Israel diperkirakan akan mengalami kerugian secara ekonomi jika terus melanjutkan serangan mereka ke Jalur Gaza. Hal itu berdasarkan data utang luar negeri Israel melonjak secara signifikan setelah melakukan serangan ke Jalur Gaza. Lalu, siapa yang justru diuntungkan dengan adanya perang ini?
Gempuran Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza diperkirakan akan merugikan perekonomian mereka sebesar US$48 miliar atau sekitar Rp747 triliun selama tahun ini dan tahun depan.
Perkiraan ini lebih rendah dibandingkan dengan pengumuman yang belum lama ini dikeluarkan oleh Dewan Ekonomi Nasional Israel.
Dewan Ekonomi Nasional memperkirakan kerugian akibat perang yang diderita Israel berpotensi mencapai US$54 miliar atau sekitar Rp841 triliun.
Bahkan, Kementerian Keuangan Israel menyebut adanya potensi kerugian ekonomi akibat perang ini sekitar US$270 juta atau sekitar Rp4,2 miliar per harinya selama periode Oktober ini.
Akibat kerugian yang diderita ini, Kementrian Keuangan Israel mengeluarkan rekomendasi penutupan beberapa kementerian jika pemerintahan Benjamin Netanyahu ingin tetap melanjutkan perang agar terdapat alokasi dana tambahan untuk perang.
Kementerian yang direkomendasikan ditutup, diantaranya Kementerian Urusan Diaspora dan Pemberantasan Anti-Semitisme.
Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich tampaknya akan membawa amendemen anggaran tersebut pekan depan untuk memperoleh persetujuan.
Amendemen itu kabarnya akan mencakup pemotongan anggaran pada kementerian-kementerian tertentu.
Berbagai langkah itu dilakukan Israel agar dapat menekan beban utang mereka yang terus membengkak semenjak mendeklarasikan perang dengan Hamas.
Kementerian Keuangan Israel mengumumkan utang negara tersebut telah mencapai US$7,8 miliar atau sekitar Rp121,56 triliun. Jumlah itu terhitung sejak dimulainya pertempuran dengan Hamas di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.
Namun, kini pemerintah Israel tampaknya sedikit bisa menghela nafas lega ketika perjanjian gencatan senjata yang sebelumnya selalu deadlock berhasil disetujui kedua belah pihak.
Lantas, jika sebenarnya Israel merugi atas terjadinya perang ini, siapa sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam serangan Israel ke Jalur Gaza?
Kepentingan Industri Senjata
Dalam setiap konflik yang terjadi di dunia hampir bisa dipastikan akan ada pihak yang diuntungkan. Dalam konflik yang terjadi di Gaza, pihak atau negara yang diuntungkan dalam konflik ini kiranya adalah Amerika Serikat (AS).
Ahli strategi militer Tiongkok kuno, Sun Tzu dalam bukunya The Art of War pernah mengatakan “in the midst of chaos, there is also opportunity”. Kata-kata dari Sun Tzu ini kiranya sangat dipahami oleh pemerintah AS dalam melihat setiap kesempatan di balik setiap konflik.
Perdagangan alutsista kedua negara menjadi indikator keuntungan AS dalam konflik yang terjadi di Gaza saat ini.
Menurut data yang dihimpun Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), selama periode 2010 hingga 2022 dilaporkan ada 39 kontrak pengiriman senjata dari AS ke Israel.
Kontrak itu berisi informasi transaksi macam-macam senjata, meliputi bom, rudal, alat peluncur roket, kendaraan perang dan mesinnya, helikopter militer, serta pesawat tempur dan aksesorinya.
Nilai kontrak termahal kedua negara adalah pengiriman 37 unit selama periode 2010-2022 Fighter Ground Attack (FGA) Aircraft yang mencapai nilai sekitar US$5,5 miliar.
FGA adalah pesawat militer yang dirancang untuk serangan darat, dengan kemampuan pengeboman terhadap tank, kendaraan lapis baja jenis lain, maupun berbagai instalasi milik musuh yang berada di daratan.
Atas dasar itu, hubungan antara Israel dan AS bisa dikatakan terikat dalam Military Industrial Complex (MIC) karena adanya hubungan kebijakan dan moneter yang terbentuk antara pembuat kebijakan, militer, dan industri senjata.
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, Israel kemudian mengakomodir kepentingan pemerintah yang merupakan pembuat kebijakan, militer, dan pihak industri senjata yang tampaknya merupakan pihak AS dengan berencana memotong anggaran kementerian tertentu demi melanjutkan perang di Gaza.
Pengaruh AS Sangat Kuat ke Israel
Dengan adanya kerja sama yang tampaknya sangat terstruktur antara AS dan Israel menunjukkan besarnya pengaruh AS kepada Israel.
Hal itu menunjukkan seberapa besar pengaruh AS dalam kepentingan Israel terkait dengan industri persenjataan.
Dalam perspektif politik internasional, pengaruh besar itu disebut dengan influence development process atau proses pengembangan pengaruh.
Emily Meierding dan Rachel Sigman dalam tulisannya yang berjudul Understanding the Mechanisms of International Influence in an Era of Great Power Competition menjelaskan proses sebuah negara untuk mendapatkan pengaruh atau kuasa atas negara lain.
Emily dan Rachel menambahkan untuk memperoleh dan mempertahankan pengaruh internasional, negara harus lebih memperhatikan mekanisme kekuasaan, dibandingkan hanya menggunakan sumber daya kekuasaannya.
Dalam konteks pengaruh AS kepada Israel, negeri Paman Sam itu menggunakan kekuatan mereka sebagai negara adi daya dan mempunyai kekuatan politik di dunia internasional untuk dapat mempengaruhi Israel demi menjaga kepentingannya di Kawasan Timur Tengah.
Selain untuk menjaga kepentingannya di Timur Tengah, AS juga menggunakan kekuatan pengaruh mereka untuk mendapatkan keuntungan dalam kontrak industri militer karena sadar akan ancaman geopolitik Israel di Timur Tengah.
Atas dasar itu, tak berlebihan kiranya jika pihak yang diuntungkan dalam konflik yang ada di Gaza adalah negeri Paman Sam. (S83)