Di tengah “selebrasi” penangkapan Djoko Tjandra, pengamat hukum tata negara, Refly Harun keluar dengan pernyataan bahwa kasus tersebut masih kalah berbahaya dibandingkan dengan kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP yang menyeret Harun Masiku. Lantas, adakah keterkaitan prioritas penanganan drama dua kasus yang saling tumpang tindih tersebut? Jika memang kasus Harun Masiku terkesan lebih berbahaya, mengapa PDIP tidak secara pro-aktif berusaha membantu pengungkapan melalui berbagai elemen kekuatan di kekuasaan yang dimilikinya?
Kritik justru dituai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD usai berkicau di media sosial soal keberhasilan dan harapan bagi tindak lanjut penangkapan tersangka kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali yang sudah buron selama 11 tahun, Djoko Tjandra.
Tidak sedikit warganet yang menaruh skeptisme atas glorifikasi serupa dari Mahfud pada imajinasi keberhasilan yang dinilai masih terlihat cukup sulit terjadi, yakni penangkapan buronan pada kasus lain, terutama kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP yang menyeret Harun Masiku.
Apalagi kasus tersebut beririsan dengan sedikit tereksposnya kepentingan partai penguasa, salah satu pihak yang merestui jabatan strategis Menkopulhukam yang diampu Mahfud saat ini. Ditambah, Mahfud sendiri sejak awal terkesan enggan bersentuhan dengan kasus Harun Masiku dengan justifikasi yang dapat diperdebatkan mengingat kapasitas dan kewenangannya.
Komparasi penangkapan Djoko Tjandra dengan Harun Masiku nyatanya tak hanya dicermati oleh warganet. Pakar hukum tata negara, Refly Harun bahkan secara tegas menyebut bahwa kasus Harun Masiku jauh lebih berbahaya dibandingkan Djoko Tjandra meski nominal suapnya tak sebesar kasus Bank Bali itu.
Refly menilai kasus Harun Masiku tak hanya merusak kredibilitas PDIP sebagai partai politik (parpol) penguasa, namun juga cukup parah menciderai demokrasi serta integritas penyelenggaraan pemilu, termasuk penyelenggaranya, KPU dan Bawaslu.
Selain itu, banyak pengamat yang jamak mengharapkan campur tangan dari Mahfud MD sebagai Menkopolhukam dalam kasus Harun Masiku, bahkan sejak awal mengemuka. Akan tetapi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Mahfud seolah “menghindar” dari potensi jebakan konfrontasi politik jika ia turut campur terlalu jauh.
Lantas dengan drama yang ada, pihak mana yang sebenarnya lebih tepat dan efektif untuk menjadi komando bagi penangkapan serta pengungkapan kasus Harun Masiku? Dan mengapa kasus ini seolah belum juga memiliki titik terang sampai detik ini?
Kuasa Luar Biasa PDIP?
Sebuah postulat menarik dari Lewis Alfred Coser tampaknya dapat menjawab apa yang sebenarnya terjadi sehingga kasus Harun Masiku yang seolah tak memiliki komando penegakan hukum yang jelas dan pengungkapannya terkesan tidak progresif.
Coser dalam The Functions of Social Conflict berusaha mengkritisi theory of authority yang dikemukakan oleh Max Weber secara faktual. Weber sendiri menganggap bahwa konsep dasar authority atau sebuah otoritas berwenang memiliki legitimasi masing-masing dalam sebuah sistem hierarkis yang diyakini bersama. Terlebih pada tipe rational legal authority yang memiliki basis legal yang kuat.
Coser lantas menganulir konsep “murni” tersebut dengan mengatakan bahwa kerangka legitimasi otoritas yang dimiliki, oleh pemerintah dalam konteks ini, pada realita empiris acapkali tidak bekerja dengan semestinya atau bahkan saling overlap atau tumpang tindih satu sama lain karena eksistensi inheren dari sebuah konflik tertentu.
Apa yang dikemukakan Coser tampak bersesuaian dengan tidak bekerjanya koordinasi dalam upaya pengungkapan kasus dan penangkapan Harun Masiku oleh para pihak yang berkepentingan dan memiliki otoritas meskipun terdapat hierarki dan distribusi tupoksi yang jelas.
Tengok saja ketika Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly membentuk tim khusus yang terdiri dari Bareskrim Polri, Kemenkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Ombudsman untuk memburu Masiku. Banyak pengamat yang skeptis dengan efektivitas langkah dari Yasonna tersebut, dan agaknya tepat jika mengacu pada progres kasus tersebut saat ini.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai bahwa langkah Yasonna membentuk tim tersebut tidak tepat dan semestinya menyerahkan penanganan kasus serta memberikan dukungan informasi kepada lembaga yang lebih memiliki otoritas konkret.
Dari situ wajar kiranya jika kesuksesan penangkapan Djoko Tjandra yang seolah diglorifikasi oleh Mahfud MD sebelumnya, menular kepada ekspektasi serupa publik kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu untuk segera mengambil alih koordinasi penanganan kasus serta penangkapan Harun Masiku.
Keruwetan yang terkonstruksi itu baru dari aspek teknis, belum dari aspek inherensi konflik seperti yang disebutkan Coser, utamanya soal tendensi konflik kepentingan. Pada ihwal ini, publik dinilai dapat secara objektif melihat benang merah dan kecenderungan arah perkara di antara subjek-subjek yang ada seperti Harun Masiku, Yasonna Laoly, serta pengaruh legitimasi otoritas yang sedang berkuasa.
Ya, PDIP menjadi benang merah secara harfiah yang dinilai cukup dominan mewarnai bayang-bayang dinamika kasus Harun Masiku hingga kini. Mengutip Refly Harun, pertanyaan terbesarnya adalah mengapa PDIP bersikeras mengangkat Masiku sebagai anggota DPR hingga akhirnya menimbulkan skandal suap yang menyeret komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Tentu merupakan tuduhan keji jika menyoroti keterkaitan antara terhambatnya penangkapan Harun Masiku dengan indikasi adanya intervensi PDIP sebagai partai penguasa pemerintahan tanpa bukti yang jelas, terlebih hal ini adalah perkara hukum.
Akan tetapi, jika mengacu pada tulisan Sulaiman Kura yang berjudul African Ruling Political Parties and the Making of ‘Authoritarian’ Democracies, disebutkan bahwa partai politik (parpol) yang berkuasa secara dominan dan dengan kekuatannya, cenderung membawa jalannya politik dan pemerintahan menuju sebuah bentuk baru dari sebuah kondisi yang disebut sebagai modern democratic authoritarianism atau otoritarianisme demokratis modern.
Gejala dari kondisi yang disebutkan Kura tersebut di antaranya ialah mendestabilisasi oposisi, politik patronase, serta memaksimalkan kepentingan dengan kekuatan “extra-legal” pada aspek penegakan hukum, yang dikatakan Kura sangat merusak keadilan sosial.
Berbagai variabel dari gejala yang disebutkan Kura di atas tampaknya cukup menarik jika diletakkan bersejajar dengan bagaimana keterkaitan antara PDIP sebagai partai dominan dalam pemerintahan saat ini dengan berbagai dinamika politik yang ada seperti isu koalisi “obesitas” parpol di pemerintahan, bagi-bagi jatah komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga isu politik dinasti dan krisis meritokrasi.
Bahkan gejala terakhir yang Kura sebutkan juga agaknya cukup menarik untuk dikomparasikan dengan bagaimana korelasi antara PDIP dengan dinamika penegakan hukum di tanah air, terutama pada kasus belum tertangkapnya Harun Masiku.
Parpol ft. Penegak Hukum Buru Masiku?
Jika sosok Djoko Tjandra jamak dianalogikan sekaligus diakronimkan dengan sebutan “Joker”, tidak berlebihan juga kiranya untuk melabeli Harun Masiku dengan “James Bond”. Ya, Harun Masiku bagaikan seorang intelijen kelas kakap yang merepresentasikan salah satu prinsip dasar seorang intel yakni “hilang tidak dicari”.
Publik pun diyakini masih bertanya-tanya mengapa seorang Harun Masiku menjadi sangat diinginkan keberadaannya oleh PDIP di parlemen, mengapa keberadaanya menjadi misteri setelah skandal yang merusak demokrasi dan konstitusi itu terkuak, hingga mengapa perburuan terhadap Masiku oleh berbagai kombinasi lembaga dan aparat penegak hukum masih belum membuahkan hasil.
Michael Pitts dalam Defining “Partisan” Law Enforcement menemukan pola menarik saat George W. Bush berkuasa. Ketika itu, terdapat “pengaruh partisan” partai Republik dalam pengaturan berbagai mekanisme hukum yang berinduk pada Department of Justice (DOJ) yang Pitts istilahkan sebagai partisan law enforcement.
Intisari tulisan Pitts tersebut tentu membuka peluang bagi interpretasi memungkinkannya “kolaborasi partisan” antara parpol dengan penegak hukum dalam proses pembuatan peraturan serta penegakan hukum.
Semestinya, PDIP dapat turut “berperan pro-aktif” sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait serta aparat penegak hukum untuk menangkap Masiku. Terlebih publikpun mengetahui bahwa pucuk pimpinan serta sosok strategis dan berpengaruh di lembaga terkait dan lembaga penegak hukum cukup “bersahabat” dengan partai banteng.
Selain Yasonna Laoly, terdapat Budi Gunawan, eks ajudan Megawati Soekarnoputri yang otoritasnya kini dapat dimaksimalkan untuk menemukan “si agen” yang hilang.
Tentu cara apapun yang ditempuh untuk menangkap Harun Masiku sangat dinantikan realisasinya oleh publik. Bahaya yang Refly Harun sebutkan atas skandal Masiku seharusnya juga menjadi cambuk bagi setiap pihak berwenang untuk menemukan sang “James Bond” dan memaksanya mempertanggungjawabkan perbuatannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.