Kisah Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman perlu ditiru oleh prajurit-prajurit saat ini. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Soedirman sebenarnya punya idealisme tidak setuju gencatan senjata dan berunding dengan Belanda. Lantas, seperti apa sikap Soedirman yang berhadapan dengan idealisme 100 persen merdeka itu?
Dalam situasi perang, seringkali gencatan senjata menjadi salah satu pilihan untuk mengulur waktu dan memberikan ruang bagi warga sipil untuk dievakuasi. Selain itu pula, tentunya juga mempunyai fungsi sebagai waktu jeda dalam melakukan kompromi atau mediasi.
Secara konseptual, gencatan senjata dapat dibagi dalam beberapa istilah, yaitu truce, ceasefire, dan armistice. Baik truce, ceasefire, dan armistice, apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti gencatan senjata.
Alexander Haryanto dalam tulisannya Apa Arti dan Bedanya Gencatan Senjata: Truce, Ceasefire & Armistice?, memberikan penjelasan tentang perbedaan istilah gencatan senjata. Pertama, truce yang berarti gambaran tentang pengaturan ad-hoc yang dibuat oleh para pejuang untuk menghentikan pertempuran.
Truce tidak membutuhkan negosiasi formal. Sebab, bisa jadi truce hanya dilakukan akibat kelelahan pertempuran dalam waktu panjang, sehingga para pejuang menghentikan sementara operasi militer mereka sebagai upaya untuk mengistirahatkan pasukan.
Kedua, ceasefire, yaitu gencatan senjata formal yang dapat berupa kesepakatan yang dinegosiasikan dan disertai dengan komitmen untuk mengurangi ketegangan. Sebuah komitmen di antara pihak yang bertikai untuk mengembalikan pasukan ke zona aman, zona demiliterisasi atau garis pemisahan yang dibatasi dengan jelas.
Ketiga, armistice adalah kesepakatan formal para pejuang untuk mengakhiri permusuhan dengan cara merundingkan penyelesaian perdamaian dalam jangka panjang. Armistice adalah perjanjian yang mengikat secara hukum. Contohnya, gencatan senjata yang mengakhiri perang dunia. Namun, ini dalam konteks kesepakatan negara yang bertikai.
Ketiga variasi konsep gencatan senjata pernah dialami pejuang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Misalnya saat agresi militer II tahun 1948, pemimpin politik ditahan dan militer Indonesia diharapkan menyerah dan melakukan gencatan senjata.
Lalu, pada 3 Agustus 1949, pemerintah (pimpinan politik) Indonesia dan Belanda mengumumkan gencatan senjata setelah lebih dari tujuh bulan berperang. Gencatan senjata ini menandai babak lain dari perang kemerdekaan.
Tapi hal ini berbeda jika kita tinjau dalam perspektif militer. Bagi prajurit militer, gencatan senjata adalah simbol awal dari “ketakutan” terhadap lawan. Hal ini terlihat dalam idealisme yang ditunjukkan oleh Jenderal Besar Soedirman, sebagai pimpinan militer.
Soedirman sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) saat itu memilih bergerilya dan tidak menggubris ultimatum dari Belanda. Terdapat cerita yang menggambarkan nuansa haru biru, di mana idealisme Soedirman berada pada titik yang dilematis, antara mempertahankan idealisme melawan penjajah ataukah harus melakukan gencatan senjata.
Lantas, seperti apa kisah dilema Soedirman saat menghadapi kondisi dilematis seperti itu?
Mengenal Sosok Jenderal Besar
Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa yang rajin.
Sejak muda, Soedirman dikenal sebagai pemuda istimewa. Dia pandai berpidato, pemain sepak bola dan teater yang handal. Namun, di sisi lain, Soedirman dikenal sangat alim. Bahkan teman-temannya menjulukinya “Kaji” yang berarti Haji.
Irfan Kamil dalam tulisannya Jejak-jejak Perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, menceritakan, setelah Soedirman berhenti kuliah keguruan pada 1936, ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah di sekolah dasar Muhammadiyah. Soedirman lalu menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, dan menjabat sebagai komandan batalyon di Banyumas.
Dalam karier militernya, Soedirman dikenal dekat dengan beberapa tokoh militer lainnya, seperti Gatot Subroto. Gatot Subroto adalah orang yang dianggap mampu meluluhkan hati keras Soedirman yang menolak Indonesia menempuh meja perundingan.
Fahmi Firdaus dalam tulisannya Gatot Soebroto, Jenderal TNI Pembela Soeharto, mengatakan sosok Gatot Soebroto mempunyai hubungan dekat dengan Soedirman. Soedirman menganggap Gatot sebagai kakak, walaupun pangkat Gatot di bawahnya.
Setelah Perjanjian Roem-Royen ditandatangani, pemerintah Republik Indonesia pun kembali ke Yogyakarta. Namun Jenderal Soedirman masih bergerilya memimpin anak buahnya di luar Yogya, dan hanya Gatot Soebroto lah yang berhasil melemahkan pendirian sang Panglima Besar. Hingga akhirnya pada tanggal 10 Juli 1949, Jenderal Soedirman kembali ke Yogya.
Dalam perjuangan Soedirman, sosok istrinya, yaitu Siti Alfiah, merupakan sumber inspirasi dan penyemangat dalam meneguhkan pendiriannya. Alfiah adalah perempuan Jawa yang masih memegang tradisi Jawa dalam melayani suami.
E. Rokajat Asuro dalam bukunya Soedirman dan Alfiah: Kisah-kisah Romantis Panglima Besar Jenderal Soedirman, menggambarkan Alfiah sebagai model perempuan Jawa yang dikiaskan dengan lima jari seperti dalam Kitab Serat Centhini. Filosofi Jawa ini mengartikan bahwa peran utama perempuan adalah ketundukan kepada sang suami.
Kisah perjuangan tentara di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Soedirman mempunyai tantangan yang begitu besar. Tentara Indonesia yang masih dianggap “pemberontak” oleh penjajah Belanda memberikan perlawanan sengit. Pertumpahan darah tak bisa dihindari, hal ini yang memicu idealisme untuk tidak akan menyerah dalam melawan pasukan musuh.
Fadrik Aziz Firdausi dalam tulisannya Sejarah Gencatan Senjata RI-Belanda: Awal Mula Pengakuan Kedaulatan, mencatat, saat Yogyakarta kembali diakui sebagai ibu kota Republik Indonesia, Soekarno, Hatta, dan pemimpin RI lainnya tiba kembali di Yogyakarta. Setelah seluruh perangkat pemerintahan RI lengkap, dimulailah upaya-upaya pelaksanaan Persetujuan Roem-Royen.
Tapi perundingan ini bukan sesuatu yang mudah, karena adanya ketidaksetujuan pimpinan militer terhadap gencatan senjata. Soedirman, misalnya, masih kecewa pada Soekarno-Hatta yang tidak menepati janji untuk bergerilya ketika Yogyakarta diserang.
Hendri F. Isnaeni dalam tulisannya Pengunduran Diri Jenderal Soedirman, mengatakan, karena merasa berbeda dengan idealismenya, Soedirman menghadap Soekarno untuk mengundurkan diri dari posisi Panglima TNI. Ia menyatakan tak bisa lagi mengikuti kebijakan politik pemerintah.
Soekarno lalu balas mengultimatum dengan mengatakan, jika Soedirman mundur maka Soekarno-Hatta akan lebih dulu mundur. Sore harinya, Soedirman ditemui Kolonel Nasution di rumahnya. Ditunjukkannya surat pengunduran diri yang sudah ditulis tapi belum ditandatangani. Nasution lantas mencoba melunakkan hati Soedirman, dan akhirnya Panglima Besar itu luluh juga.
Pertemuan dengan Soekarno jadi bukti komitmen Soedirman terhadap Tanah Air. Dia menanggalkan idealisme militernya yang mengisyaratkan bahwa prajurit anti perundingan untuk taat kepada perintah Panglima Tertinggi, yaitu Presiden Republik Indonesia Soekarno.
Well, lantas, seperti apa mengungkap dilema besar yang dirasakan oleh Soedirman dalam mempertahan idealismenya?
Idealisme Prajurit ala Soedirman
Jika kita analisis dari segi patriotisme militer, Soedirman sebagai prajurit pasti akan memilih untuk menolak gencatan senjata. Tapi perlu kita simak konteks peristiwa pada saat itu, di mana tidak semudah hanya bersandar pada pendekatan patriotisme militer, tapi terdapat kompleksitas dalam memilih strategi perjuangan.
Sardiman dalam bukunya Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah, memperlihatkan bahwa Soedirman berada di tengah dua arus pemikiran perjuangan.
Dua aliran atau faham strategi perjuangan yang terkuat pada waktu itu, yaitu alam pikiran Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin yang menjalankan politik damai atau perundingan. Kemudian yang berseberangan adalah alam pikiran Tan Malaka yang lebih menginginkan politik perjuangan bersenjata dengan propaganda kemerdekaan 100 persen.
Pada awalnya, Soedirman berjalan beriringan dengan konsep Tan Malaka. Soedirman dan Tan Malaka berusaha meyakinkan banyak pihak untuk berani frontal kepada Inggris dan sekutunya. Tak hanya Inggris, kepada Belanda yang jelas penjajah pun tak perlu ragu untuk bersikap keras.
Petrik Matanasi dalam tulisannya Kala Jenderal Soedirman Memilih Jadi Oposisi, mengungkap bahwa Soedirman menolak diplomasi berlebihan dengan negara sekutu yang tak menghargai kedaulatan Indonesia.
Dia tampak tidak sepakat terhadap jalan diplomasi pemerintah kabinet Syahrir dengan Inggris atau Belanda. Menurutnya, lebih baik diatom (di bom) sama sekali daripada tidak merdeka 100 persen.
Tapi dalam kondisi yang terbelah, Soedirman dituntut untuk dapat menentukan pilihan yang rasional dan punya dampak lebih banyak terhadap tiap elemen perjuangan. Sebagai Panglima Tinggi komando militer, Soedirman dihadapkan pada kondisi psikologis yang begitu rumit untuk memilih.
Peristiwa tersebut sangat menyulitkan posisi Panglima Besar Soedirman, apalagi dalam peristiwa tersebut namanya ikut terkait. Oleh karena itu, Soedirman harus mengambil sikap tegas supaya tidak terjadi perpecahan dalam tubuh tentara.
Sikap politik militer yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas idealisme militer menjadi pelajaran penting dalam melihat sosok Soedirman. Selain persatuan, Soedirman memberikan garis tegas bahwa politik militer adalah politik pemerintah yang berdaulat. Seorang pimpinan tentara harus tunduk pada supremasi politik pemerintahan.
Akhirnya, sikap patriotisme yang diperlihatkan oleh Soedirman dapat menjadi pelajaran bagi prajurit-prajurit masa kini. Soedirman memperlihatkan, bahwa eksistensi prajurit berbanding lurus dengan sikap kedisiplinan dan kepatuhannya terhadap pemerintah. Hal ini menjadi pelajaran moral yang besar dalam dunia keprajuritan. (I76)