Site icon PinterPolitik.com

Hak Privasi Jangan Dihakimi Sendiri

Foto: Medantoday

Setelah pada Agustus lalu geger dengan aksi main hakim sendiri yang menimpa Bapak Zoya di Bekasi, publik kembali dibuat ramai dengan aksi sejenis yang menimpa dua muda mudi di Tangerang, Sabtu (11/11).


PinterPolitik.com

Kesamaan dari kedua kasus ini adalah bahwa korban tidak terbukti bersalah. Baik Bapak Zoya maupun RN dan MA, tidak ada yang terbukti mencuri pengeras suara, maupun melakukan perbuatan asusila. RN dan MA jelas tidak sampai meregang nyawa seperti Pak Zoya. Namun, efek psikologis yang besar pasti dialami keduanya karena ditelanjangi di depan umum.

Pihak kepolisian bertindak cepat dengan menangkap pelaku main hakim sendiri ini. Kepala Polresta Tangerang Sabibul Alif mengatakan, tindakan mesum atau asusila justru tidak terbukti. Karenanya, penindakan justru dilakukan kepada masyarakat setempat yang melakukan main hakim sendiri, yang mulanya ingin jadi pahlawan moral.

Tindakan seperti ini sesungguhnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat 1 menyebutkan bahwa manusia memiliki hak untuk tidak disiksa. Penyiksaan terhadap mental dengan cara menelanjangi jelas adalah pelanggaran hukum, di samping tidak beradabnya perlakuan masyarakat setempat tersebut.

Kasus ini menggelitik kesadaran HAM, yang adalah produk ‘baru’ di tengah masyarakat Indonesia pasca Orde Baru. Bagaimanapun juga, penegakan HAMadalah bentuk penghargaan kepada seluruh perangkat hidup manusia. Kasus main hakim sendiri, yang dialami sepasang muda-mudi ini patut dijadikan contoh belum dipahaminya hukum dan HAM secara utuh di Indonesia.

Ada dua masalah dalam kasus pelanggaran HAM ini. Pertama, masyarakat mengabaikan the rule of law dengan bertindak di luar bukti dan aturan hukum. Kedua, ada pertentangan antara norma kesusilaan, misalnya dalam budaya dan agama, dengan peraturan kesusilaan yang tidak pernah ada dalam hukum positif di Indonesia.

Main Hakim Sendiri, Fenomena Apa?

Main hakim sendiri bukan barang baru dalam kehidupan sosial di Indonesia. Banyak kasus kemalingan, perundungan, atau tindak asusila yang berujung pada aksi main hakim sendiri. Biasanya, aksi main hakim ini menghasilkan kerusakan fatal bagi korban, mulai dari luka psikologis dan fisik yang parah, hingga kematian.

Kemarahan warga, acap kali menjadi justifikasi adanya tindakan ini. Apakah masyarakat kita memang sepanas itu? Ataukah ada masalah sosial lain yang ada di baliknya, yang kemudian memiliki korelasi dengan fenomena main hakim sendiri?

Iqrak Sulihin, kriminolog Universitas Indonesia, mengatakan bahwa kesadaran hukum yang rendah merupakan akar dari masalah ini. Karenanya, masyarakat cenderung bertindak sesuai aturan yang mereka pahami saja. Aturan tersebut, misalnya bersumber dari kepercayaan agama atau aturan adat mereka.

Thamrin Tomagola, sosiolog Universitas Indonesia kemudian menambahkan bahwa tidak berfungsinya hukum positif dalam suatu masalah, dapat menyebabkan masyarakat bertindak sendiri menyelesaikan masalah itu. Anggapan bahwa sistem hukum negara tidak bekerja dengan baik juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat. Dalam cakupan luas misalnya, ketidakpercayaan akan sistem antikorupsi karena para terdakwa korupsi mudah lolos dari hukum.

Terdapat setidaknya dua pemahaman dari penjelasan Thamrin ini. Pertama, tidak ada hukum positif yang mengatur suatu masalah, sehingga aturan masyarakat adalah yang harus didorong. Kedua, tidak ada penegak hukum yang bekerja dengan baik, sehingga masyarakat harus bertindak mandiri.

Argumen Iqrak dan Thamrin dapat disentesiskan. Secara sederhana, main hakim sendiri adalah tindak abai masyarakat terhadap hukum karena dianggap tidak ada hukum atau penegak hukum yang bekerja, sehingga proses sanksi harus dijalankan sepihak oleh masyarakat.

“Violence, even well intentioned, always rebound upon oneself”

-Lao Tzu-

Dalam ilmu psikologi komunitas, terdapat konsep first-order change yang dapat menjelaskan fenomena ini. First-order change menjelaskan bahwa masyarakat cenderung menindak adanya disorder dengan upaya pertama dan paling instan yang bisa mereka lakukan.

Tindakan ini kontras dengan second-order change, di mana masyarakat seharusnya mengangkat suatu masalah atau isu ke otoritas publik, agar dapat diselesaikan dengan konsensus tertinggi. Prinsipnya, agar masalah tidak ditangani suka-suka kapan dan kepada siapanya, maka aturan harus didiskusikan dengan baik ke pemegang otoritas negara yang sah.

Kasus main hakim sendiri atas dugaan asusila, adalah bentuk pengabaian atas otoritas tertinggi dan konsensus dalam aturan seksualitas. Dengan asumsi di kepala dan hasrat penegakan aturannya sendiri, masyarakat seenaknya menuduh orang amoral dan bersalah.

Walau tertuduhnya terbukti bersalah, main hakim sendiri adalah tindakan yang salah. Apalagi kalau yang tertuduh malah tak bersalah sama sekali?

Cedera HAM Dua Muda Mudi

Dalam HAM internasional, dikenal hak privasi manusia. Manusia, dalam ukuran usia tertentu, dianggap sudah dewasa dan berhak mengurusi urusan privatnya sendiri, termasuk urusan seksual. Peraturan usia minimum pernikahan dan hukuman terhadap pedofilia adalah contohnya.

Negara, sebagai pelindung HAM yang tertinggi, juga turut mengurusi urusan privat seperti hubungan seksual, dalam kadar tertentu. Hemat penulis, walaupun masih diperdebatkan, Indonesia sudah bersikap adil dengan mengatur usia minimum orang untuk menikah (15 tahun) hingga perzinahan (perselingkuhan) dalam pernikahan.

Dengan aturan ini, negara telah melindungi anak di bawah umur serta melindungi pernikahan yang sah di mata hukum dari adanya pelecehan dan pelanggaran. Negara juga telah melindungi hak masyarakat yang sudah dewasa lainnya dengan tidak diperluasnya hukum perzinahan.

Mahkamah Konstitusi (MK), pada 2015 dan 2016, bahkan pernah menangkis tekanan dalam urusan zinah dari beberapa pihak, seperti seorang dosen ITB dan seorang profesor IPB. Mereka menggugat agar pengertian zinah diperluas kepada pasangan yang tidak menikah. Ini berarti, negara telah membela pengaturan hubungan seksual yang privat hanya pada level pernikahan yang sah serta hubungan seksual di bawah umur.

Dalam kasus dua muda mudi ini, menurut Kapolresta Tangerang Sabibul Alif, tindakan mesum sekalipun tidak dapat ditindak oleh hukum positif, apalagi dengan main hakim sendiri. Terlebih, keduanya sudah terbukti telah berada pada usia dewasa dan telah bersiap untuk menikah dalam waktu dekat.

HAM memang begitu rentan dilanggar dalam tindakan main hakim sendiri. Pasalnya, melalui tindakan seperti ini, benar/salahnya seseorang tidak dapat dibuktikan secara hukum. Seseorang sangat bisa dihukum begitu saja oleh masyarakat karena persepsi dan emosi sepihak.

Apabila terus menerus dilakukan, upaya first-order yang dipaksakan sekelompok masyarakat justru dapat menjadi disorder di sisi lain. Lalu, apakah kita ingin budaya kekerasan diteruskan?

“Violence is the last refuge of the incompetent.”

-Isaac Asimov-

Melindungi Hak Siapa?

Masyarakat Indonesia amat beragam. Ada kelompok yang religius, kelompok yang mementingkan adat, kelompok dengan nilai kebebasan, dan lain-lain. Semua memiliki hak menjalankan moralitas tertingginya masing-masing. Semua juga memiliki posisinya masing-masing akan hak-hak privasi termasuk yang berhubungan dengan seksualitas.

Karenanya, dalam perkara hukum seksualitas (perzinahan, asusila, dll), kita harus terus berefleksi. Mau dibawa kemana? Tidak mungkin pemerintah mengontrol setiap aktivitas manusia di ruang privatnya masing-masing, bukan?

Dengan memberikan hukuman kekerasan, efek jera bagi pelaku dan orang lain tidak akan pernah tercapai. Alasannya sesederhana karena kebutuhan biologis. Setiap orang yang telah melewati pubertas pasti memahaminya. Aparat negara, bahkan Ketua RT sekalipun, tidak akan bisa mengontrol urusan semikro ini.

Di Indonesia kita tercinta ini, pembatas urusan publik dan privat itu sendiri masih dalam gonjang-ganjing. Agama masih begitu dianggap sebagai urusan publik, begitu pula seksualitas. Karenanya, maklum bila prinsip hak privasi dalam HAM Internasional masih dianggap asing di tengah masyarakat kita, contohnya dalam kasus ini.

Pada akhirnya, konsensus bernegara adalah kesepakatan untuk diatur di bawah hukum negara. Di tengah perbedaan agama, budaya, dan sistem sosial, hukum adalah panglima tertinggi.

Negara harus berdiri di atas semua. Prinsipnya hanya satu, melindungi hak asasi setiap manusia. Dari oknum aparat maupun dari sesama anggota masyarakat.

(R17)

 

Exit mobile version