Dalam debat perdana Pilpres 2019, Jokowi menyebut dirinya adalah contoh pejabat yang tidak mengeluarkan uang sepeser pun saat mencalonkan diri di Pilgub DKI Jakarta 2012. Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh Hashim Djojohadikusumo. Adik Prabowo Subianto itu menyebut justru ia adalah orang yang membiayai 90 persen dana kampanye Jokowi dan Ahok kala itu – hal yang kini disesalinya. Nyatanya, hubungan Hashim dan Jokowi ini merupakan gambaran pertalian faktor ekonomi-politik dalam konteks kekuasaan yang telah terjadi sejak Julius Caesar menjadi diktator di era Romawi.
PinterPolitik.com
“I came, I saw, I conquered”.
:: Julius Caesar (100-44 SM) ::
[dropcap]G[/dropcap]aius Julius Caesar atau yang lebih dikenal dengan cognomen – sebutan untuk nama ketiga – Julius Caesar, merupakan salah satu pemimpin yang mungkin namanya akan dikenang sepanjang masa. Hidup di era ketika Republik Romawi sedang bertranformasi menjadi sebuah kekaisaran, Caesar adalah alasan lahirnya kata “kaisar” dalam Bahasa Indonesia.
Namun, nama pria yang berakar dari kata caedere dalam Bahasa Latin – yang berarti “memotong” – ini juga akan diceritakan sebagai pengantar tidur untuk menggambarkan pertalian antara harta dan kekuasaan.
Caesar adalah penggambaran utuh dari konsep kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain –hal yang nyatanya kini juga hadir dalam kisah hubungan antara pengusaha Hashim Djojohadikusumo dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Caesar juga menggunakan politik pencitraan serta punya pertalian ekonomi-politik sama seperti Jokowi. Caesar hanya berkuasa selama 5 tahun. Apakah hal yang sama akan terjadi juga pada Jokowi? Share on XKonteks hubungan yang dimaksud adalah yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2012 kala Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hashim kala itu memang menjadi pendukung pasangan tersebut, seiring masih satu kubunya sang kakak – Prabowo Subianto – dengan Jokowi. Dukungan tersebut, menurut pemilik konglomerasi bisnis Arsari Group itu, terwujud dalam bentuk pembiayaan kampanye politik Jokowi-Ahok.
Hashim kini memang sedang gerah dan kembali mengungkit masalah tersebut pasca pernyataan Jokowi saat debat perdana Pilpres yang menyebut dirinya maju di Pilgub kala itu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Protes Hashim ini beralasan mengingat saat debat tersebut, konteks pernyataan Jokowi terlihat seperti membuat penekanan atas status dirinya yang maju tanpa uang, dan seolah menegaskan bahwa ia bebas dari penggunaan politik uang.
Pernyataan tersebut pantas membuat Hashim sedikit kesal sebab saat ini Jokowi maju menghadapi Prabowo. Jokowi secara tidak langsung ingin “mengesankan” bahwa dirinya lebih baik dari lawannya, namun melupakan fakta bahwa justru lawannya itu yang membiayai kampanye politiknya pada 2012 lalu.
Bahkan, menurut Hashim, ia mendanai 90 persen biaya kampanye politik Jokowi-Ahok yang totalnya mencapai Rp 52,5 miliar serta menyebutkan bahwa Jokowi datang sendiri kepadanya dan meminta bantuan pendanaan tersebut.
Lalu pak jokowi dengan ringannya belanja sabun 2 Milyar, terjadi simpang siur siapa yang bayar. Lalu pak Hashim membantah pernyataan pak jokowi tidak keluar uang dengan mengakui membiayai. Ini bukan soal sederhana loh @KPK_RI . Ini soal serius. #DanaPemilu
— #2019AwalPerubahan (@Fahrihamzah) January 23, 2019
Pernyataan Hashim ini sebetulnya sudah pernah dibantah oleh Jokowi jelang Pilpres 2014 lalu. Kala itu Jokowi merujuk pada pernyataan Ahok yang sempat buka suara dan menyebutkan jumlah dana yang disebut-sebut oleh Hashim itu justru untuk kampanye pribadi Prabowo di televisi.
Terlepas dari klaim pihak mana yang benar, yang jelas hal ini menjadi pertalian politik yang menarik. Pasalnya, Hashim juga menyebut bahwa justru Prabowo-lah yang meyakinkan Megawati Soekarnoputri untuk mendukung Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 tersebut.
Konteks hubungan Jokowi dan Hashim sebagai pengusaha ini menggambarkan persoalan hubungan antara kekayaan dan ambisi politik – hal yang telah mewarnai peradaban manusia sejak Caesar naik tahta. Pertanyaanya adalah apakah fenomena ini akan berujung pada lahirnya “Caesar” baru?
Jokowi vs Hashim, Utang Diktator Caesar
Kisah yang terjadi pada Hashim ini mirip dengan yang terjadi pada Marcus Licinius Crassus (115-53 SM), tokoh yang dianggap sebagai mentor dan patron politik Caesar. Dua tokoh yang menjadi bagian dari Triumvirat Pertama bersama Pompey (106-48 SM) ini memang punya pertalian hubungan yang unik.
Crassus oleh banyak sejarawan disebut sebagai orang terkaya yang pernah hidup di era Romawi dengan jumlah harta mencapai 200 juta sesterces (mata uang Romawi). Jumlah yang diperkirakan bernilai hampir US$ 2 miliar (sekitar Rp 28 triliun kurs saat ini) tersebut setara dengan total keseluruhan pengeluaran dalam anggaran negara atau APBN-nya Republik Romawi saat itu.
Crassus yang juga adalah seorang jenderal militer, tercatat sebagai salah satu tokoh yang berperan besar dalam karier politik Caesar. Ia membantu Caesar bukan hanya secara politik saja, tetapi juga secara finansial. Untuk sampai pada titik kekuasaan dan popularitas yang besar, Caesar memang disebut sering melakukan semacam “pencitraan” lewat event-event atau acara-acara mewah.
Persoalannya, pembiayaan acara-acara tersebut dilakukan dengan cara berutang. Caesar memang tidak termasuk golongan jenderal kaya seperti Crassus dan Pompey. Dalam konteks tersebutlah Crassus tercatat menjadi salah satu orang yang membantu Caesar membayarkan sebagian utang-utangnya tersebut.
Baru pada tahun 61 SM saat Caesar menjabat sebagai gubernur di Andalusia dan Portugal, ia mendapatkan banyak jarahan yang digunakan untuk melunasi utang-utangnya tersebut.
Hubungan saling menguntungkan antara Caesar dan Crassus secara ekonomi-politik ini terus terjadi hingga keduanya meraih kekuasaan tertinggi bersama Pompey lewat Triumvirat Pertama. Caesar menjadi penghubung antara Crassus dan Pompey yang memang diketahui punya masa lalu kurang begitu baik dan saling tidak menyukai.
Menurut Plutarch (46-120 M) yang menulis biografi Caesar, Crassus mendapatkan keuntungan kekayaan yang besar ketika Caesar membantunya meloloskan aturan hukum pembatalan sepertiga utang terhadap kontraktor (publicani) di wilayah Asia – hal yang membuatnya menjadi orang terkaya sepanjang sejarah Romawi.
Akibat aturan hukum yang diloloskan Caesar itu, Crasssus tercatat memiliki sekitar 7.100 talenta emas atau perak, dengan 1 talenta beratnya sekitar 33 kilogram. Jika menggunakan harga saat ini, 1 talenta bernilai sekitar US$ 1,4 juta (sekitar Rp 19 miliar).
Namun, konteks hubungan Caesar dan Crassus serta Pompey tidak hanya berkutat di seputaran kekayaan saja. Hubungan tiga tokoh ini nyatanya juga diwarnai oleh keinginan masing-masing untuk menjadi orang nomor satu di Romawi.
Caesar memang dikenal cukup ambisius dan sangat mengidolakan Alexander Agung yang menjadi penakluk besar sepanjang sejarah. Sementara Pompey dan Crassus juga merasa sama-sama kuat untuk menjadi penguasa tertinggi.
Pompey pada akhirnya bertarung melawan Caesar. Sementara Crassus tewas saat bertempur dengan orang-orang Suriah dalam rangka memperkuat posisi politiknya. Selanjutnya yang tersisa adalah kebesaran seorang Julius Caesar, sang diktator yang begitu besar dan masyur namanya hingga saat ini.
Tanpa mengesampingkan ketokohan Pompey, kisah hubungan Caesar dan Crassus memang mirip dengan yang terjadi pada Prabowo – dalam hal ini Hashim – dan Jokowi. Hashim bisa dianggap sebagai Crassus yang membantu sang Caesar, Jokowi untuk memenangkan kontestasi politik di Pilgub 2012 lalu.
Pada akhirnya Jokowi menjadi pemenang, bahkan mampu meraih kekuasaan yang lebih tinggi dan menjadi presiden di Pilpres 2014 dengan menyingkirkan Hashim – dalam hal ini Prabowo.
Karena politik selalu berhubungan dengan kekuasaan dan jika apa yang disebut Hashim tentang dana kampanye itu benar adanya, maka memang ada ambisi politik dalam diri Jokowi yang telah terakumulasi sejak Pilgub DKI Jakarta, bahkan mungkin sejak sebelum-sebelumnya. Persoalannya adalah apakah Jokowi akan menjadi seperti Caesar, sang diktator?
Jokowi, The Next Caesar?
Harold D. Laswell dalam konsepsinya tentang kekuasaan menggambarkan hal tersebut sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain demi tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan orang tersebut.
Konteks pemaknaan perihal kekuasaan dalam kaca mata Laswell itu terjadi pada Jokowi dan Hashim. Nama pertama – sama seperti Caesar – memang punya daya mempengaruhi yang besar, sehingga mampu mendatangkan dukungan politik dari Hashim kala itu. Sementara nama terakhir yang kini menjadi orang terkaya ke-35 di Indonesia adalah Crassus yang “terpengaruh” pada konteks kekuasaan Jokowi.
Pengakuan Hashim bahwa ia mencukongi Jokowi tahun 2012, menunjukkan wajah oligarki. Mereka berkoalisi atau berseberangan hanya soal hitung-hitungan dan situasi.
Tak ada yang prinsip.
Lima tahun sekali rakyat diminta memberi stempel pada sistem transaksional seperti ini.
— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) January 22, 2019
Hal yang mungkin membedakan fenomena di dua era yang terpaut 2000 tahun lebih ini adalah ambisi politik Hashim tidak ada dalam dirinya sendiri, tetapi ada pada kakaknya, Prabowo.
Selain itu, “imbalan” politik yang didapatkannya atas kontribusinya terhadap kampanye Jokowi-Ahok – menurut Hashim – hanyalah menjadi pengawas Taman Margasatwa Ragunan, hal yang tidak membuatnya menjadi orang terkaya di Indonesia tentu saja. Jabatan tersebut adalah permintaan Hashim pada Jokowi karena kecintaannya terhadap hewan-hewan liar.
Hubungan Hashim dan Jokowi juga menggambarkan pentingnya uang dalam politik. Jokowi boleh mengklaim dirinya tidak menggunakan sepeser pun uang untuk kampanye politik di 2012. Namun, sulit membayangkan bahwa hal tersebut 100 persen benar. Bagaimanapun juga politik di Indonesia berbiaya mahal dan tentu saja perlu modal yang tidak sedikit untuk meraih pucuk kekuasaan.
Pada akhirnya, publik hanya bisa menanti apakah kelahiran Caesar sang diktator akan kembali berulang dalam diri Jokowi mengingat kesamaan konteks kekuasaan keduanya. Nama terakhir, oleh beberapa pengamat politik – seperti Tom Power dari Australian National University – dianggap memiliki kecenderungan untuk melahirkan kepemimpinan otoritarian.
Caesar juga menggunakan politik pencitraan, sama seperti yang dituduhkan oposisi kepada Jokowi, serta punya pertalian ekonomi-politik – lagi-lagi sama seperti mantan Wali Kota Solo itu. Yang jelas, pria yang namanya diabadikan sebagai bulan ke-7 dalam tahun – Juli – hanya berkuasa selama 5 tahun. Apakah hal yang sama akan terjadi juga pada Jokowi? (S13)