Hamid Algadri adalah tokoh keturunan Arab Indonesia yang berani memilih untuk mengambil sikap berbeda dengan pandangan umum komunitasnya. Ia akhirnya memilih untuk aliran politik nasionalis yang masih dianggap tabu bagi etnis Arab yang mayoritas Islam. Lantas, seperti apa perjuangan Hamid Algadri dalam lintas sejarah Indonesia, dan dampaknya hingga kini?
Budi Utomo adalah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia, bahkan kelahirannya juga dianggap sebagai simbol pergerakan kebangsaan Indonesia karena di saat itu organisasi-organisasi rakyat yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan mulai didirikan.
Peristiwa ini juga yang menjelaskan kenapa tanggal lahir Budi Utomo, yaitu 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tidak berhenti di situ, pergerakan nasional rupanya berimbas kepada kalangan etnis-etnis non-pribumi, seperti Arab dan Tionghoa.
Tercatat bahwa organisasi non-pribumi yang menjadi benih nasionalisme dari golongan Tionghoa adalah munculnya Partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1932. Organisasi ini lahir dari rahim tokoh-tokoh pers koran Sin Tit Po, yang beraliran nasionalis dan anti-kolonialisme.
Kemudian dari golongan Indo-Arab mendirikan organisasi yang diberi nama Partai Arab Indonesia (PAI) pada tahun 1934. PAI lahir dari deklarasi para tokoh keturunan Arab yang terkenal dengan Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang menyatakan Indonesia adalah tanah air mereka.
Dalam usaha-usaha menuju kemerdekaan Indonesia, PAI memiliki kontribusi penting dengan ikut berjuang dalam Petisi Soetardjo, Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelis Islam a’la Indonesia (MIAI), serta aktif dalam berbagai usaha perjuangan lainnya bersama tokoh-tokoh pejuang bangsa pribumi.
Di tengah perjuangan tersebut, muncul persoalan pengasingan kelas yang dibuat oleh pemerintah kolonial belanda melalui Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang memasukkan selain pribumi, yaitu peranakan asing ke dalam golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen).
Hukum pemerintah Belanda menyebut golongan Arab dan Tionghoa sebagai orang asing, meskipun sebenarnya ibu-ibu mereka adalah orang Indonesia asli. Mereka lahir di Indonesia, serta mengadopsi budaya Indonesia sepenuhnya.
Di sinilah muncul Hamid Algadri, salah satu tokoh PAI yang mencoba menolak “politik segregasi” pemerintahan kolonial Belanda. Nama tokoh ini melambung karena kemampuannay dalam menarasikan protes melalui tulisan yang saat itu menjadi sorotan banyak elite politik.
Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, mengatakan politik segregasi yang menempatkan semua golongan Arab ke dalam strata Vreemde Oosterlingen adalah bentuk pengasingan.
Hamid Algadri mencurigai politik segregasi ini adalah upaya untuk mempermudah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Dengan memisahkan antara penduduk pribumi dengan keturunan Arab akan muncul jarak sosial, sehingga perjuangan untuk melawan Belanda mudah untuk diredam.
Sedikit memberikan konteks, meskipun saat itu terdapat tokoh peranakan Arab seperti AR Baswedan yang merupakan pencetus PAI, tapi hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa ada juga sosok seperti Hamid Algadri yang merupakan tokoh golongan Arab yang ikut berjuang untuk Indonesia.
Lantas, seperti apa profil dan bentuk perjuangan sosok Hamid Algadri?
Tampil Beda, Pilih Partai Nasionalis
Hamid Algadri terlahir dengan nama lengkap Sayid Hamid Muhammad Algadri di Surabaya, Jawa Timur, pada 12 Juli 1910. Kata “sayid” merupakan bentuk jamak saadah, yang bermakna tuan, dan menjadi penanda keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Husain, putra Ali bin Abi Talib.
Keluarga Algadri merupakan keluarga yang cukup terpandang dalam masyarakat di Jawa Timur. Kakek dan ayahnya adalah seorang Kapiten der Arabieren (Kapten Arab), sebuah jabatan pada masa kolonial Hindia Belanda dengan tugas mengepalai orang-orang etnis Arab di Pasuruan.
Sebagai salah seorang politisi PAI, Hamid Algadri dikenal karena kemampuan menulisnya yang tajam. Ia sering menulis berbagai macam tema, misalnya permasalahan sosial dan politik yang terjadi terhadap golongan Arab.
Sebagian orang menyandingkan Hamid Algadri dengan AR Baswedan, sebagai dua tokoh golongan Arab yang punya peranan penting pada visi persatuan tentang Arab dan Indonesia yang tidak dapat dipisahkan.
Tapi visi keduanya mulai terlihat berpisah jalan setelah PAI dibubarkan. Saat itu, AR Baswedan berlabuh ke Masyumi setelah memutuskan untuk tidak menghidupkan PAI dengan alasan tujuan PAI telah tercapai, yakni Indonesia merdeka.
Alih-alih mengikuti AR Baswedan masuk ke partai yang berideologi Islam, Hamid Algadri justru memilih untuk bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pimpinan Sutan Sjahrir. Hal ini juga yang membuatnya dituduh anti-Islam.
Perbedaan politik ini sebenarnya baik karena mencerminkan tidak ada ideologi politik tunggal di komunitas Arab peranakan di Indonesia. Walau sebagian besar memilih partai Islam, ada pula yang berlabuh ke partai nasionalis, bahkan sosialis – di sinilah letak keberagamannya.
Tapi perlu diingat, konteks sejarah saat itu berbeda. Hal ini dijelaskan oleh Husain Haikal dalam tulisannya Indonesia-Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia (1900—1942), yang menyebut orang Arab pada masa itu termasuk golongan yang anti terhadap sesuatu yang beraroma Barat, termasuk pendidikan Barat.
Di sinilah uniknya keluarga Hamid Algadri yang tampil berbeda dengan keturunan Arab kebanyakan. Keluarga Hamid Algadri bisa dikatakan moderat. Hal itu terlihat dari anak-anak mereka yang mengenyam pendidikan modern Barat.
Meskipun ditentang oleh golongannya sendiri, keluarga Algadri tetap memilih pendidikan Barat dengan harapan kelak anak dan cucu mereka berpikiran modern. Bagi mereka, modernisasi adalah jembatan menuju masa depan.
Hamid Algadri menempuh pendidikan formal sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian, ia masuk ke sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dilanjutkan di Algemene Middelbare School (AMS).
Pada tahun 1936, ia menjadi mahasiswa Rechts Hoge School (RHS/Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan salah satu pemuda Arab pertama yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Lulus dari RHS, Hamid Algadri memperoleh gelar Meester in de Rechten atau MR.
Seperti yang telah disinggung di atas, Hamid Algadri memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui ujung penanya. Ia kerap menulis di majalah Aliran Baroe dan Insjaf dengan topik yang tak jauh-jauh dari hukum dan situasi Indonesia.
Bahkan juga sempat menerbitkan empat buku, diantaranya “C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab”, “Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda”, “Suka Duka Masa Revolusi”, dan “Mengarungi Indonesia Memoar Perintis Kemerdekaan”.
Setelah kemerdekaan, ia lebih aktif menjadi birokrat dan perjuangan misi diplomatik. Hamid Algadri masuk dalam BP-KNIP, Pegawai Tinggi Kementerian Luar Negeri, Pegawai Tinggi Sekretariat Perdana Menteri, Sekretaris Menteri Penerangan, dan juga Anggota DPR-RIS.
Tak hanya itu, Hamid Algadri juga turut dalam perjanjian Linggarjati, Renville, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Ia juga merupakan Sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair.
Begitu banyak peran dan jasa Hamid Algadri pada bangsa ini, sehingga pantas ketika akhirnya dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan.
Di sini muncul pertanyaan, apakah ada keturunan beliau yang meneruskan perjuangan membangun Indonesia hingga kini?
Algadri Hadir Tiap Generasi
Sedikit orang yang mengetahui jika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merupakan anak dari pasangan Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri. Ibunya, yaitu Atika Algadri adalah anak dari Hamid Algadri.
Sedikit informasi, Hamid Algadri memiliki empat orang anak, yakni Atika Algadri, Maher Algadri, Adila Suwarno Soepeno, dan Sadik Algadri.
Generasi kedua keluarga Algadri tidak secara langsung diperjuangkan oleh Atika Algadri. Melainkan oleh sang suami Nono Anwar Makarim. Ia dikenal sebagai praktisi hukum asal Indonesia yang juga merupakan penulis buku di berbagai media massa nasional.
Tidak hanya berkarier di bidang hukum, Nono Anwar Makarim juga aktif di berbagai organisasi sosial. Pada tahun 1972, ia diangkat sebagai Direktur LP3ES pertama. Tak sampai di situ, Nono Anwar Makarim juga menjabat sebagai salah satu anggota komite etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seolah mengabdi pada negara adalah bagian tak terpisahkan dari visi besar keluarga Algadri. Hal ini terlihat ketika muncul tokoh dari generasi ketiga, yaitu Nadiem yang sempat disinggung di atas. Sebagian besar orang pasti telah mengenal pendiri sekaligus eks CEO GoJek yang saat ini telah menjadi menteri.
Bahkan pada Mei 2019, Nadiem menjadi tokoh termuda se-Asia yang menerima penghargaan Nikkei Asia Prize ke-24 untuk Inovasi Ekonomi dan Bisnis. Ia dianggap berkontribusi bagi pengembangan kawasan Asia dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Asia.
Dari lintas generasi ke generasi, Algadri membuktikan bahwa keluarga besar dari kelompok Arab Indonesia mampu memberikan sumbangsih yang begitu banyak bagi bangsa ini. Dimulai dari Hamid Algadri, hingga cucunya Nadiem Makarim.
Sebagai penutup, pesan moral yang dapat diambil dari kisah ini adalah, menjadi bagian dari minoritas tidak menghalangi untuk berbuat besar untuk Indonesia. Maka tidak relevan jika ada yang menyudutkan keturunan Arab, karena mereka sama-sama berpeluh dan berjuang demi tercapainya Indonesia merdeka. (I76)