Baru-baru ini, pernyataan terbuka Presiden Jokowi perihal kengeriannya melihat proyeksi ekonomi di tengah pandemi Covid-19 kembali menuai sorotan publik. Selaku pejabat negara tertinggi, pernyataan semacam itu tentunya akan memberikan efek domino di berbagai aspek, misalnya politik dan ekonomi. Lantas, haruskah Presiden Jokowi tidak mengungkapkan pernyataan bertendensi pesimis semacam itu?
PinterPolitik.com
Pada 30 Juni lalu, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Fahri Hamzah memberikan kritik yang begitu keras terhadap penyelenggaraan demokrasi di republik ini. Bagaimana tidak, dengan begitu percaya diri, mantan politisi PKS ini menyebut demokrasi Indonesia yang seharusnya dijalankan di atas akuntabilitas atau transparansi, justru dijalankan secara feodal.
Menurut Fahri, para menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap memberikan laporan asal bapak senang (ABS) sehingga presiden tidak mendapatkan laporan yang semestinya. Ini misalnya Fahri contohkan ketika pernyataan Presiden Jokowi terkait serapan anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang hanya 1,53 persen justru diralat oleh Komisi IX DPR dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Tegas Fahri, di dalam politik demokrasi, akuntabilitas seharusnya menjadi yang utama. Meskipun informasi yang ada tidak mengenakkan, misalnya terkait kondisi ekonomi yang tidak baik, itu harus tetap dibuka di hadapan publik.
Menariknya, setelah Fahri menyampaikan hal tersebut, Presiden Jokowi terlihat lebih terbuka dalam memberikan kritik terhadap para menterinya. Bahkan dalam pernyataan terbarunya, mantan Wali Kota Solo ini mengaku ngeri dengan proyeksi ekonomi akibat hantaman pandemi virus Corona (Covid-19).
Secara normatif, pernyataan Fahri terkait akuntabilitas tentu dapat dibenarkan. Bagaimanapun, pangkal dari politik demokrasi memang berada di azas keterbukaan. Akan tetapi, bagaimana jika akuntabilitas semacam itu justru memberikan dampak buruk multi aspek?
Please Pak @jokowi , digantungin itu nggak enak. Yang pasti-pasti aja, begitu juga dengaqn reshuffle. Kasihan yang di-PHP-in. 🙃 #politik #pinterpolitik #infografishttps://t.co/CbLYronbC2 pic.twitter.com/gixBChb8H7
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 11, 2020
Ini misalnya terlihat dari anjloknya Wall Street ketika merespon pernyataan Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell yang memberikan proyeksi ekonomi negatif akibat pandemi Covid-19. Jika pernyataan ketua bank saja dapat memberikan efek domino pada ekonomi, lantas bagaimana dengan pernyataan seorang presiden?
Di sini, haruskah kita menyarankan Presiden Jokowi untuk tidak terbuka perihal proyeksi ekonomi negatif semacam itu?
Teori Broken Windows
Konteks persoalan besarnya dampak pernyataan sosok berpengaruh seperti Ketua The Fed ataupun seorang presiden dapat kita pahami melalui buku Malcolm Gladwell yang berjudul The Tipping Point.
Dalam bagian bukunya yang menjelaskan perihal “kekuatan konteks”, Gladwell menjelaskan teori menarik yang menerangkan mengapa terjadi peningkatan kejahatan ekstrem di kota New York, Amerika Serikat (AS), khususnya di kereta bawah tanah pada tahun 1980-an. Teori itu disebut dengan Broken Windows.
Broken Windows adalah teori yang dikembangkan oleh kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling. Mereka berpendapat bahwa kejahatan merupakan akibat dari yang tak terelakkan dari ketidakteraturan. Seperti namanya, teori ini memang menjelaskan perihal kaca jendela yang pecah.
Teori ini menerangkan bahwa jika terdapat kaca jendela rumah pecah dan dibiarkan begitu saja, itu akan memberikan indikasi bahwa rumah tersebut tidak diperhatikan dan tidak berpenghuni. Pun begitu dengan hal-hal kecil seperti vandalisme. Jika terdapat banyak coretan di pinggir kota, dan itu dibiarkan atau dianggap lumrah, maka akan terbentuk persepsi di tengah masyarakat bahwa aparat tidak begitu peduli terhadap ketertiban. Imbasnya, ini mendorong masyarakat untuk melakukan kejahatan serius.
Teori ini menjelaskan bahwa kejahatan bersifat menular. Suatu hal yang dipandang remeh dapat menular dan terakumulasi menjadi kejahatan serius. Jika kita datang ke suatu kota dan melihat banyak coretan dan jendela-jendala yang pecah, bukankah kita akan berpikir bahwa kota tersebut tidak terurus dan tidak memiliki perlindungan yang memadai bukan? Persepsi semacam ini kemudian yang membuat banyak pihak terdorong untuk melakukan tindakan kriminal.
Yang bubar cukup Jiwasraya. Aku dan kamu jangan. 😌 #pinterpolitik #infografis #jiwasraya #politik https://t.co/CbLYro5AKu pic.twitter.com/Een1ezf8S3
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 12, 2020
Pada tahun-tahun itu di New York, hal-hal sepele semacam itu memang menjadi pemandangan umum. Di kereta bawah tanah misalnya, fasilitas publik tersebut benar-benar tidak terawat, penuh sampah, penuh coretan, dan pengap. Alhasil, pemberitaan kejahatan di kereta bawah tanah menjadi hal yang lumrah dan terjadi setiap hari.
Menariknya, reformasi kereta bawah tanah New York alih-alih dimulai dengan menangani kejahatan serius, justru dimulai dengan menangani hal-hal kecil. Pada tahun 1984-1990, Direktur David Gunn justru fokus pada persoalan vandalisme di kereta. Pun begitu dengan William Bratton yang fokus pada persoalan anak-anak yang tidak memiliki karcis. Entah kebetulan atau tidak, ini kemudian berimplikasi pada penurunan kejahatan di kereta bawah tanah.
Mengadopsi teori tersebut, tentu kita dapat menyimpulkan, jika hal-hal kecil saja dapat berimplikasi serius, lantas bagaimana dengan hal-hal besar?
Pada konteks ini, kita dapat memahami mengapa pernyataan Ketua The Fed, yang mungkin terlihat sepele, justru memberikan dampak yang besar seperti anjloknya Wall Street. Ini adalah apa yang disebut dengan kekuatan konteks (Power of Context) oleh Gladwell.
Jika demikian yang terjadi, bukankah hal yang sama, bahkan lebih besar dapat terjadi pada pernyataan seorang presiden. Di sini, kita tentu memahami bahwa pernyataan Presiden Jokowi perihal proyeksi ekonomi dapat menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Secara politik itu dapat meningkatkan ketidakpuasan publik. Secara ekonomi, saham dapat turun. Investor pun dinilai akan berpikir dua kali untuk datang. Bahkan, kasus terburuknya, rush money seperti tahun 1998 dapat saja terjadi.
Dengan banyaknya sosok-sosok berintelijensi tinggi di Istana, tentunya efek semacam itu disadari oleh Presiden Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut tentu paham bahwa pernyataannya dapat menimbulkan efek multi aspek, menimbang ia adalah pusat perhatian utama. Lantas, mengapa pernyataan tersebut tetap dikeluarkan?
Tidak Punya Beban?
Jawaban atas hal ini mungkin dapat kita temukan pada pernyataan Presiden Jokowi pada 16 Mei 2019 lalu. Pada saat itu, mantan Wali Kota Solo ini menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki beban untuk pemerintahan lima tahun ke depan. Imbuhnya, mengambil keputusan berani demi kepentingan negara dapat diambil karena tidak memiliki beban apa-apa.
Tentu kita memahami bahwa konteks beban yang dimaksud Presiden Jokowi adalah tidak memiliki kepentingan lagi untuk bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Mimin ngurus e-KTP berbulan-bulan belum jadi juga. Nasib anak rantau. 🙃 #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/CbLYronbC2 pic.twitter.com/d23103M8pw
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 11, 2020
Konteks beban pemilihan selanjutnya ini misalnya dapat kita lihat pada kasus Cristina Fernández de Kirchner yang disebut berupaya menutupi tingkat inflasi yang tinggi di Argentina dengan memberikan subsidi besar kepada masyarakat. Menurut The Economist, Fernández berusaha menutupi tingkat inflasi untuk menghindari opini buruk publik terhadap pemerintahannya. Apalagi, Fernández kala itu menghadapi pemilihan umum pada akhir tahun 2013.
Tidak seperti Fernández, Presiden Jokowi yang tidak memiliki beban untuk bertarung lagi justru tetap mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontroversial, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), pemindahan Ibukota ke Kalimantan, Omnibus Law, hingga Perppu Corona meskipun mendapatkan resistensi publik.
Dengan tidak adanya beban ini pula, boleh jadi itu membuat Presiden Jokowi leluasa untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras, misalnya dengan menegaskan ngerinya proyeksi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebelumnya, kita bahkan melihat gestur tidak biasa dari Presiden Jokowi ketika ia dengan tegas “memarahi” para menteri karena masih berkeja secara biasa-biasa saja di tengah pandemi Covid-19.
Bagi mereka yang mengikuti pidato-pidato Presiden Jokowi, pernyataan bernada tinggi semacam itu tentu saja bukanlah hal biasa, dan begitu jarang ditunjukkan olehnya.
Yah, bagaimanapun juga kita tentunya tidak benar-benar mengetahui mengapa Presiden Jokowi memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan minor terkait proyeksi ekonomi semacam itu. Kita lihat saja, apakah sang presiden mampu mencapai soft landing di akhir pemerintahannya atau tidak.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.