Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.
Kubu PDIP bermanuver dengan ultimatum klaim atas video skandal para elite negara saat Sekretaris Jenderal mereka, Hasto Kristiyanto diberi predikat tersangka oleh KPK dalam kasus rasuah Harun Masiku. Tak lagi tersirat, nama Joko Widodo menjadi satu yang disasar Hasto dan PDIP.
Momen di mana PDIP mengeluarkan ultimatum itu beriringan dengan isu yang berkembang mengenai tawar-menawar politik-hukum saat KPK belum juga menangkap Hasto. Tak pelak, intrik ini memantik instabilitas politik yang cukup signifikan. Terlebih impresi ketegasan penegak hukum atas keadilan yang seolah bisa “ditawar” dan “dimainkan”.
Di titik ini, positioning Presiden Prabowo Subianto cukup menarik untuk diiterpretasi. Hal itu dikarenakan, selain ada kesan saling sandera dan saling memegang “kuncian”, baik PDIP dan Jokowi (dua kubu yang kini berseteru panas) adalah mitra strategis bagi Presiden Prabowo untuk menjaga stabilitas politik di masa pemerintahannya.
“Memilih” salah satu di antara keduanya tentu akan memiliki konsekuensi yang tak sembarangan. Pun dengan “membiarkan” KPK sebagai aparat penegak hukum seolah ragu, kiranya akan kontraproduktif bagi citra penegakan hukum di Indonesia.
Lalu, muncul dua pertanyaan menarik untuk diiterpretasi. Pertama, Mengapa Presiden Prabowo seolah diam? Apakah ini bagian dari strategic patience-nya untuk menempuh langkah yang paling logis secara kalkulasi politik mengikuti alur proses hukum?
Kedua, Apakah mungkin Presiden Prabowo telah menempuh langkah di belakang panggung? Lalu, cenderung ke arah mana keberpihakan Presiden Prabowo, PDIP atau Jokowi?
Prabowo Bukan Hanya Diam?
Telah disebutkan dalam pertanyaan pertama, salah satu kemungkinan adalah bahwa Prabowo tengah mengadopsi apa yang disebut sebagai strategic patience.
Strategi ini menekankan pada kemampuan untuk menunggu hingga momen yang tepat sebelum bertindak. Tak lain, tujuan utamanya adalah memastikan bahwa setiap langkah diambil dengan penuh pertimbangan dan berdampak maksimal.
Hal itu sendiri cukup lumrah dilakukan dalam politik hingga peperangan di masa lampau. Julius Caesar adalah salah satu contoh paling terkenal dari strategic patience di era Romawi Kuno.
Selama bertahun-tahun, Caesar membangun kekuatan dan pengaruhnya di Galia, menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan langkah berani melawan Senat Roma.
Ketika akhirnya Julius menyeberangi Sungai Rubicon dengan legiun Romawi, dia melakukannya dengan kalkulasi yang cermat setelah memastikan bahwa peluang untuk menang sudah lebih besar daripada risiko kekalahan.
Tindakannya itu kemudian membuka jalan bagi Perang Saudara Romawi yang akhirnya mengantarkan Caesar sebagai penguasa Roma yang disegani.
Di Tanah Jawa, Sultan Agung dari Kerajaan Mataram menunjukkan strategic patience sebelum menyerang Batavia, pusat kekuatan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Sultan Agung menghabiskan waktu bertahun-tahun memperkuat kekuatan militernya dan membangun aliansi, menunggu momen yang tepat untuk menyerang.
Meskipun serangan pertama dan kedua gagal, upayanya menunjukkan perencanaan jangka panjang dan kesabaran dalam menghadapi kekuatan besar seperti VOC.
Kendati kini telah berbeda dimensi, dalam konteks politik Indonesia, di mana dinamika kekuatan sering kali berubah dengan cepat, strategi ini bisa menjadi langkah yang cerdas.
Presiden Prabowo mungkin menyadari bahwa keterlibatan langsung dalam konflik antara PDIP dan Jokowi dapat mengorbankan kestabilan pemerintahannya sendiri.
Dengan demikian, membiarkan proses hukum berjalan tanpa campur tangan langsung bisa dianggap sebagai cara untuk menjaga netralitas serta memperlihatkan komitmen terhadap supremasi hukum.
Selain itu, dalam politik, timing adalah segalanya. Presiden Prabowo mungkin menunggu hingga situasi lebih jelas, sehingga dapat mengambil langkah yang lebih tegas dan didukung oleh fakta yang kuat. Ini sejalan dengan teori realpolitik yang menekankan pragmatisme dan kepentingan nasional di atas ideologi atau aliansi personal.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaan kedua?
Lobi Dua Arah Prabowo?
Meskipun tampak diam, tak menutup kemungkinan bahwa Presiden Prabowo tengah atau akan melakukan manuver di balik layar.
Dalam politik, tidak semua langkah diambil di depan publik. Diplomasi rahasia dan negosiasi di balik layar adalah bagian dari strategi politik yang sering digunakan untuk meredakan ketegangan atau mencapai kesepakatan yang tidak mungkin dicapai secara terbuka.
Presiden Prabowo, dengan pengalaman dan pengaruhnya, mungkin menggunakan pendekatan ini untuk menilai posisi kedua kubu dan menentukan di mana kepentingan terbaiknya bagi negara berada.
Dalam situasi ini, teori permainan (game theory) dapat membantu menjelaskan kalkulasi yang mungkin dilakukan Prabowo. Dalam skenario prisoner’s dilemma, misalnya, kedua belah pihak (PDIP dan Jokowi) mungkin lebih memilih untuk bekerja sama dengan Presiden Prabowo jika itu berarti mereka bisa menghindari hasil terburuk—yakni kekalahan politik.
Kemungkinan lain adalah bahwa Presiden Prabowo menggunakan backchannel diplomacy untuk mengamankan posisi yang lebih menguntungkan, baik dengan PDIP atau Jokowi. Ini memungkinkan Pangkostrad ke-22 itu untuk tetap netral di mata publik sementara tetap menjaga jalur komunikasi yang terbuka dengan kedua belah pihak.
Lantas, akan ke arah mana “keberpihakan” Presiden Prabowo? Menjaga keseimbangan atau memilih sisi?
Pertanyaan ini tentu sangat sulit untuk dijawab menggunakan analisis atau interpretasi manapun secara langsung. Namun, ada beberapa faktor yang dapat memberikan petunjuk. Pertama, stabilitas politik adalah prioritas utama bagi setiap presiden.
Dalam hal ini, Prabowo mungkin lebih cenderung untuk mendukung pihak yang dapat menawarkan stabilitas terbesar bagi pemerintahannya.
PDIP, sebagai partai politik besar dengan jaringan luas, memiliki potensi untuk menjadi mitra strategis yang kuat. Di sisi lain, Jokowi, sebagai mantan presiden yang masih memiliki pengaruh besar, juga merupakan sekutu penting.
Memilih salah satu di antara keduanya akan memiliki konsekuensi besar, baik dari segi dukungan politik maupun stabilitas pemerintahan.
Presiden Prabowo mungkin memilih untuk menjaga keseimbangan antara keduanya, memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa diabaikan. Strategi ini sejalan dengan konsep balance of power, di mana kekuasaan dibagi secara merata untuk mencegah dominasi oleh satu pihak dan menjaga stabilitas.
Namun, jika situasi memaksa Prabowo untuk memilih, faktor kepentingan jangka panjang mungkin menjadi penentu. Dukungan dari PDIP bisa memberikan keuntungan politik yang signifikan, terutama untuk menyokong implementasi janji politiknya serta menjelang pemilihan umum berikutnya.
Sebaliknya, menjaga hubungan baik dengan Jokowi dapat memastikan dukungan dari basis pendukungnya yang luas, namun tak menjamin keberlanjutan dan impresi politik di hadapan konstituen jika berkaca pada citra dan reputasi Jokowi yang kian tergerus.
Bagaimanapun, keberpihakan pada akhirnya mungkin tidak akan terlihat secara langsung, tetapi akan terungkap melalui tindakan-tindakan strategis yang ditempuh oleh Presiden Prabowo dalam variabel lain yang secara langsung maupun tak lansung dipengaruhi atau saling mempengaruhi nantinya. (J61)