Seiring perkembangan teknologi, kejahatan siber pun mulai semakin marak. Para peretas (hacker) kerap dituding sebagai biang keladinya. Namun di sisi lain, mereka juga sangat dibutuhkan masyarakat maupun pemerintah.
PinterPolitik.com
“Jalan seorang hacker adalah pendekatan untuk membangun yang mencakup perbaikan dan iterasi secara terus-menerus. Hacker percaya bahwa sesuatu itu bisa selalu menjadi lebih baik, dan tidak ada yang sempurna.” ~ Mark Zuckerberg.
[dropcap size=big]B[/dropcap]eberapa hari belakangan ini, nama Sultan Haikal begitu terkenal di media massa. Pria berusia 19 tahun ini, Kamis (30/3) lalu ditangkap Polisi karena telah menjebol situs jual beli tiket dan maskapai penerbangan. Atas aksinya tersebut, peretas yang belum memiliki ijazah SMP ini, membuat kerugian hingga mencapai lima miliar rupiah.
“Dari keterangan tersangka dan hasil penyelidikan, ia seringkali melakukan hacking terutama dengan teknik deface, yaitu dengan mengganti tampilan gambar suatu situs dengan gambar-gambar tertentu. Sejak 2016 saja, ia sudah hacking lebih dari 1.500 situs,” jelas Kanit III Subdit I Direktorat VI Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri, AKBP Idam Wasiadi.
Menurut Idam, walau aksinya kali ini mengantongi uang yang lumayan besar, namun Haikal tidak semata mencari keuntungan saat menjebol suatu situs. “Ia juga sering meretas suatu situs, seperti situs lembaga tertentu, demi ‘unjuk gigi’ di dunia hacker,” lanjut Idam yang mengaku kagum dengan kemampuannya tersebut. “Untuk menunjukkan kelasnya, dia bisa membobol situs tertentu dengan mudahnya.”
Meski di lingkungan rumahnya terlihat kalem, nama Haikal sebenarnya cukup terkenal di kalangan peretas Indonesia. Bersama ketiga temannya, ia membuat kelompok ‘Gantengers Crew’. Bersama, mereka membuktikan kepiawaian membobol situs Garuda Indonesia Airways, situs pengusaha Aburizal Bakrie, dan juga situs Kepolisian RI.
Menurut para pengamat teknologi informasi (TI), Haikal hanyalah satu dari remaja Indonesia lainnya yang ingin memperlihatkan jati diri. Mereka sebenarnya adalah anak-anak muda yang sangat pintar dan kritis. Mereka membobol suatu sistem hanya untuk mengetahui apakah sistem tersebut masih memiliki celah keamanan yang bisa ditembus oleh pihak luar.
Kecerdasan ini, sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai tim konsultan keamanan bagi suatu sistem tertentu. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta maupun pemerintah yang merangkul para peretas untuk membantu mengawasi dan memberikan konsultasi, mengenai celah keamanan sistem teknologi informasi di perusahaan tersebut.
Indonesia, Surga Peretas
“I was addicted to hacking, more for the intellectual challenge, the curiosity, the seduction of adventure; not for stealing, or causing damage or writing computer viruses.” ~ Kevin Mitnick
Bagi para peretas, nama Kevin Mitnick adalah legenda. Pria yang memiliki nama samaran The Condor ini, pernah ditetapkan sebagai buronan internasional setelah berhasil membobol komputer Pentagon, hanya dengan menggunakan remote control saja. Walau kini sudah mengaku pensiun, namun reputasinya masih dikenang para peretas muda, bahkan kisahnya pun pernah difilmkan, dengan judul Take Down.
Kisah Kevin Mitnick yang meretas hanya karena merasa tertantang kepandaiannya, mengilhami sejumlah peretas lain untuk menyamai atau bahkan melebihi dirinya. Serangan-serangan yang terjadi di berbagai instansi, swasta maupun pemerintah, adalah salah satu cara bagi para peretas untuk berunjuk gigi.
Semakin hebat instansi yang berhasil dijebol, semakin tinggi pula reputasinya dikalangan peretas lain, persis seperti yang dilakukan oleh Haikal. Menurut anggota DPR Komisi I, Wigrantoro, seorang peretas bisa menyerang suatu situs dengan tujuan yang beragam. Mulai dari menguji keandalan pengamanan situs yang bersangkutan atau maksud lain, seperti balas dendam.
Jumlahnya pun selalu bertambah. Menurut Ketua Indonesia Security Incident Response Team, Ludi Lumanto, saat ini Indonesia telah menjadi negara dengan jumlah peretas terbanyak di dunia. Presentasenya mencapai sebesar 38 persen, disusul dengan Tiongkok 33 persen, Amerika Serikat 6,9 persen, Taiwan 2,5 persen, Turki 2,4 persen, India 2 persen, dan Rusia 1,7 persen.
Banyaknya jumlah peretas ini juga sebanding dengan jumlah serangan retasan yang terjadi setiap harinya di Indonesia, yaitu hingga 42 ribu serangan. Jauh lebih banyak dari AS yang hanya mencatat 11 ribu serangan dan Tiongkok hanya lima ribu serangan per hari, berdasarkan data Indonesia Security Incident Response Team in Internet Infrastructure (ID-SIRTII).
Indonesia memang surga bagi para penjahat siber sejak 2013. Di tahun 2016 saja, ada sekitar 1.627 kasus yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, 1.207 kasus atau sekitar 70 persennya merupakan kasus kejahatan dunia maya (cyber crime). Dari data Subdit IT/Cyber Crime 2012-2015, dari 497 orang tersangka kasus cyber crime, 108 orang diantaranya warga Indonesia.
Pakar TI Richardus Eko Indrajit melihat, fenomena suburnya peretas di tanah air ini akibat kurangnya kontrol dari pemerintah. Tutorial peretasan sangat mudah di dapat, baik melalui buku-buku maupun yang tersebar di internet. Tutorial itu bahkan lebih banyak mengajarkan cara menyerang daripada bertahan. “Hasilnya, pembaca tentu bisa langsung mempraktekkannya.”
Mempelajari trik hacking dari buku maupun internet, lanjut Richardus, tidak sulit. Tidak perlu mempelajari coding atau rumus matematika tertentu untuk melakukannya. Karena penjabaran trik hacking yang lengkap dan praktis, bisa dilakukan oleh semua orang awam. Inilah salah satu alasan utama kian suburnya perkembangan peretas di Indonesia.
Kecerdasan vs Kejahatan
“Peretas atau hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisis, memodifikasi, serta menerobos masuk ke dalam komputer dan jaringan komputer, baik untuk keuntungan atau dimotivasi oleh tantangan.” ~ Wikipedia.
Istilah peretas sebenarnya baru muncul di awal tahun 60-an, oleh organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT). Mereka merupakan salah satu perintis perkembangan teknologi komputer dan berkutat dengan sejumlah komputer mainframe.
Pada awalnya, peretas memiliki arti yang positif, yaitu seseorang yang memiliki keahlian di bidang komputer dan mampu membuat program komputer lebih baik dari yang telah ada. Istilah ini juga merujuk pada mereka yang dianggap melampaui batas kemampuan ahli sistem komputer, salah satunya penemu sistem jaringan ARPANET yang kini telah berevolusi menjadi internet.
Peretasan dinilai menjadi seni untuk menemukan solusi baru yang unik. Dibutuhkan rasa ingin tahu yang luar biasa dan keinginan, untuk menciptakan teknologi yang bekerja lebih baik atau berbeda. Tindakan ini tentu membutuhkan kecerdasan yang tinggi. Namun istilah ini berubah menjadi negatif saat FBI menangkap kelompok cyber crime bernama The 414s yang berbasis di AS, untuk pertama kalinya di tahun 1983.
Degradasi makna ini membuat para peretas asli tidak terima. Akibat semakin banyaknya peretas tak bertanggung jawab, membuat peretas asli menyebut mereka sebagai Cracker. Namun saat ini berkembang menjadi istilah baru, yaitu peretas topi putih (white hat hacker) dan peretas topi hitam (black hat hacker) atau cracker seperti Haikal.
Tapi awal peretasan itu sendiri, sudah dilakukan jauh sebelumnya. Sejarah mencatat, peretasan pertama di dunia ditemukan saat Perang Dunia II, yaitu saat Inggris (sekutu) bertempur melawan Nazi Jerman. Di tahun 1939, seorang ahli matematika, Alan Turing, berhasil memecahkan sistem sandi enigma yang membuatnya mengetahui pesan rahasia militer Jerman.
Kini di era serba internet, di mana hampir semua data dan informasi berada dalam suatu sistem elektronik, bahaya peretasan makin berdampak. Ketika harga saham, transaksi keuangan, dan banyak hal melalui komputer, etos dalam peretasan pun berubah. Jika dulu peretasan dilakukan untuk memperbaiki suatu sistem, kini peretasan dilakukan untuk mencuri uang atau penjualan data rahasia.
Teman atau Musuh?
“Why did I decide to write cyber thrillers? Because we’ve gone from the Cold War to the Code War.” ~ Thomas Waite, Writer.
Di era digitalisasi, di mana perekonomian dan administrasi pemerintahan di simpan dan dilakukan melalui internet, kejahatan siber pun tidak dapat dihindari. Aktivitas saling retas yang bertujuan melumpuhkan atau mencuri data dari negara musuh, saat ini juga sudah terjadi. Bagi para pakar internet, aksi ini dikenal sebagai Cyber War.
Dengan terhubungnya seluruh dunia melalui jaringan internet, hampir setiap hari di berbagai negara, terlibat kegiatan cyber war. Salah satu yang terbesar adalah saat data dari Departemen Pertahanan AS (Pentagon) dijebol hanya melalui sebuah USB flash drive yang diselipkan di laptop markas militer AS di Timur Tengah, tahun 2008.
Indonesia sendiri pernah terlibat cyber war dengan Malaysia dan Australia, saat hubungan antar negara mengalami ketegangan beberapa tahun lalu. Namun ‘perang’ itu bukan disponsori oleh negara. Karena secara tidak resmi, Indonesia memiliki Tentara Siber (Cyber Squad) yang siap ‘perang’ jika ada usikan, gangguan, atau apapun yang meresahkan Indonesia dari luar.
Mereka adalah para peretas Indonesia yang kemampuannya telah mendapatkan pengakuan dunia internasional. Bukan saja dari kelompok peretas terkenal Anonymous Australia saja yang pernah mengaku kalah, tapi peretas dari Malaysia, Tiongkok, Myanmar, Bangladesh, dan Filipina pun pernah mengaku kalah dengan aksi balasan para peretas Indonesia saat melakukan cyber war.
Menurut pengamat masalah militer LIPI, Jaleswari Pramodhawardani, Indonesia memiliki peretas-peretas tangguh yang sangat dibutuhkan untuk membentuk satuan tentara siber (cyber army). Melalui merekalah penanganan kriminalitas siber dapat dilakukan. “Momentum ini sangat tepat dan kebijakan tersebut sangat penting, mengingat ancaman di dunia maya terhadap pertahanan negara semakin besar.”
Pemuda-pemuda seperti Haikal sebenarnya dapat diberdayakan melihat kemampuannya yang layak untuk dikembangkan, demi kepentingan yang lebih besar, seperti kebutuhan keamanan dunia maya. Meski begitu, bila merujuk pada UU ITE, tindakan Haikal yang menyerang sistem elektronik secara illegal merupakan salah satu bentuk perbuatan pidana. Lepas dari ketidaktahuan si pelaku, mekanisme itu tetap berlaku.
Untuk itu ahli hukum pidana UI Ganjar Bondan mengatakan, Haikal sebenarnya memerlukan pembinaan yang dibarengi juga dengan pemidanaan. “Perlunya strategi keamanan dunia maya nasional. Sistem pemidanaan kita bentuknya bisa lebih luwes, sehingga bisa mengakomodasi pembinaan dan pemasyarakatan untuk pelaku kejahatan siber, yang sesungguhnya dibutuhkan kemampuannya. Setidaknya ia bisa dikenakan dengan pidana percobaan,” pungkasnya. Apakah kamu setuju? (Berbagai sumber/R24)