Site icon PinterPolitik.com

Hantu Sengkarut Data LPG 3 Kg

hantu sengkarut lpg 3kg

Ilustrasi - Pekerja menata tabung gas elpiji 3kg di Jakarta, Jumat (6/3/2020). (Foto: Bisnis - Eusebio Chrysnamurti)

Pemerintah secara resmi akan memberlakukan kebijakan registrasi tunggal untuk setiap pembelian LPG 3 kg. Akankah pelaksanaan kebijakan ini efektif?


“Information is only useful when it can be understood” – Muriel Cooper

PinterPolitik.com

Tabung gas Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kg yang selama ini banyak digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari harus dibatasi dengan pengesahan kebijakan terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Pada 27 Februari 2023, Kementerian ESDM resmi mewajibkan registrasi terpadu untuk setiap pembelian LPG 3 kg, dan registrasi ini dijadwalkan akan dimulai pada bulan Maret ini. 

Pendataan pembeli LPG 3 kg rencananya akan diberlakukan di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara per 1 Maret 2023. Sedangkan pendataan untuk wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi akan dilangsungkan per 1 Mei 2023. 

Pendataan ini ditujukan untuk mengatur kuota pembelian LPG 3 kg bagi satu individu, yang mana pendataan ini akan memastikan penyaluran pembelian LPG tepat sasaran berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.

Tidak hanya pengaturan distribusi LPG, dalam jangka panjang, pendataan ini akan mengurangi beban subsidi LPG yang selama ini ditanggung pemerintah. Pengurangan ini nantinya akan dikonversi dalam bentuk pembangunan jaringan pipa gas maupun insentif kompor listrik untuk mempercepat program transisi energi oleh Kementerian ESDM. 

Namun, belajar dari sejarah Indonesia terkait distribusi dan penyelarasan data, keputusan ini dinilai rentan menimbulkan ketidakadilan dikarenakan buruknya pengelolaan informasi oleh pemerintah. 

Kebijakan penyaluran bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang salah sasaran menjadi salah satu bukti bagaimana pengelolaan data di Indonesia masih belum terselesaikan, terutama yang berkaitan dengan jaring pengaman sosial,  hal ini terlihat dari pengelolaan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang masih tumpang-tindih. Selain itu, permasalahan DTKS ini berdampak pada banyaknya orang mampu yang justru menerima bansos Covid-19.

Pertanyaan besarnya kemudian adalah, akankah pembelian LPG berurusan kembali dengan pengelolaan data yang masih amburadul?

Registrasi LPG dan Permasalahan Informasi

Setiap kebijakan yang diterapkan pemerintah tentu membutuhkan pengelolaan informasi yang mumpuni untuk memastikan pelaksanaannya berjalan sesuai harapan. Salah satunya ialah penyaluran bantuan sosial Covid-19 pada tahun 2020, dengan penyaluran bansos yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin dalam menunjang penghidupannya di tengah pandemi Covid-19.

Namun demikian, penyaluran bansos Covid-19 justru menuai masalah dikarenakan pelaksanaannya justru dikorupsi oleh eks-Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara pada akhir 2020, korupsi ini kemudian berimbas pada penyaluran bansos Covid-19 yang bermasalah di tangan Risma. 

Tidak hanya korupsi, ketidakmerataan penyaluran bansos juga disebabkan oleh sengkarutnya pengelolaan data, di mana ketimpangan pembaruan DTKS justru menghambat penyaluran bansos secara tepat sasaran, hal ini dibuktikan dengan temuan BPK mengenai penyaluran bansos sebesar Rp 6,93 triliun yang justru diterima oleh kalangan mampu.

Sherah Kurnia dan kawan-kawan dalam tulisan mereka 3 Alasan Data Covid-19 Indonesia Tak Sinkron dan Solusinya,  menyebutkan bahwa pemerintah justru “menganggap remeh” pengelolaan data Covid-19 dan tindakan ini jelas berdampak buruk pada penanganannya. 

Salah satunya ialah penutupan data, di mana Presiden Jokowi mengakui bahwa data kematian pasien disembunyikan untuk mencegah kepanikan dan penutupan ini berdampak pada kesenjangan data, seperti laporan pemerintah yang mencapai 784 kematian dengan laporan riset media yang menyebutkan 1.500 kematian pada tahun 2020. 

Permasalahan pengelolaan informasi masih menjadi permasalahan utama dalam setiap kebijakan pemerintah. Perkembangan informasi yang berkembang semakin cepat justru tidak diimbangi dengan kesigapan pemerintah dalam membangun infrastruktur pengelolaan informasi. Kegagapan ini kemudian berdampak pada pelaksanaan kebijakan sosial yang tumpang tindih. 

Simon Foxell dan Ian Cooper dalam tulisan mereka Closing the Policy Gap menyebutkan bahwa ketimpangan pelaksanaan kebijakan terjadi bila tujuan yang ingin dicapai nyatanya tidak terpenuhi karena permasalahan dari kebijakan sebelumnya. 

Ibaratnya, hal ini sama dengan adagium pemadam kebakaran yang berbunyi “memadamkan api tanpa menyelesaikan akar permasalahannya”.

Adagium ini sering terjadi pada tindakan negara yang ingin menyelesaikan suatu masalah namun tidak berkaca pada evaluasi kebijakan sebelumnya. 

Pada konteks registrasi LPG, jika permasalahan ini tidak diperhatikan secara tepat, pengelolaan informasi pembelian LPG terancam tidak terselesaikan dikarenakan ketiadaan inisiatif pemerintah dalam membenahi pengelolaan data secara terpadu. 

Kalau masih tidak berubah, ketiadaan inisiatif untuk pengelolaan data ini kemudian harus dihadapkan dengan ambisi pemerintah di balik program LPG ini untuk menekan subsidi LPG dan kesenjangan antara pengesahan registrasi LPG, dengan pengelolaan data yang mumpuni. Ini jelas akan berdampak pada pembagian kuota subsidi LPG yang salah sasaran.

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah registrasi LPG akan mengulangi kasus bansos Covid-19 yang diwarnai ketidakmerataan dalam penyalurannya?

Bayangan Ketidakmerataan Registrasi LPG

Subsidi LPG mendapatkan porsi yang cukup besar dalam belanja negara, yang mana pada triwulan pertama tahun 2022 tercatat sekitar 32,68% dari APBN 2022 atau sebesar Rp 21,65 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan subsidi listrik yang hanya mencapai Rp7,62 triliun. 

Namun penggunaan LPG 3 kg justru salah sasaran dengan 93 persen masyarakat mampu menggunakan LPG 3 kg untuk kebutuhan dapur dan hanya sebagian masyarakat miskin yang mampu menggunakannya. 

Selain itu, data dari Dewan Energi Nasional pada kenyataannya juga tidak digubris oleh pemerintah dengan pembenahan mekanisme yang berarti. Praktis data 93 persen hanya menjadi “tulisan” belaka dan subsidi LPG tetap dilangsungkan hanya untuk memenuhi ambisi pemerintah semata.

Kalau memang pola kebijakan yang salah sasaran akibat ketidaksesuaian data ini masih terjadi, maka bukan tidak mungkin pemerintah mengulangi masalah yang sama seperti yang terjadi ketika pembagian bansos Covid-19. 

Bob Hudson dalam artikelnya Policy Failure menyebutkan bahwa kesalahan pemerintah dalam implementasi kebijakan seperti ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti miskoordinasi antara pusat dengan daerah, sampai pengelolaan data yang buruk, tapi faktor utamanya ialah kegagapan pemerintah dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi. 

Sederhananya, Hudson menilai bahwa pemerintah sering gembar-gembor ingin menyelesaikan suatu masalah dengan berbagai terobosan, tapi hanya sebagai sesuatu “mengkilau” di mata publik semata, bukan untuk menyajikan solusi yang tepat. 

Padahal, pemerintah juga harus menyadari bahwa untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat, mereka pun harus melibatkan semua aspek yang terkait, baik jejaringnya, teknologi, dan lain sebagainya, agar masalah mereka benar-benar tuntas. 

Well, sebagai penutup, setidaknya bisa kita katakan ada dua alasan mengapa registrasi LPG akan dibayangi sengkarut data. 

Pertama ialah policy gap, di mana kebijakan registrasi LPG masih tidak dibarengi dengan pengelolaan data yang matang dan hal ini akan mengganggu pelaksanaan pendataan yang sangat bergantung pada data. Kedua, ialah data mismanagement, di mana registrasi LPG hanya akan mengulangi kasus bansos apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara terpadu. (D90)

Exit mobile version