Dengarkan artikel ini:
Setelah Partai Golkar memilih untuk mengusung Dedi Mulyadi di Pilkada Jawa Barat (Jabar) 2024, Ketua Umum (Ketum) Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa Ridwan Kamil (RK) kini sedang ‘on the way’ Jakarta.
“Put it in drive. I’ll be outside. I’ll be on the way” – Khalid, “OTW” (2018)
Siapa saja pasti langsung siap berangkat ketika orang terkasih meminta untuk datang. Bagaimana tidak? Biasanya, dia akan kesal bila tidak dituruti.
“On they way!” pesan singkat yang biasanya dikirim setelah orang tersayang mengirimkan pesan. Berkilometer-kilometer-pun akan dilalui demi orang yang tercinta.
Kurang lebih, begitulah makna lirik lagu Khalid yang berjudul “OTW” (2018). Khalid bersama dua musisi lainnya, Ty Dolla $ign dan 6lack, bercerita bahwa mereka akan selalu siap sedia untuk orang yang mereka sayangi, yakni siap untuk langsung on the way (OTW).
Hal yang sama tampaknya juga terjadi dalam dunia politik Indonesia. Bagaimana tidak? Seorang politikus asal Jawa Barat (Jabar) dikabarkan akan segera OTW ke Jakarta, yakni mantan Gubernur Jabar Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil.
Kabar ini mencuat setelah beberapa bulan nasib RK sempat simpang siur. Beberapa mendukung RK untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta. Beberapa lainnya menginginkannya untuk maju di Pilkada Jabar saja.
Namun, usai berbagai perundingan politik yang panjang di Koalisi Indonesia Maju (KIM), RK akhirnya, disebutkan oleh Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, akan OTW ke Jakarta.
Mungkin, RK sadar bahwa Jakarta kini tengah membutuhkan kehadirannya, layaknya orang tersayang yang sedang meminta sang pacar atau kekasih datang. Siapa tahu Jakarta kini sedang membutuhkan “jodoh” yang pas?
Hmm, lantas, bagaimana dengan “kekasih-kekasih” Jakarta yang sebelumnya, katakanlah Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok? Mengapa bisa saja kini RK lebih bisa jadi “jodoh” yang dicari-cari untuk Jakarta?
Medellín, Jakarta, dan Segala ‘Red Flags-nya’
Tidak dapat dipungkiri bahwa Jakarta bukanlah kota terbaik untuk bisa ditinggali dengan rasa aman dan nyaman. Banyak persoalan masih menyelimuti provinsi berstatus daerah khusus ini.
Berapa kali warganet mengeluh atas berbagai persoalan di Jakarta ini? Mungkin, tidak akan bisa dihitung oleh jari tangan saja.
Mulai dari kemacetan, potensi banjir, polusi udara, hingga ancaman tenggelam, warga Jakarta pasti sudah hapal satu per satu. Atas alasan ini juga, pemerintah pusat memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Namun, dengan berpindahnya ibu kota, tidak serta merta masalah-masalah di Jakarta ini selesai. Persoalan tetap hadir untuk menjadi perhatian gubernur selanjutnya.
Sebenarnya, terdapat sejumlah kota lain yang memiliki persoalan-persoalan seperti Jakarta. Medellín di Kolombia, misalnya, menjadi salah satu kota yang pernah memiliki masalah-masalah urban terkompleks di dunia.
Medellín yang merupakan kota terbesar di Kolombia memiliki sejumlah persoalan mayor. Salah satunya adalah tingkat kejahatan yang tinggi dan minimnya inklusivitas akses untuk warga-warganya sendiri.
Meski begitu, dunia dikejutkan ketika Medellín berhasil berbenah. Sampai-sampai, keberhasilan ini diberi julukan “Medellín Miracle” atau Keajaiban Medellín.
Bagaimana Medellín bisa melakukannya? Jawabannya sederhana, yakni karena orang yang tepat. Gagasan-gagasan soal desain urban sebenarnya sudah ada untuk diimplementasikan di Medellín.
Sejumlah perkembangan dan pembangunan akhirnya dilakukan untuk menciptakan Medellín yang lebih inklusif bagi warganya. Medellín menggunakan pendekatan yang disebut sebagai social urbanism, yakni pendekatan pembangunan kota yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi warganya.
Beberapa caranya adalah dengan membangun sistem Metrocable. Sistem transportasi ini akhirnya membuat banyak wilayah di Medellín bisa dijangkau, menciptakan akses ekonomi yang lebih luas sehingga bisa menurunkan persoalan lainnya seperti tingkat kejahatan.
Mengacu ke tulisan Kate Maclean yang berjudul “The ‘Medellín Miracle’: the Politics of Crisis, Elites and Coalitions,” wali kota Medellín saat itu, Sergio Fajardo, merupakan seorang teknokrat, yakni seorang ahli matematika dari kampus ternama di Kolombia.
Bukan tidak mungkin, RK yang juga merupakan seorang teknokrat yang berlatar belakang tata kota mampu mengikuti langkah Fajardo, yakni dengan menjadi orang yang tepat saat dibutuhkan. Namun, mengapa RK? Bukannya Anies juga merupakan seorang akademisi dan teknokrat?
Hanya RK yang Bisa, Bukan Anies?
Fajardo bukanlah hanya seorang teknokrat, akademisi, atau profesor. Mantan wali kota Medellín itu juga merupakan politikus penengah.
Fajardo bukan merupakan seorang elite politik tetapi dirinya bisa mempertemukan kepentingan berbagai elite. Pasanya, kompromi di antara berbagai stakeholders merupakan kunci atas keberhasilan “Medellín Miracle.”
Maclean dalam tulisannya yang berjudul “The ‘Medellín Miracle’: the Politics of Crisis, Elites and Coalitions” menjelaskan bahwa Fajardo bukan merupakan seorang insider atau outsider dalam politik, melainkan seorang insider dan outsider sekaligus.
Sebagai seorang profesor, Fajardo merupakan bagian dari masyarakat elite yang dekat dengan pemerintahan dan elite lainnya. Namun, dirinya juga bukanlah elite politik yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga bisa dipercaya oleh masyarakat luas.
Apa yang dilakukan Fajardo saat itu? Fajardo mempertemukan semua kelompok untuk saling berkompromi. Pasalnya, persoalan-persoalan Medellín tidak akan bisa selesai bila semua pihak tidak sejalan.
Persoalan Jakarta-pun hampir sama. Pasalnya, beragai kebijakan maupun regulasi pasti harus melalui proses politik yang panjang.
Di sinilah, RK bisa mengisi perannya. RK memiliki fleksibilitas untuk bisa diterima di berbagai kelompok politik.
Dengan partai-partai pemerintah, misalnya, RK memiliki kedekatan, mengingat RK juga merupakan bagian dari Golkar dan KIM. Ini membuatnya mudah untuk bisa mengompromikan kepentingan Jakarta dengan KIM.
Tidak hanya KIM, RK juga punya kedekatan masa lalu dengan sejumlah partai politik lain. Selama dirinya menjadi wali kota Bandung dan gubernur Jabar, RK pernah diusung oleh partai-partai lain seperti PKS dan PPP.
RK sendiri kerap dianggap memiliki kecenderungan politik untuk dekat ke kelompok nasionalis. Namun, sedikit diketahui umum bahwa RK juga memiliki latar belakang santri, membuatnya dekat dengan kelompok Muslim manapun.
Bila RK bisa menjadi tokoh yang fleksibel, berbeda lagi dengan Anies. Meski bukan tokoh yang benar-benar ekslusif, pengatribusian atas fenomena identitas di Pilkada DKI Jakarta 2017 membuat banyak kelompok tidak serta merta terbuka pada Anies.
Ini mengapa RK bisa jadi lebih unggul dibandingkan dengan calon gubernur (cagub) potensial lainnya. Siapa tahu RK-lah yang akhirnya jadi “jodoh” yang pas untuk mewujudkan “Jakarta Miracle”? (A43)