengaku sedih saat merefleksikannya dengan kesulitan rakyat dengan kenaikan harga bahan pokok.
Memang, kritik itu seakan bertendensi politis saat Hasto kemudian menyebut Ganjar merupakan sosok yang lebih baik. Kendati Hasto memang tak menjelaskan korelasinya secara spesifik.
Akan tetapi, kritik Hasto bahwa urgensi perang seolah dikesampingkan kiranya merupakan “kesesatan” logika tersendiri. Mengapa demikian?
Bias Konfirmasi Hasto?
Memang, terdapat beberapa kasus di negara berkembang saat pemenuhan anggaran pertahanan seolah tarik menarik anggaran aspek lain dalam hal urgensinya. Bahkan, kerap menimbulkan dilema tersendiri.
Di satu sisi kebijakan pertahanan yang prima harus ditopang oleh pendanaan yang baik. Namun di sisi lain, kebutuhan aspek lain seperti pendidikan, ekonomi, infrastruktur, dan hal lain terkait kesejahteraan konkret masyarakat juga tak kalah penting.
Meski begitu, sentilan Hasto, yakni ”emangnya kita mau perang?” kiranya tetap tak memiliki justifikasi yang relevan ketika berbicara mengenai aspek pertahanan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Pertama, Menhan Prabowo tampak cukup berani mengakselerasi ketertinggalan di bidang pertahanan yang tampak terhambat di era menhan-menhan sebelumnya.
Saat ini, banyak alutsista yang berusia sudah cukup uzur dan sebenarnya tak lagi dapat dikatakan bisa diandalkan untuk menjaga pertahanan. Ironisnya, kondisi itu terjadi di berbagai satuan di tiga matra TNI.
Itu belum termasuk persoalan kuantitas alutsista untuk menjaga wilayah kedaulatan RI yang begitu luas.
Mulai dari artileri pertahanan medan maupun udara, radar, kapal perang dan kapal selam, pesawat tempur, hingga kendaraan angkut maupun tempur.
Pembelian pesawat tempur baru seperti Rafale dari Prancis hingga melakukan kolaborasi nyata dengan PT Pindad dan PT PAL untuk pemenuhan alutsista buatan dalam negeri agaknya sangat positif.
Meski belum bisa dikatakan sempurna dan memenuhi ketertinggalan, Menhan Prabowo setidaknya telah memulai progresivitas masa depan pertahanan Indonesia.
Kedua, peningkatan anggaran pertahanan, pengelolaan anggaran yang tepat, serta pemenuhan alutsista prima dapat menghadirkan deterrent effect atau efek gentar bagi negara lain.
Patrick Morgan dalam bukunya Deterrence Now, menyebut detterence effect adalah wujud dari realisme yang sesungguhnya. Itu dikarenakan, ketika upaya dialog tidak bisa mencegah suatu negara untuk melakukan aksi militer, maka dengan memperkuat pasukan keamanan, negara yang tadinya ingin membuat ketidakstabilan di kawasan akan berpikir kembali karena harus mempertimbangkan kerugian yang akan mereka derita jika “menyerang”.
Pepatah latin kuno yang mendukung rasionalisme deterrent effect, yakni “si vis pacem, para bellum” yang artinya, jika kita menginginkan perdamaian, maka kita juga harus bersiap untuk perang tampak relevan dengan postulat Morgan.
Pepatah tersebut diucapkan pertama kali oleh jenderal Romawi bernama Vegetius ketika memberikan kritik mengenai penurunan kualitas pasukan Romawi akibat terlalu lama menikmati perdamaian.
Dengan adanya alutsista, tak hanya akan menimbulkan efek gentar, melainkan juga dapat meningkatkan moral prajurit agar selalu siap dan percaya diri menjaga pertahanan negara.
Ketiga, pertahanan yang kuat akan membawa dampak turunan yang positif bagi aspek lain yang bermanfaat bagi rakyat. Serupa dan hampir saling terkait dengan deterrent effect, pertahanan negara yang prima juga dapat membawa stabilitas sosial dan politik.
Muaranya adalah kepercayaan investor hingga membawa dampak ekonomi sekunder bagi masyarakat secara luas.
Di titik ini, Hasto agaknya mengalami bias konfirmasi. Raymond S. Nickerson dalam Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises menjelaskan bias konfirmasi sebagai kecenderungan untuk menafsirkan informasi yang hanya mendukung kebenaran serta keyakinan pribadi yang ia anggap paling benar. Bahkan, meskipun faktanya berkebalikan.
Tak dapat dipungkiri, tahun politik membuat pernyataan dan manuver politik para aktornya terkadang sedikit “membingungkan”.
Prabowo yang juga kandidat di Pilpres 2024, merupakan rival cukup berat bagi kubu Ganjar. Apalagi, ketika berbicara pertahanan dan berbagai dampak turunan maupun integralnya.
Efeknya, komparasi Hasto tampak tak sepadan saat menghadirkan urgensi kenaikan harga kebutuhan pokok dengan pemenuhan aspek pertahanan yang di era saat ini yang memberikan berbagai opsi bagi pemerintah untuk memenuhinya.
Namun, anggaran pertahanan yang besar dan relevansi urgensinya tetap harus memiliki akuntabilitas yang bisa saja menjadi celah bagi Hasto untuk memberikan kritik yang lebih bernas.
Prabowo Bukan Tanpa Celah?
Satu hal yang menjadi tantangan besar adalah jumlah fantastis anggaran pertahanan yang nyaris terus meningkat setiap tahunnya kerap belum cukup untuk melengkapi kekuatan pertahanan yang ideal, bahkan dalam memenuhi indikator minimal.
Oleh karenanya, mekanisme pinjaman dana harus ditempuh Menhan Prabowo, seperti dalam pembelian pesawat tempur F-15 EX dari Amerika Serikat (AS).
Mekanisme hibah juga kerap disepakati demi, setidaknya, untuk “memperpanjang nafas” saat alutsista baru masih menunggu pembuatan.
Di titik ini, penggunaan anggaran dan akuntabilitasnya harus menjadi perhatian bersama. Tidak hanya oleh masyarakat luas, tetapi juga para penyeimbang pemerintah dan mereka yang akan bertarung di kontestasi elektoral.
Tentu bentuknya adalah masukan relevan dan konstruktif, bukan kritik yang cenderung bias maupun tendensius. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)