Site icon PinterPolitik.com

Hanya Erick yang Didengar FIFA?

Hanya Erick yang Didengar FIFA

Menteri BUMN Erick Thohir dan Presiden FIFA Gianni Ifantino (foto: Instagram @erickthohir)

Indonesia lolos dari ancaman sanksi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) yang dicemaskan akan dijatuhkan akibat tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Sosok Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir disebut jadi aktor sentralnya. Bagaimana kita perlu memaknai ini?


PinterPolitik.com

Tragedi Stadion Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober lalu mungkin menjadi salah satu pengalaman terpahit Indonesia pada tahun 2022. Kejadian yang menewaskan lebih dari 120 orang ini bahkan berhasil menyita perhatian dunia dan mendapat respons dari sejumlah pemimpin besar dunia.

Paus Fransiskus, misalnya, turut mengajak warga seluruh dunia untuk mendoakan para korban Kanjuruhan beserta keluarga yang ditinggalkannya. 

Namun, dampak internasional tragedi ini tidak hanya soal doa-doa yang diberikan dunia, tapi juga potensi sejumlah kecaman dari berbagai pihak terhadap penyelenggara sepak bola Indonesia dan pemerintah. Terkait Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan (Iwan Bule) contohnya, telah beredar sebuah petisi online yang meminta agar dirinya mundur dari jabatan Bos PSSI.

Lalu, para penggemar sepak bola Indonesia juga sempat dibuat khawatir tentang adanya kemungkinan sanksi dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Wajar, Indonesia memang berpengalaman terkena sanksi FIFA pada tahun 2015 silam terkait pembekuan PSSI oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Indonesia (Kemenpora).

Akan tetapi, tiba-tiba saja kekhawatiran tersebut diberikan jawaban yang cukup menenangkan hati. Beberapa hari setelah tragedi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa FIFA tidak akan menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. Bahkan, organisasi sepak bola yang namanya sering dijadikan nama video game tersebut dikatakan justru akan membentuk tim transformasi sepak bola Indonesia agar tragedi seperti Kanjuruhan tidak terjadi lagi.

Yang lebih menariknya, terkuak bahwa ternyata ada sosok yang sangat berjasa dalam peniadaan sanksi FIFA, dan ia adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Mantan Bos klub sepak bola Inter Milan itu disebut terbang langsung ke Doha, Qatar, untuk bertemu dengan Presiden FIFA Gianni Ifantino dan berhasil melobinya agar FIFA tidak “menghukum” Indonesia.

Upaya diplomasi ini lantas mendapat perhatian publik, ada yang mengapresiasi apa yang dilakukan Erick, tapi di sisi lain banyak juga yang mengkritisinya karena dianggap sebagai Menteri BUMN yang “merangkap” tugas Menpora.

Lantas, bagaimana kita bisa memaknai peran diplomasi yang dilakukan Erick ini?

Erick Thohir, Diplomat Andalan Jokowi?

Ini bukan pertama kalinya Erick melakukan manuver diplomasi yang berdampak besar. Pada tahun 2016 silam, Erick juga disebut melakukan pendekatan terhadap FIFA untuk mencabut sanksi yang dijatuhkannya pada Indonesia dan, alhasil, pada tahun itu FIFA mencabut sanksinya. 

Hal tersebut tentu sangat menarik mengingat peran seperti itu secara awam mungkin seharusnya dilakukan oleh Menpora ataupun Ketua PSSI karena mereka lah yang secara langsung bertanggung jawab pada nasib sepak bola di Indonesia. Namun, di satu sisi, karena pengalaman sukses Erick melobi FIFA di masa lalu, maka sebenarnya keputusan Jokowi untuk kembali mengirim Erick ke FIFA merupakan pilihan yang tepat.

Ini karena sepertinya Erick adalah sosok yang menjadi seorang diplomat pragmatis dalam kabinet Jokowi.

Corneliu Bjola dalam tulisannya Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, menyebutkan bahwa ada tiga jenis pemimpin diplomatik yang sukses: (1) maverick yang memiliki visi besar tetapi sulit menginspirasi banyak pihak, (2) congregator yang mampu membangun konsensus di antara banyak pihak, dan (3) pragmatist yang berorientasi pada kerja sama dan membangun keuntungan mutual.

Terkhusus diplomat pragmatis, Corneliu juga menyoroti bahwa diplomat jenis ini umumnya mampu menarik perhatian lawan diplomasinya dengan bekal kekuatan personal, seperti keahliannya membuka peluang bisnis dan hubungan prospektif di masa depan.

Meski tidak disebutkan secara spesifik akan seperti apa nantinya, langkah-langkah perbaikan sepak bola Indonesia yang disetujui dengan FIFA berpotensi menjadi pembuka peluang bisnis bagi kedua pihak dalam urusan olahraga. 

Dengan kesepakatan seperti menghadirkan pendamping dari FIFA dan pembangunan kantor FIFA di Indonesia, hasil perbincangan antara Erick dan Ifantino tidak hanya meredam sanksi, tapi juga membuka kesempatan bisnis yang sebelumnya mungkin belum dimiliki FIFA dan Indonesia. Jika benar demikian, maka itu semakin menunjukkan bahwa Erick adalah diplomat yang pragmatis.

Di sisi lain, kesuksesan diplomatik Erick juga sebenarnya menunjukkan pada kita bahwa Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi sepertinya cukup mengandalkan personal diplomacy atau diplomasi perseorangan untuk menyelesaikan sejumlah urusan penting. Dengan mengandalkan keunggulan personal Erick yang punya sejarah panjang dalam dunia olahraga dan kedekatannya dengan Ifantino secara khususnya, Indonesia bisa mencegah malunya dikecam komunitas sepak bola dunia.

Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush dalam video monolognya, The Art of Personal Diplomacy, menyoroti bahwa salah satu diplomasi yang paling sukses adalah diplomasi yang tidak hanya mengalibrasikan tujuan utama masing-masing pihak, tetapi juga diplomasi yang mampu mengkapitalisasi rasa simpati dan empati dengan pihak yang diajak bicara.

Sebagai dampaknya, diplomasi jenis ini juga sering kali mengandalkan kedekatan personal dan kapabilitas pribadi di atas jabatan struktural untuk selesaikan masalah-masalah negara. Dari pandangan kenegaraan, jika diplomasi seperti ini memang terbukti mampu menyelesaikan masalah, maka sebetulnya persoalan terkait jabatan tidak terlalu dianggap penting. 

Namun, ini tetap menjadi kritik tersendiri terhadap Menpora dan Ketua PSSI yang seharusnya bisa berperan lebih untuk selamatkan apa yang jadi perhatian pekerjaan utamanya.

Dan dari pandangan tersendiri, ada satu poin penting lain yang juga bisa kita sorot dari peran diplomasi Erick, yakni tentang sosok-sosok dalam kabinet yang tampak memiliki peran diplomasi lebih besar dari pekerja-pekerja kabinet Jokowi lainnya. 

Erick Sang Mr. Fixit?

Kalau kita perhatikan, karakteristik dari kabinet Jokowi sejak awal masa pemerintahannya adalah ada beberapa tokoh yang jadi garis terdepan untuk urusan diplomasi. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, yang beberapa kali jadi perpanjangan tangan Jokowi untuk urusan bisnis di luar negeri. Lalu, ada juga Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang sejak 2019 melanglang buana keliling dunia mencari alat utama sistem senjata (alutsista) terkini untuk memodernisasi militer Indonesia.

Stefania Palma dalam tulisannya The smiling ex-general who has become Indonesia’s ‘Mr Fixit’ di laman Financial Times, menyebut peran yang dimainkan orang-orang seperti ini sebagai Mr. Fixit atau Tuan Pemecah Masalah. Ini adalah mereka-mereka yang punya sejumlah tugas khusus secara tidak tertulis untuk menyelesaikan beberapa masalah negara secara spesifik, yang sebenarnya bukan menjadi pekerjaan jabatan yang mereka pegang.

Selama ini, orang melihat bahwa Mr. Fixit dalam kabinet Jokowi adalah Luhut. Akan tetapi, dengan adanya persoalan FIFA ini, mungkin jumlah Mr. Fixit dalam pemerintahan sebenarnya jauh lebih banyak, salah satunya mungkin adalah Erick Thohir. Walaupun bekerja sebagai Menteri BUMN, Erick memang beberapa kali ditugaskan untuk beberapa pekerjaan diplomasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan “kantor”-nya. Secara spesifik, barangkali Erick adalah Mr. Fixit Jokowi untuk urusan olahraga dan bisnis.

Di saat yang bersamaan, fenomena ini juga mengajarkan pada kita bahwa di era yang semakin terglobalisasi ini, kemampuan berdiplomasi seorang pemimpin tampaknya menjadi lebih penting dari sebelumnya. 

Ditambah dengan segala kecemasan internasional saat ini, seperti konflik Rusia-Ukraina, ancaman resesi global, dan persaingan AS-Tiongkok, maka sepertinya cukup masuk akal bila dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti kita mencari pemimpin yang tidak hanya lihai dalam mengatasi permasalahan domestik, tetapi juga memiliki skillset untuk berurusan dengan pihak-pihak internasional.

Terkait Erick, karena ia sudah membuktikan bahwa dirinya cukup terpandang dalam politik internasional dan bisa selesaikan masalah, barangkali ini bisa jadi modal tersendiri untuk mantan Bos Inter Milan ini jika nantinya ia berkeinginan maju jadi calon presiden (capres) di Pilpres 2024.

Well, pada akhirnya, lepasnya Indonesia dari ancaman sanksi FIFA adalah sesuatu yang perlu kita syukuri dan apresiasi. Namun, tragedi Kanjuruhan itu sendiri masih menjadi sebuah luka yang perlu kita obati dengan menelusuri akar permasalahannya. Semoga saja para korban mendapat tempat yang sesuai di sisi Tuhan. (D74)

Exit mobile version