HomeHeadlineHaruskah Anies Memanggil “Ahok” Lagi?

Haruskah Anies Memanggil “Ahok” Lagi?

Peluang menang Anies Baswedan di 2024 menjadi pertaruhan besar seiring dengan masih bergolaknya hubungan Nasdem dan Demokrat di koalisi pendukung Anies Baswedan. Selain itu, menguatnya koalisi pendukung Prabowo Subianto dengan masuknya Golkar dan PAN akan jadi pekerjaan rumah tersendiri. Tentu pertanyaannya adalah mampukah Anies mengulang sukses Pilkada DKI Jakarta 2017 di level nasional? Atau kali ini mantan Mendikbud itu butuh “Ahok” lagi untuk memuluskan peruntungan?


PinterPolitik.com

“Politics have no relation to morals”.

– Niccolo Machiavelli

Ketika taktik andalan berhasil di kesempatan pertama, maka layak untuk dicoba lagi di kesempatan selanjutnya. Mungkin hal ini jadi resep paling umum mengulang kesuksesan dengan strategi yang sama. Pemimpin-pemimpin besar di masa lalu kerap melakukannya.

Julius Caesar menggunakan strategi menutup pasokan makanan dan air pasukan lawan dalam berbagai pertempuran yang dimenangkannya. Berhasil di satu kesempatan, dicoba lagi di kesempatan berikutnya. Hal serupa juga dilakukan oleh Genghis Khan ketika menaklukkan kawasan Asia Tengah.

Mencoba cara yang sama untuk menang juga ibarat formasi 4-3-3 yang dipakai Liverpool FC – klub sepakbola asal Inggris – dengan Roberto Firmino sebagai “striker palsu” alias false nine yang sukses mengantarkan Liverpool menjuarai Liga Champions Eropa di tahun 2019. Cara bermain ini kemudian dipakai lagi saat mengarungi Liga Inggris di musim 2019/2020. Hasilnya? Liverpool menjadi juara Liga Inggris di tahun 2020 – gelar pertama setelah 30 tahun penantian.

Mungkin ini akan jadi pembuktian apakah pengulangan taktik bisa diaplikasikan di politik elektoral, andaikata Anies Baswedan bisa memanfaatkan gejolak politik identitas di Pilpres 2024 mendatang. Ibarat mengulang peruntungan di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, ketika kasus yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama a.k.a. Ahok berhasil melenggangkan Anies ke kursi DKI-1, resep serupa bisa saja dipakai lagi.

Meskipun Anies mungkin tak secara langsung “memanfaatkan” politik identitas di tahun 2017 dan mungkin hanya sekedar terkena ekses dari kasus Ahok, pertanyaannya adalah apakah fenomena yang sama atau katakanlah mirip, bisa terjadi lagi? Lalu apakah politik identitas akan efektif untuk menarik pemilih? Untung ruginya apa politik identitas ini? Dan kalau bukan dengan masalah agama, apakah ada cara lain?

Ceruk Politik Identitas

Bicara soal relasi identitas dan Anies bukanlah tanpa alasan. Kalau kita memperhatikan banjir informasi, sentimen yang terjadi di dunia media sosial, dan komentar-komentar yang muncul di sana, memang masih kerap mengaitkan Anies dengan konteks politik identitas. Bahkan, ia dijuluki sebagai “Bapak Politik Identitas”. Predikat itu tentu didapat karena Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Adapun identitas itu sendiri adalah hal yang melekat pada diri pribadi seseorang. Identitas adalah segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri. Ini berkaitan dengan statusnya, nama, kepribadian, masa lalunya, dan lain sebagainya.

Ada banyak scholar yang mencoba mendefinisikan dan mendalami persoalan identitas ini. Erik Erikson, seorang psikolog dan psikoanalis, memperkenalkan konsep krisis identitas dalam teori perkembangan psikososialnya. Dia percaya bahwa identitas terbentuk melalui serangkaian tahap.

Sementara sosiolog Erving Goffman menekankan konsep “manajemen impresi” dan bagaimana individu mempresentasikan diri kepada orang lain dalam situasi sosial. Dia berargumen bahwa orang berperan dan menciptakan kesan untuk mengatur bagaimana mereka dilihat oleh orang lain, yang berkontribusi pada pembentukan identitas mereka.

Nah, ketika dipadankan dengan politik, maka identitas bisa bertindak sebagai manajemen impresi – mengutip pendapat Goffman – dan atau menjadi alat mempengaruhi. Di Indonesia sendiri, politik identitas yang paling umum ditemukan adalah soal agama, ras/suku dan budaya.

Penggunaan politik identitas bagi seorang politisi dapat memiliki efek yang kompleks, dengan potensi keuntungan dan risiko yang perlu dipertimbangkan. Politik identitas bisa dipakai untuk mobilisasi dukungan. Politisi dapat mengumpulkan dukungan dari kelompok-kelompok tertentu yang merasa diwakili atau diakui oleh politisi tersebut. Ini dapat meningkatkan basis dukungan politiknya.

Kemudian, akan ada potensi peningkatan keterlibatan pemilih. Dengan mengaitkan diri dengan isu-isu identitas, seorang politisi dapat meningkatkan keterlibatan pemilih yang merasa isu-isu tersebut relevan dengan kehidupan mereka.

Politik identitas juga bisa menjadi cara bagi politisi untuk membedakan diri dari lawan politiknya. Dengan menyoroti isu-isu yang penting bagi kelompok tertentu, seorang politisi dapat menciptakan citra yang unik di mata pemilih. Ini akan jadi bagian dari strategi pemenangan yang jitu.

Lalu, dengan membawa perhatian pada isu-isu identitas, politisi dapat mempromosikan kesadaran terhadap diskriminasi dan ketidaksetaraan yang mungkin dialami oleh kelompok tertentu, dan berusaha mengatasinya melalui kebijakan yang relevan. Ini sangat bisa – bahkan mungkin sudah dijalankan oleh Anies – untuk mengkapitalisasi dukungan politik.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Terkait hal-hal tersebut, Pak Anies bisa memanfaatkan beberapa isu misalnya soal kesenjangan sosial, pemerataan kesejahteraan, perbedaan kualitas hidup antara di Jawa dan di luar Jawa, dan lain sebagainya. Jadi, tidak terbatas hanya pada agama atau soal suku/ras.

Pakai “Ahok”: Gelombang Kemenangan atau Bencana?

Walaupun demikian, politik identitas juga memiliki risiko tersendiri. Misalnya, terlalu menonjolkan isu-isu identitas dapat menyebabkan polarisasi masyarakat, di mana kelompok-kelompok menjadi terbagi secara lebih tajam, mengakibatkan ketegangan sosial dan politik yang lebih tinggi.

Politik identitas yang berfokus terlalu kuat pada satu kelompok juga dapat mengesampingkan kelompok lain dan menciptakan persepsi bahwa Pak Anies hanya peduli pada sebagian kecil masyarakat.

Masalah lain adalah soal tuduhan memanipulasi emosi pemilih dan memperoleh dukungan, terlepas dari substansi atau rencana kebijakan yang sesungguhnya. Ini bisa berakibat pada persepsi negatif yang bisa saja akan diarahkan pada Pak Anies.

Kemudian, Pak Anies juga akan kehilangan isu-isu universal. Pasalnya, jika terlalu terfokus pada isu-isu identitas dapat menyebabkan terabaikannya isu-isu universal yang berkaitan dengan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya.

Dalam memutuskan untuk menggunakan politik identitas, politisi seperti Pak Anies perlu mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan tersebut. Penting untuk menjaga keseimbangan antara memperjuangkan hak-hak dan kepentingan kelompok identitas tertentu serta menjaga kesatuan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Politik identitas – mungkin bisa kita subsititusikan istilahnya dengan “Ahok” – memang menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari intisari politik itu sendiri. Dan kalau bicara politik dalam kaca mata aliran realisme dengan tokoh utamanya macam Niccolò Machiavelli, tidak ada obligasi untuk memperhitungkan moral sebagai bagian dari upaya memenangkan kekuasaan.

Sebab, politik itu seperti perang: menundukkan atau ditundukkan. Dengan situasi koalisi yang sedang digoyang – di mana kalau Demokrat keluar dari koalisi Anies, maka pencalonannya bisa saja akan berakhir – maka perlu bagi Anies untuk melihat the other way around. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.