Di balik berbagai kerusuhan yang terjadi akibat diskriminasi rasial terhadap kelompok Papua, terdapat persoalan kelapa sawit yang dinilai dapat mengancam lingkungan dan komunitas adat di Bumi Cendrawasih.
PinterPolitik.com
“If I tell people where I’m from, they might think I gotta gun” – Dreezy, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Bukan Papua bila tidak bergejolak. Setidaknya, anggapan semacam itu yang sempat dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Mungkin, anggapan tersebut juga bisa jadi masih dibetulkan oleh sebagian masyarakat di pulau Jawa. Berbagai asumsi negatif yang kita yakini masih dilekatkan pada individu-individu asal Papua – dari kebiasaan buruk hingga stigma separatis.
Menjadi sebuah ironi sebenarnya apabila keindahan dan kekayaan alam Bumi Cendrawasih yang kerap menjadi kebanggaan Indonesia disertai dengan diskriminasi rasial yang masih terjadi pada kelompok minoritas tersebut.
Salah satu kekayaan alam Papua yang kini bisa dibilang juga menjanjikan adalah industri kelapa sawit. Mungkin, sebagian besar masyarakat telah mengetahui bahwa industri tersebut banyak tersebar di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan.
2015-2018 ditemukan pemberian ijin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Papua seluas 237.752 ha
kepada perusahaan2 yg melibatkan para pemodal yg terkait kasus kejahatan lingkungan di Papua & pengurus berasal dari purnawirawan TNI/Polrihttps://t.co/XFL9kouQ5b
— Veronica Koman (@VeronicaKoman) August 23, 2018
Sudah menjadi pengetahuan umum juga apabila kebun-kebun sawit tersebut menimbulkan pro dan kontra. Beberapa menganggap kebun sawit merupakan sumber penghasilan yang menjanjikan bagi masyarakat setempat. Beberapa mengkritik bahwa industri tersebut telah merenggut habitat orangutan.
Namun, dalam kasus Papua, keduanya mungkin sama-sama dirugikan. Masyarakat adat di Bumi Cendrawasih harus membagi hutan-hutan yang menjadi sumber kebutuhan hidupnya dengan industri tersebut – menyisakan permasalahan sosial lainnya di pulau paling timur Indonesia tersebut.
Pertanyaannya, mengapa komunitas adat kerap terancam oleh kehadiran kepentingan ekonomi dan bisnis di wilayahnya? Lalu, apa implikasi lanjutannya terhadap komunitas adat Papua?
Bisnis vs Adat
Perseteruan antara industri dan komunitas adat di Papua bukanlah satu-satunya yang pernah terjadi. Di beberapa negara lain, perseteruan atau konflik semacam ini juga kerap terjadi.
Hal serupa pernah terjadi di Amerika Serikat (AS). Salah satu contoh yang paling kentara dan menyita perhatian perhatian media dan publik beberapa waktu lalu adalah penolakan terhadap pembangunan Dakota Access Pipeline (DAPL) – sebuah proyek bernilai sekitar Rp 54,2 triliun yang bertujuan untuk menghubungkan jalur pipa minyak mentah dari Bakken, North Dakota, ke Illinois, hingga Teluk Meksiko.
Penolakan tersebut terjadi akibat adanya izin yang diberikan pada Energy Transfer Partners untuk membangun jalur tersebut tanpa disertai dengan konsultasi bersama komunitas adat Sioux. Pasalnya, kawasan Standing Rock yang menjadi tempat rencana pembangunan tersebut dinilai penting bagi komunitas adat setempat.
Beberapa bagian di sekitar kawasan tersebut – seperti kuburan, desa-desa bersejarah, dan situs-situs ritual – disebut-sebut terancam rusak apabila pipa-pipa tersebut dibangun. Selain sisi kultural, ancaman juga menghantui kelangsungan hidup komunitas adat Sioux.
Rencana pembangunan jalur pipa tersebut akan melintasi pesimpangan sungai Cannonball dan Missouri. Oleh sebab itu, pembangunan jalur minyak tersebut dinilai dapat mengkontaminasi sumber air minum komunitas Sioux di kawasan Standing Rock.
Permasalahan yang terjadi di kawasan Standing Rock ini bukanlah persoalan yang unik. Banyak komunitas adat di berbagai belahan dunia menghadapi ancaman serupa.
Sebuah lembar fakta milik United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues menjelaskan bahwa permasalahan-permasalahaan yang timbul antara komunitas adat dan perusahaan industri terjadi karena, pada umumnya, komunitas-komunitas ini tinggal di tanah dan kawasan yang kaya akan sumber-sumber alam.
Konflik bisnis-adat biasanya disertai dengan hilangnya hak komunitas adat atas akses terhadap tanah adatnya, wilayah, dan sumber-sumber alamnya. Share on XKomunitas adat biasanya memiliki hubungan khusus dengan tanah yang ditempatinya – menjadi elemen fundamental bagi budaya, kebutuhan spiritual dan relijius, serta kelangsungan hidup komunitas adat. Di sisi lain, pemerintah dan kelompok bisnis biasanya melihat tanah adat tersebut dari segi ekonomi dan keuntungan.
Akibatnya, konflik di antara keduanya kerap terjadi. Pada umumnya, konflik yang terjadi disertai dengan hilangnya hak komunitas adat atas akses terhadap tanah adatnya, wilayah, dan sumber-sumber alamnya.
Lantas, bagaimana dengan komunitas adat di Papua? Apakah hal serupa mengancam komunitas Bumi Cendrawasih?
Kelapa Sawit di Papua
Sophie Chao dari University of Sydney dalam tulisannya yang berjudul Cultivating Consent bahwa industri kelapa sawit kini tengah tumbuh pesat di Papua. Berbagai perusahaan konglomerasi turut serta mengembangkan industri ini di pulau timur Indonesia tersebut.
Y.L. Franky dan Selwyn Moran dalam tulisan mereka yang berjudul Atlas Sawit Papua telah mencoba mengumpulkan data mengenai perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan perkebunan sawit di Papua.
Dalam tulisan tersebut, terdapat berbagai kelompok perusahaan yang disebutkan, yaitu Musim Mas Group milik Bachtiar Karim, Royal Golden Eagle (dulu Raja Garuda Mas) Group milik Sukanto Tanoto, Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja, Salim Group milik Anthony Salim, dan Rajawali Group milik Peter Sondakh.
Namun, seperti yang terjadi di Standing Rock, AS, perkembangan industri kelapa sawit di pulau tersebut memiliki dampak-dampak lingkungan. Di Merauke misalnya, perkembangan perkebunan kelapa sawit dinilai telah menyebabkan berbagai kerusakan seperti penggundulan hutan, berkurangnya keanekaragaman hayati, erosi, hingga polusi udara dan air.
Selain kerusakan lingkungan, komunitas adat di sekitar perkebunan juga terdampak. Komunitas-komunitas tersebut bisa dibilang juga mengalami kehilangan atas hak-haknya untuk mendapatkan akses atas tanah dan sumber-sumber alamnya. Chao menjelaskan bahwa komunitas-komunitas adat di Papua – seperti Auyu, Jair, Marind, dan Mandobo – kehilangan kontrol atas tanah adatnya, serta terancam ketahanan pangannya.
Apa yang menjadi penyebab dari permasalahan-permasalahan tersebut?
Dalam tulisannya, Chao menjelaskan bahwa penyebab utamanya adalah kesimpangsiuran atas ada tidaknya persetujuan dari komunitas adat itu sendiri. Secara hukum, komunitas-komunitas tersebut berhak menolak atau menyetujui kehadiran bisnis-bisnis kelapa sawit tersebut.
Namun, dalam praktiknya, tidak adanya pemahaman yang sama atas proses persetujuan tersebut menyebabkan proses tersebut hanya berakhir pada tingkatan sosialisasi – di mana terkadang kedatangan komunitas tersebut telah dianggap sebagai persetujuan oleh perusahaan. Selain itu, proses sosialisasi dan negosiasi tidak melibatkan seluruh komunitas yang menjadi stakeholders.
Informasi yang asimetris juga ditengarai menjadi salah satu penyebabnya. Chao menjelaskan bahwa perusahaan yang melakukan sosialisasi dan negosiasi kerap tidak memberikan informasi yang menyeluruh. Sering kali, komunitas adat hanya diberikan keuntungan-keuntungan sosial-ekonomi yang dapat diperoleh dari pembangunan tanpa menjelaskan risiko dan kerugiannya.
Diskriminasi Konsensual
Selain ancaman bisnis kelapa sawit, komunitas adat juga harus menghadapi berbagai persoalan diskriminasi. Diskriminasi tersebut boleh jadi turut menghantui komunitas-komunitas tersebut dalam menghadapi persoalan sawit.
Mark Rubin dan Miles Hewstone dalam tulisan mereka yang berjudul Social Identity, System Justification, and Social Dominance menjelaskan bahwa diskriminasi antarkelompok dapat terjadi akibat adanya kompetensi realistis di antara kelompok-kelompok tersebut. Biasanya, kelompok-kelompok ini berkompetisi atas sumber-sumber yang terbatas, seperti wilayah.
Terlepas dari kompetisi tersebut, uniknya, negosiasi dan sosialisasi yang dilakukan perusahaan sawit biasanya juga diawasi dan diikuti oleh aparat-aparat kepolisian dan militer – menciptakan ketakutan tersendiri di kalangan komunitas adat. Chao menyebutkan bahwa anggota-anggota komunitas adat tersebut takut ditangkap dan dianggap sebagai separatis karena dinilai menghalangi kepentingan nasional.
Hal senada juga dijelaskan oleh Franky dan Moran. Mereka memberikan satu contoh peristiwa yang menunjukkan ketakutan komunitas adat tersebut. Salah satunya adalah upaya pengadaan lahan kelapa sawit oleh badan usaha milik negara PTPN II di Kabupaten Keerom – di mana masyarakat adat takut dilabeli sebagai pemberontak OPM.
Fenomena stigma separatis ini bisa saja berujung pada konsep diskriminasi konsensual dalam tulisan Rubin dan Hewstone. Pasalnya, diskriminasi sosial juga berkaitan dengan status sosial yang dimiliki masing-masing kelompok.
Menurut Rubin dan Hewstone, kondisi diskriminasi konsensual terjadi akibat adanya persepsi terhadap status kelompok lain (outgroup). Dalam arti lain, kelompok yang memiliki status sosial yang lebih tinggi menerima hierarki sosial yang tercipta – seperti dengan penguasaan sumber daya oleh kelompok tertentu.
Bila hierarki tersebut dianggap semakin stabil dan berlegitimasi, kompetisi sosial akan semakin berkurang. Diskriminasi semacam ini terjadi pada Orang Rimba – kelompok masyarakat yang tinggal nomaden dan bergantung pada hutan di Sumatera.
Sebagian masyarakat Rimba di Sumatera tersebut dinilai terpaksa mengikuti nilai-nilai kelompok dominan – seperti memeluk agama dominan – demi mendapatkan sumber-sumber dari kelompok dominan akibat hutan yang menjadi penghidupannya semakin tergerus akibat, tentunya, industri kelapa sawit.
Namun, tentunya, kemungkinan tersebut bergantung kembali pada dinamika kompetisi sosial yang terjadi di Papua. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga telah menerapkan moratorium alih fungsi hutan pada tahun 2018. Tentunya, semuanya kembali pada bagaimana implementasi moratorium dijalankan.
Yang jelas, stigma separatis tersebut akan terus menghantui kelompok Papua. Mungkin, ketakutan dan perasaan serupa tergambarkan dalam lirik rapper Dreezy di awal tulisan – di mana stigma tertentu diasosiasikan dengan kelompok dan tempat tertentu, entah kelompok mana yang sebenarnya memiliki senjata. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.