Panglima TNI Hadi Tjahjanto disebut akan ditarik ke dalam kabinet ketika pensiun nanti. Menurut berbagai pihak, Hadi akan mengisi posisi Menko Polhukam yang sekarang diduduki oleh Mahfud MD. Apakah Hadi lebih cocok mengisi posisi tersebut ketimbang Mahfud?
“No duty the Executive had to perform was so trying as to put the right man in the right place.” – Thomas Jefferson, Presiden Ketiga Amerika Serikat
Masuknya PAN ke dalam lingkar kekuasaan telah memberikan guncangan politik. Ini bukan dalam artian negatif, melainkan akan terjadi perombakan kursi-kursi di kabinet Jokowi-Ma’ruf. Bertolak dari lumrahnya praktik spoils system atau bagi-bagi kursi untuk koalisi, sulit membayangkan PAN tidak akan mendapatkan jatah menteri.
Selain posisi apa yang akan didapatkan PAN, diskursus juga menghangat karena ini akan berimbas pada bergesernya posisi-posisi lainnya. Salah satu yang ramai dibahas adalah posisi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang saat ini dijabat Mahfud MD.
Disebutkan, Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang akan pensiun pada November tahun ini akan ditarik menjadi Menko Polhukam untuk menggantikan Mahfud. Jika kabar yang beredar benar, menjadi pertanyaan tersendiri, apakah Hadi tepat menggantikan posisi Mahfud?
Terkait persoalan ini, terdapat dua tendensi miring yang umum disinggung. Pertama, soal nepotisme alias “orang dalam” karena hubungan Presiden Jokowi dan Hadi sudah terjalin sejak di Solo. Pada 2010-2011, ketika Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo, Hadi saat itu menjabat sebagai Komandan Pangkalan Angkatan Udara (Lanud) Adi Soemarmo Boyolali. Pada 2015-2016, Hadi juga menjabat sebagai Sekretariat Militer Presiden.
Baca Juga: Jokowi Terkungkung Persepsi Kesatria Militer?
Pada 2017, ketika Presiden Jokowi mengusulkan nama Hadi sebagai calon Panglima TNI, berbagai anggota Komisi I DPR, seperti Asril Tanjung dan Bobby Adhityo Rizaldi, juga menyorot kedekatan yang sudah berlangsung lama ini.
Konteks tersebut juga menjadi perhatian pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi dalam menanggapi isu Hadi akan masuk kabinet. “Ya memang ada kecocokan antara Presiden sama Pak Hadi. Jadi kalau masuk kabinet setelah pensiun ya sangat mungkin,” ungkapnya.
Kedua, banyak pihak yang mengaitkannya pada asumsi kepemimpinan militer lebih baik dari sipil. Ini juga bertolak dari fakta banyaknya pos-pos jabatan yang diisi oleh purnawirawan TNI. Sebut saja nama tenar seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan Moeldoko.
Lantas, apakah kedua faktor itu yang membuat Hadi tepat mengisi pos Menko Polhukam?
Menepis Sentimen
Sekilas, mungkin banyak yang mengiyakan kedua hal tersebut adalah faktor penunjukan Hadi. Namun, apabila dilihat secara objektif, sinisme tersebut tampaknya merupakan sentimen semata.
Pertama, jika fokus pada kedekatan, faktanya, Presiden Jokowi juga memiliki hubungan erat dengan Mahfud. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu bahkan hampir menjadi cawapres Jokowi di Pilpres 2019.
Kemudian, terdapat kekeliruan dalam menyimpulkan semua kedekatan sebagai nepotisme. Memang benar Presiden Jokowi memiliki riwayat hubungan yang panjang dengan Hadi, namun itu bukan jadi alasan Hadi dipilih, melainkan alasan penguat untuk memilih.
Seperti yang disinggung Bobby Adhityo Rizaldi pada 2017 lalu, kedekatan Presiden Jokowi dengan Hadi justru adalah hal positif. Hubungan dekat yang sudah terjalin akan mempermudah komunikasi dan kolaborasi. Dalam organisasi, khususnya skala besar seperti negara, faktor trust menjadi sangat penting agar komunikasi terjadi secara langsung.
Sejak tahun 1513, Niccolò Machiavelli dalam bukunya yang terkenal Il Principe, juga telah menegaskan persoalan ini. Dalam pembahasannya mengenai “Kerajaan-kerajaan Turunan”, misalnya, dijelaskan bahwa penguasa yang berasal dari penguasa-penguasa baru akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.
Poin Machiavelli adalah, lebih mudah bekerja dengan mereka yang sudah dikenal dan dipercaya daripada dengan orang baru yang belum kita kenal dan percaya.
Mengutip Bo Rothstein dalam bukunya Social Traps and the Problem of Trust, di tengah situasi sosial yang membuat rasa saling curiga mudah tumbuh, kepercayaan adalah “barang mahal” yang sukar untuk didapatkan.
Baca Juga: Mahfud Sebaiknya Diganti?
Kedua, ini bukan soal kepemimpinan militer lebih baik dari sipil, melainkan menempatkan mereka sesuai pada tempatnya. Menurut pengamat militer ISESS Khairul Fahmi, pos Menko Polhukam sebaiknya diisi oleh sosok yang memiliki pengaruh di militer agar dapat menjembatani masalah di TNI dan Kepolisian.
Fahmi mencontohkan kasus Wiranto yang menjadi Menko Polhukam sebelumnya. Menurutnya, karena pengaruhnya di militer, Wiranto berhasil meredam potensi konflik antara TNI dan Kepolisian ketika isu 5.000 senjata ilegal untuk Kepolisian bergulir pada 2017 lalu.
Ada pula kasus perselisihan KPK dengan Polri yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Menko Polhukam Marsekal TNI Djoko Suyanto sebagai penengah pada 2012 lalu. Kasus ini juga dikenal sebagai cicak vs buaya.
Sekali lagi, ini bukan soal kepemimpinan militer lebih baik dari sipil, melainkan pos ini lebih cocok dipegang oleh mereka yang memiliki pengaruh di militer.
Sebaiknya Jaksa Agung
Di titik ini, mungkin kita sudah memiliki kesepahaman yang sama bahwa Hadi cocok menggantikan Mahfud sebagai Menko Polhukam. Lantas, dengan hubungan Presiden Jokowi yang juga dekat dengan Mahfud, apakah pakar hukum tata negara ini akan didepak?
Besar kemungkinan tidak. Menurut berbagai sumber, Mahfud akan digeser mengisi pos Jaksa Agung. Dengan karier akademik dan politik yang panjang di bidang hukum, posisi sebagai Jaksa Agung sekiranya adalah pos ideal bagi Mahfud.
Apalagi, pada 5 Desember 2019, Mahfud mengatakan dirinya pernah diusulkan untuk posisi Jaksa Agung sejak periode pertama pemerintahan Jokowi, namun menolak karena merupakan tim pemenangan Prabowo Subianto di Pilpres 2014. Menurutnya, menerima pinangan tersebut tidak etis secara politik karena tidak berkeringat memenangkan Jokowi.
Baca Juga: Mahfud Akui Pelemahan KPK?
Terkait penolakan tersebut, Mahfud sangat layak untuk diapresiasi. Mengutip Angel Rodríguez Luño dalam tulisannya Personal Ethics and Political Ethics, Mahfud telah menunjukkan etika personal yang mumpuni. Etika personal adalah kualitas pribadi yang dimiliki masing-masing orang dalam laku politiknya. Mantan Ketua MK ini tampaknya begitu paham perihal praktik spoils system di Indonesia, yakni kursi kekuasaan diperuntukkan untuk pemenang pemilu.
Poin itu dapat kita lihat pada kasus masuknya Prabowo ke dalam kabinet menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Disebutkan, berbagai parpol koalisi seperti Nasdem kurang suka dengan keputusan tersebut. Ini misalnya terlihat dari pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem Johnny G. Plate pada 4 Juli 2019, yang menyebut tidak semua partai harus masuk ke dalam kabinet.
Well, sebagai penutup, jika benar akan terjadi reshuffle dalam waktu dekat dan Hadi ditarik, mengisi pos Menko Polhukam sekiranya tepat. Untuk Mahfud, ia dapat digeser ke posisi Jaksa Agung. Namun siapa yang tahu pasti. Pasalnya, Hadi juga diisukan akan mengisi pos Kepala Staf Kepresidenan (KSP) yang saat ini diduduki Moeldoko. Kita lihat saja kelanjutan kabarnya. (R53)