HomeNalar PolitikHaruskah Mega Nyapres Lagi?

Haruskah Mega Nyapres Lagi?

Fadli Zon menyarankan Megawati Soekarnoputri menjadi capres di tahun 2019. Di atas kertas, Mega memang masih memiliki peluang menjadi orang nomor satu di negeri ini.


PinterPolitik.com

[dropcap]T[/dropcap]idak ada angin tidak ada hujan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyarankan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menjadi capres untuk Pilpres 2019 nanti. Saran tersebut ia kemukakan melalui akun Twitter miliknya beberapa waktu lalu.

Fadli menilai, “petugas partai” yang dikirim Mega saat ini kurang mampu untuk menjalankan kepemimpinan. Di mata Fadli, bidang-bidang seperti ekonomi dan keamanan saat ini tengah berada dalam kekacauan. Oleh karena itu, sebaiknya Mega saja yang mengambil tugas partai menjadi capres di 2019 nanti.

Kalangan koalisi pendukung Jokowi menilai bahwa kicauan Fadli ini sebagai ikut campur rumah tangga orang lain. Mereka juga menilai, Wakil Ketua DPR tersebut panik dan takut akan popularitas yang dimiliki Jokowi – sang “petugas partai” itu – sehingga meminta Mega sebagai lawan baru.

Nama Mega memang sudah sangat jarang diperbincangkan sebagai capres. Pamornya dibanding Jokowi memang belakangan agak meredup. Meski demikian, saran Fadli ini bisa dikatakan sebagai wacana alternatif. Haruskah Mega mengikuti saran tersebut?

Masih Bisa Nyapres

Di atas kertas, konstitusi masih membolehkan Mega untuk dapat melaju kembali memperebutkan kursi yang pernah ia duduki. Ia hanya menjabat presiden untuk satu periode, itu pun tidak penuh. Setelah itu, ia pernah mencoba bertarung di Pilpres 2004 dan 2009, sayang ia harus bertekuk lutut di hadapan SBY.

Sebenarnya, kesempatan untuk kembali ke Istana Negara ia miliki di tahun 2014. Kala itu, PDIP tengah di atas angin dan difavoritkan memenangi Pemilu 2014. Sebagai ketua umum, ia sangat bisa maju menjadi capres memanfaatkan suara partainya tersebut. Akan tetapi, ia memilih untuk memberikan penugasan kepada salah satu kadernya, Jokowi, yang saat itu tengah menanjak elektabilitasnya.

Mega saat ini bisa dibilang telah melewati masa jayanya. Karir politiknya telah mencapai kegemilangan di awal-awal reformasi. Setelah itu, sepertinya sorotan lampu perlahan mulai berpaling dari dirinya. Ibu dari Puan Maharani ini kerap lebih banyak bekerja di balik layar.

Secara usia, Mega juga sudah bisa dikatakan uzur. Usia 71 tahun jelas bukan usia yang benar-benar prima bagi seorang politikus. Ia bisa saja tidak lagi mampu bersaing dengan politikus-politikus yang lebih muda seperti Jokowi atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Meski demikian, bukan berarti pengaruh dan pesonanya di mata masyarakat telah benar-benar sirna. Berbagai survei menunjukkan bahwa Ketua Umum PDIP ini masih muncul di benak masyarakat sebagai sosok yang layak menjadi orang nomor satu.

Baca juga :  Flashback Bittersweet Memories Jokowi-PDIP

Survei teranyar yang dirilis Indikator Politik Indonesia misalnya, menunjukkan bahwa putri dari Presiden Soekarno ini masih menjadi top of mind masyarakat, meski hanya 0,1 persen saja. Nama Mega masih lebih unggul ketimbang Imam Besar FPI Rizieq Shihab yang lebih sering  menjadi bahan pemberitaan belakangan ini.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa di atas kertas, Mega masih sangat mungkin menjadi capres. Ia bisa saja menarik mandat Jokowi dan memberikannya kepada diri sendiri. Hal ini sendiri pernah terjadi di belahan bumi yang lain.

Meniru Erdogan

Jika mengambil saran yang diberikan Fadli, maka Mega bisa saja mengambil langkah serupa yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan di Turki. Kala itu, sebagai pemimpin AKP, Erdogan mengirimkan namanya sendiri untuk menjadi capres. Padahal, saat itu, presiden petahana Turki juga berasal dari AKP yaitu Abdullah Gul.

Memang kondisi di Turki saat itu tidak bisa dikatakan sama persis dengan yang terjadi di Indonesia saat ini. Saat itu, AKP memiliki peraturan internal mereka yang melarang anggotanya untuk menjadi anggota parlemen untuk periode ketiga. Erdogan sendiri sudah berkuasa di parlemen sebagai Perdana Menteri selama tiga periode.

Haruskah Mega Nyapres Lagi?

Abdullah Gul dan Recep Tayyip Erdogan (Foto: AFP)Sebagai Ketua dari AKP, Erdogan tampak mampu memainkan perannya sebagai seorang patron politik. Ia berhasil meyakinkan anggotanya untuk mendukung dirinya menjadi capres di Pilpres Turki 2014. Gul pun akhirnya harus mengalah dari mantan Wali Kota Istanbul tersebut. Padahal, sebagai petahana, Gul baru menjabat untuk satu kali masa jabatan dan masih bisa dipilih kembali.

Bisa dikatakan bahwa langkah Erdogan mencalonkan diri menjadi presiden Turki adalah upayanya mencari kursi. Ia tidak lagi bisa berkuasa menjadi perdana menteri negera tersebut sehingga menjadi presiden adalah satu-satunya cara untuk kembali jadi penguasa.

Erdogan bisa dikatakan ingin melebarkan dominasinya yang semula hanya berada di parlemen. Dengan menjadi presiden, dominasi Erdogan juga akan merambah kamar eksekutif. Apalagi, peluang amandemen konstitusi untuk menambah kuasa presiden selalu ada. Ini ia buktikan dengan amandemen konstitusi di tahun 2017.

Terlihat bahwa ada motif kekuasaan yang tinggi dari langkah Erdogan mengambil jatah Gul menjadi presiden. Erdogan yang telah habis masa jabatannya masih ingin tetap berkuasa. Dalam kasus Mega, motif kekuasaan seperti ini belum terlihat secara kasat mata. Oleh karena itu, pada Rakernas PDIP lalu, ia tetap memilih Jokowi sebagai jagoan partai banteng di 2019. Padahal, sama seperti Erdogan, Mega sebagai ketua umum partai memiliki modal politik yang cukup diperhitungkan.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Modal Besar Mega

Sebagai seorang pimpinan tertinggi partai dengan perolehan suara terbanyak, Mega memiliki kuasa yang besar untuk menentukan capres dari partainya. Mandat bisa saja ia berikan kepada siapapun termasuk kepada dirinya sendiri.

Dibanding Jokowi, modal politik atau political capital Mega dapat dikatakan cenderung lebih lengkap. Menurut Daniel Schugurensky, modal politik adalah semacam mata uang tidak terlihat yang dapat digunakan politikus untuk memobilisasi dukungan.

Dalam hal ini, Mega memiliki modal berupa kepercayaan dan pengaruh yang kuat di internal PDIP. Hampir seluruh kader akan menuruti apa kata sang ketua umum tanpa bantahan, termasuk soal capres. Hal ini tidak dimiliki oleh Jokowi yang bukan petinggi partai. Pengaruh Mega di PDIP cenderung lebih besar ketimbang Jokowi. Maka, jika Mega mau jadi capres, kadernya hampir pasti mendukung sepenuh jiwa.

Jika merujuk pada karakteristik kepemimpinan yang dikemukakan oleh Max Weber, sumber kekuasaan Mega ini dapat dikategorikan sebagai otoritas kharismatik. Menurut Weber, pemimpin dengan otoritas kharismatik memiliki pengakuan keabsahan berdasarkan pada kualitas istimewa seperti kepahlawanan dan kesetiaan kepada individu serta komunitas bentukannya.

Haruskah Mega Nyapres Lagi?

Kesetiaan kader pada Mega bukan berasal dari hal yang bersifat legal formal. Ia memang dipilih menjadi ketua umum melalui mekanisme resmi partai. Akan tetapi, bukan itu yang membuat ia begitu dicintai. Istri mendiang Taufik Kiemas tersebut, terlanjur dipuja bak pahlawan sehingga banyak orang mau loyal padanya.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, Mega muncul sebagai salah satu patron politik yang paling disegani, tidak hanya di PDIP, tetapi juga di tingkat nasional. Kiprah PDIP sebagai salah satu partai besar di negeri ini membuat kekuatan politik Mega semakin besar secara nasional.

Oleh karena itu, peluang Mega menjadi capres sebenarnya masih amat terbuka. Sebagai patron dengan modal politik yang besar, ia dapat mempengaruhi pengikutnya agar mengalihkan dukungan kepada siapapun, termasuk kepada dirinya. Istilah petugas partai yang berlaku kepada seluruh kader di PDIP tentu akan memudahkan Mega menjadi capres. Tiket milik Jokowi pun dapat dengan mudah beralih tanpa ada riak-riak berarti.

Meski demikian, jika ingin realistis, Mega sebaiknya menghindari pilihan untuk mencalonkan diri menjadi capres di 2019. Sebagaimana disebut sebelumnya, masa keemasan Mega dapat dikatakan telah berlalu.  Capaian survei yang berada di bawah satu persen juga terlalu berisiko jika ingin berjudi mengejar kursi RI-1.

Pilihan paling aman jelas mendukung kembali Jokowi. Modal politik dan kepemimpinanya dapat ia gunakan untuk mempengaruhi Jokowi dari balik layar. Jika masih berhasrat berkuasa, ia bisa melakukannya dengan menjadi patron alih-alih maju sendiri seperti Erdogan. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...