Pembangunan infrastruktur Jokowi dianggap sebagai pencitraan oleh oposisi. Apa yang salah dengan kata “pencitraan” sehingga kerap mendapat cap buruk?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]encitraan. Cap tersebut buru-buru diberikan kelompok oposisi kepada pemerintahan Jokowi dan beragam kebijakannya. Terakhir, Partai Gerindra mengritik bahwa geliat pembangunan infrastruktur di tangan Jokowi tidak lain hanya pencitraan menjelang Pilpres 2019.
Kata pencitraan kerapkali menjadi label murah untuk mengritik suatu kebijakan atau langkah aktor-aktor politik. Hal ini terutama jika langkah yang diambil ternyata mendapat respons baik dari khalayak. Pengritik akan menilai pembuat kebijakan memang sedari awal mencari respons baik tersebut sebagai upaya membentuk citra positif.
Tampak bahwa pencitraan mengalami peyorasi atau pemburukan makna. Langkah yang sebenarnya lumrah dilakukan, berubah menjadi salah satu hal yang dianggap tabu. Padahal, di era media seperti ini, pencitraan baik melalui media massa maupun media sosial dapat berarti besar bagi seorang aktor politik.
Dengan makna pencitraan yang mengalami pemburukan, apakah langkah tersebut masih bisa dianggap wajar dilakukan politikus? Haramkah seorang aktor politik berupaya memunculkan citra positif tentang dirinya?
Hal yang Wajar
Jika dilihat secara umum, pencitraan merupakan hal yang tergolong amat wajar dilakukan aktor-aktor politik. Hal ini terutama jika mereka tengah dihadapkan dengan proses Pemilu. Para politikus akan berlomba untuk menonjolkan citra positif di hadapan calon pemilih mereka.
Menurut Irving J. Rein, Philip Kotler, dan Martin R. Stroller, politik adalah sebuah profesi di mana pembentukan dan tranformasi citra adalah hal yang mendominasi. Secara keseluruhan, komunikasi politik dapat dianggap sebagai upaya untuk menciptakan citra yang paling dapat diterima oleh para pemilih.
Mereka menambahkan bahwa para pemilih memang cenderung memilih kandidat berdasarkan citra kandidat yang tersedia. Pada kenyataannya, pemilih tidak banyak mengambil pertimbangan berdasarkan program-program yang ditawarkan oleh kandidat.
Di atas kertas, pembeda antara satu kandidat dengan kandidat lain atau satu partai dengan partai lainnya adalah ideologi. Akan tetapi, kondisi sosial politik belakangan ini dan penurunan peran ideologi membuat hal tersebut tidak lagi penting, setidaknya di mata pemilih.
Pembedaan antara satu kandidat dengan kandidat lain belakangan ini tampak lebih mudah dilakukan melalui citra yang mereka munculkan. Ada kecenderungan bahwa kredibilitas suatu aktor politik direfleksikan melalui gambaran politik yang selama ini terbentuk.
Pembedaan citra ini nampak misalnya pada berbagai kandidat calon presiden di AS. Bill Clinton misalnya muncul dengan citra politikus muda yang berenergi. Hal ini tergolong kontras jika dibandingkan lawannya George H. W. Bush yang jauh lebih tua.
Hal serupa berlaku bagi George W. Bush. Bush muncul dengan citra orang yang jauh dari kemapanan Washington dan muncul dengan kritik. Hal ini berbeda dengan lawannya, Al Gore seorang wakil presiden yang dianggap mapan dan membosankan.
Menurut Darren G. Lilleker, 30 hingga 40 persen pemilih memilih kandidat berdasarkan citra mereka. Secara khusus, citra ini menjadi faktor penting dalam menarik undecided voters atau kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan sebelumnya.
Lilleker menambahkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan mengapa pencitraan berperan besar dalam politik. Pertama, kurang tertariknya media kepada politikus dan politik secara umum. Kedua, media lebih tertarik kepada orang terkenal.
Hal ini mendorong para politikus kerap tampil di media untuk berbagai urusan. Mereka tidak membatasi sorotan hanya untuk urusan politik saja, tetapi juga untuk urusan lain seperti musik, olahraga, dan hiburan lainnya. Hal ini adalah upaya agar politikus mendapatkan sorotan media serupa selebriti atau orang terkenal lainnya.
Rein, Kotler, dan Stroller menilai bahwa untuk membentuk citra dari seorang politikus atau entitas politik, hal utama yang perlu dilakukan adalah menciptakan sesuatu yang mudah dikenali dan dilihat oleh masyarakat. Setelah itu, langkah yang perlu dijalankan adalah membentuk rasa percaya di dalam masyarakat.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, maka pencitraan boleh jadi adalah hal yang wajar di dalam politik. Hal ini menjelaskan mengapa politikus dari berbagai parpol berlomba-lomba memunculkan gambaran positif atas mereka di berbagai media massa dan sosial. Pencitraan melalui media menjadi jalan untuk memperpendek cara penyampaian pesan dari aktor politik kepada khalayak.
Pencitraan Menjadi Tabu
Jika memang wajar, lantas mengapa pencitraan kerapkali dianggap sebagai hal yang tabu oleh banyak pihak? Ada banyak hal yang menjadi penyebab dari kondisi ini. Umumnya, pemburukan makna dari pencitraan ini bersumber dari motif aktor politik itu sendiri.
Petras Orzekauskas dan Ingrida Smaiziane mengemukakan bahwa ada dua tipe pencitraan politik yang lazim dilakukan politikus. Tipe-tipe ini dibedakan berdasarkan jangka waktunya yaitu citra jangka panjang dan jangka pendek.
Citra jangka panjang dibentuk secara kontinu dalam jangka panjang. Citra jangka panjang bersumber dari reputasi dan kampanye yang sudah dibangun selama bertahun-tahun.Sementara itu, citra jangka pendek dibentuk untuk kepentingan elektoral yang spesifik. Umumnya, citra ini dibentuk dalam waktu yang singkat hanya untuk memenangkan pemilu.
Meski ada pembedaan tipe tersebut, politikus tertentu dapat menikmati citra jangka pendek melalui citra jangka panjang yang telah lebih dahulu dibangun. Ada aspek-aspek tertentu dari citra jangka yang ditonjolkan untuk kepentingan yang bersifat jangka pendek.
Fadli Zon Minta Proyek Infrastruktur Tak Dikebut Demi Pencitraan Politik https://t.co/RSkttFe8lN
— Fadli Zon (@fadlizon) February 21, 2018
Bisa jadi, pemburukan makna terhadap pencitraan terjadi karena para politikus lebih sering melakukan pencitraan jangka pendek. Alih-alih membuat citra positif dengan kerja-kerja bermanfaat jangka panjang, mereka lebih gemar membangun gambaran baik atas diri mereka hanya untuk kepentingan politik jangka pendek.
Di luar itu, peyorasi terhadap citra politik juga dapat berasal dari kebiasaan aktor politik untuk mengalihkan atau menutupi isu tertentu. Langkah ini kerapkali dijelaskan melalui teori tabir asap atau smoke screen theory.
Para politikus kerapkali tergoda menggambarkan diri dengan nada positif karena tengah mengalihkan masyarakat dari isu tertentu. Umumnya, citra ini berhasil menutupi hal buruk yang diperbuatnya sebagaimana tabir asap mengahalangi pandangan mata.
Tabir asap dapat membuat seorang politikus “dicitrakan bekerja” alih-alih “bekerja untuk memperoleh citra”. Ada kekurangan yang mereka tutupi melalui tabir asap tersebut sehingga citra mereka di depan khalayak tetap baik.
Berburu Citra Jelang Pilpres?
Lalu bagaimana dengan langkah Jokowi dan infrastrukturnya? Mau dilihat dari mana pun, kebijakan pembangunan infrastruktur akan menimbulkan citra bahwa dirinya adalah seorang pemimpin yang rajin mendorong pembangunan di negeri ini.
Jika dilihat melalui teori Orzekauskas dan Smaiziane, bisa dilihat bahwa citra tersebut sebenarnya sudah terbangun sejak era kampanye. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dilihat bahwa pencitraan soal pembangunan ini dapat dikategorikan sebagai pencitraan jangka panjang.
Reputasi Jokowi dan infrastruktur ini jika ditelusuri sudah lama ia bangun sejak era kampanye Pilpres 2014. Salah satu janji infrastruktur yang paling diingat misalnya adalah pembangunan tol laut di seluruh negeri. Hal ini berlanjut saat ia berhasil menjadi pemenang pada gelaran tersebut. Ia meneken sebuah Perpres yang terbit di tahun 2016 untuk melanjutkan janji kampanye tersebut.
Sejauh ini, hal itu berhasil memunculkan citra Jokowi sebagai pemimpin yang identik dengan pembangunan infrastruktur. Hal ini ditunjukkan misalnya dalam survei yang dirilis oleh Poltracking pada Maret 2018. Sebanyak 66,5 persen menilai bahwa pemerintah berhasil membangun infrastruktur jembatan dan jalan. Capaian tersebut menjadi capaian puncak pemerintahan Jokowi pada survei tersebut.
Meski demikian, jika melihat tenggat waktu pembangunan tersebut, ada keuntungan elektoral jangka pendek yang diraup oleh mantan Wali Kota Solo tersebut. Nyaris semua proyek infrastruktur ditargetkan harus rampung jelang Pilpres 2019.
Terlihat bahwa citra jangka panjang yang ia bangun sejak lama berdampak pada citra jangka pendeknya jelang Pilpres 2019. Sejauh ini, belum ada bukti bahwa pembangunan itu sengaja dilakukan untuk menggaet suara di pesta demokrasi kelak. Akan tetapi, citra bahwa Jokowi rajin membangun infrastruktur sudah terbangun sejak lama di masyarakat.
Mau tidak mau, pembangunan infrastruktur akan berdampak bagi citra Jokowi. Hal itu sangat wajar jika melihat fenomena umum perilaku pemilih. Jokowi harus mengidentikkan diri dengan gambaran tertentu agar terlihat berbeda dibanding kandidat lain. Survei Poltracking menjadi bukti bagaimana ia berhasil membedakan diri dengan kandidat lain.
Meski demikian, perlu diperhatikan apakah selama ini murni pembangunan yang berdampak citra atau sekadar mencitrakan diri bekerja. Jika yang kedua yang dilakukan, maka bisa saja pembangunan selama ini hanya sekadar tabir asap semata. (H33)