Sejak 2017, Habib Rizieq Shihab (HRS) telah menjelma menjadi salah satu tokoh oposisi paling berpengaruh di Indonesia. Sekembalinya dari Arab Saudi, HRS bahkan jamak dinilai sebagai penambah daya gedor oposisi yang kini mulai tumpul. Pertanyaannya, mungkinkah fenomena HRS ini menunjukkan mitos dari teori kontrak sosial?
Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) benar-benar fenomenal. Tidak hanya perihal sambutan megahnya pada 10 November lalu, melainkan juga dari respons tendensius yang terlihat dari pemerintah. Ceramah perdananya di Petamburan bahkan dikait-kait dengan pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang menegaskan akan menindak segala ancaman yang membahayakan stabilitas nasional.
Sejak kepulangannya, nama Habib Rizieq tak terbantahkan lagi memang selalu mengisi headline-headline pemberitaan media. Ini jelas menunjukkan betapa besarnya atensi publik terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut.
Bayangkan saja, komentar ringkas dari seorang aktris saja tentang HRS menjadi pemberitaan utama belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung, itu bahkan menyulut asumsi yang mempertanyakan apakah terdapat peran pemerintah di balik keluarnya komentar aktris tersebut.
Ya, suka atau tidak, sejak 2017 HRS memang telah menjelma menjadi ikon perlawanan terhadap kekuasaan. Narasinya konsisten, ini adalah bentuk perjuangan atas kezaliman penguasa. Dalam ceramahnya pada 10 November, HRS juga kembali menegaskan bahwa musuhnya bukanlah pemerintah, tentara, maupun polisi, melainkan adalah kezaliman.
Terlepas dari pro kontra terhadap HRS, konsistensi yang ditunjukkannya jelas memiliki makna tertentu. Ini jelas berbeda dari narasi musiman partai politik yang menyerukan hal serupa demi kepentingan elektoral.
Nah sekarang pertanyaannya, mengapa narasi tersebut secara konsisten dikemukakan HRS? Mengapa Ia seperti mencoba meragukan legimitasi pemerintah?
Contract Social Theory
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu masuk ke dalam perdebatan filsafat politik, khususnya mengenai bagaimana negara dapat terbentuk. Teori yang paling umum untuk membahasnya adalah teori kontrak sosial (contract social theory) dari filsuf Thomas Hobbes dan John Locke.
Hobbes dalam bukunya Leviathan yang ditulis pada tahun 1651 memiliki asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang egois. Asumsi tersebut dan juga pengalaman hidupnya yang menyaksikan perang saudara, telah membuatnya membayangkan bahwa dulunya manusia benar-benar hidup dalam skema teori evolusi, yakni yang kuatlah yang bertahan. Manusia tidak segan-segan memangsa sesama demi kepentingannya sendiri.
Atas bayangan tersebut, Hobbes menyebutkan bahwa pada suatu ketika manusia menyadari jika terus hidup seperti, mereka tidak akan memiliki umur panjang dan kemudian membuat kesepakatan (agreement) untuk mendirikan negara. Mereka kemudian menyerahkan semua haknya kepada negara, agar negara memiliki kewenangan untuk menjamin keberlangsungan hidup warga negaranya.
Sama dengan Hobbes, Locke juga membayangkan adanya kesepakatan semacam itu. Namun, berbeda dengan Hobbes, dalam teori Locke, warga negara hanya menyerahkan sebagian dari haknya. Ini karena Locke tidak mengasumsikan manusia adalah makhluk yang sepenuhnya egois dan jahat seperti halnya Hobbes.
Persoalannya adalah, jika memang terdapat kesepakatan semacam itu, mengapa pada perjalanannya warga negara dapat mendelegitimasi pemerintahan? Mengacu pada Hobbes dan Locke, bukankah dahulunya terdapat kesepakatan, di mana masyarakat memberikan haknya kepada negara?
Dari persoalan tersebut, maka menjadi begitu relevan untuk melihat kritik David Hume terhadap teori kontrak sosial. menurut Hume, apa yang mengikat negara dan masyarakat, bukanlah kesepatakan seperti yang dibayangkan oleh Hobbes dan Locke, melainkan berlandaskan pada konsep utilitas. Kesepakatan dalam teori kontrak sosial bahkan disebut sebagai mitos semata – tepatnya sebatas asumsi filosofis.
Christine Chwaszcza dalam tulisannya Hume and the Social Contract. A Systematic Evaluation (2013) menyebutkan bahwa kritik Hume atas teori kontrak sosial telah memberikan konsekuensi yang radikal. Pasalnya, jika konsep kesepakatan dinegasikan, maka asumsi bahwa masyarakat memiliki kewajiban (obligation) terhadap negara menjadi tidak relevan – begitu pula sebaliknya. Selaku seorang empiris, pembuktian Hume memang berfokus pada kurangnya basis empiris konsep kesepatakan dalam teori kontrak sosial.
Untuk menjawab masalah tersebut, Hume menawarkan konsep utilitas – atau utilitarianisme – sebagai jawaban. Dengan demikian, ketaatan, aturan, dan kewenangan negara pada dasarnya didasarkan pada utilitas, yakni itu ditetapkan karena dinilai baik bagi banyak orang.
Dengan mengacu pada utilitas, ini memungkinkan warga negara untuk mengevaluasi kinerja negara atau pemerintahan. Misalnya untuk mengevaluasi kinerja ekonomi, cukup dilihat data ekonominya, apakah pertumbuhan ekonomi baik? Apakah angka kemiskinan menurun? Apakah pendapatan per kapita meningkat?
Konsekuensinya, ini memungkinkan masyarakat untuk mendelegitimasi pemerintahan yang berkuasa jika dirasa gagal dalam memenuhi utilitas negara.
Kalkulasi Habib Rizieq?
Pada titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Habib Rizieq tampaknya mengacu pada Hume daripada Hobbes ataupun Locke. Pernyataan-pernyataannya yang menyebut perjuangan didasarkan pada kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, jelas memperlihatkan konsep utilitas ala utilitarianisme.
Jika benar HRS menganut konsep utilitas, apalagi menganut utilitarianisme seperti Hume, tampaknya itu menjawab mengapa HRS memilih menggunakan kalimat-kalimat “keras” yang tidak sedikit membuat orang lain terganggu.
Mungkin Ia merasa bahwa kritik yang menggunakan kalimat-kalimat lembut hanya seperti “angin lalu”. Dengan demikian, kalimat keras dipilihnya agar mendapatkan perhatian publik, khususnya dari pemerintah. Dan terbukti, dengan suara kerasnya, Ia telah menjadi pusat atensi sampai saat ini.
Mengacu pada utilitarianisme yang menitikberatkan nilai pada konsekuensi, konsep tersebut dapat menjadi pembenaran atas metode dakwah HRS yang jamak menggunakan kalimat keras.
Bertolak pada situasi kekinian negara, suka atau tidak, tampaknya memang harus terdapat oposisi berkalimat keras seperti HRS.
Pada aspek politik, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa pemerintahan berjalan ke arah otoritarianisme. Iqra Anugrah dalam tulisannya The Illiberal Turn in Indonesian Democracy (2020), misalnya, menyebutkan bahwa dalam 15 tahun terakhir, demokrasi di Indonesia secara perlahan berbalik arah dan bertendensi menuju demokrasi iliberal atau demokrasi semu.
Dipromosikannya Omnibus Law oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga dicontohkan Anugrah sebagai indikasi bahwa demokrasi Indonesia saat ini telah dikuasai oleh golongan elite dan oligarki.
Ihwal tersebut senada dengan simpulan James Guild dalam tulisannya Jokowinomics Gambles with Indonesia’s Democratisation yang menyebutkan pemerintahan Jokowi seperti menempatkan penegakan demokrasi di balik fokus ekonomi, khususnya proyek infrastruktur.
Getirnya, kepercayaan Presiden Jokowi bahwa proyek infrastruktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sampai tujuh persen seperti yang ditulis Guild, sampai saat ini tidak terbukti. Alih-alih berbuah manis, ambisi membangun infrastruktur justru membuat terjadinya peningkatan drastis utang negara.
Konteks utang tersebut juga disinggung oleh mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli ketika menyebutkan kondisi ekonomi negara memang telah bermasalah sebelum datangnya pandemi Covid-19.
Lalu, pada aspek penegakan hukum, khususnya usaha pemberantasan korupsi, justru terlihat berjalan stagnan. Rimawan Pradiptyo dalam tulisannya A Certain Uncertainty; Assessment of Court Decisions in Tackling Corruption in Indonesia (2011), misalnya, menyebutkan bahwa tentang intensitas hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi justru jauh dari kata konsisten.
Apalagi, revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan tahun lalu juga jamak dinilai telah melemahkan lembaga antirasuah.
Ketiga aspek tersebut, yakni politik, ekonomi, dan hukum adalah perhitungan utama untuk mengevaluasi apakah pemerintah yang tengah berkuasa telah menjalankan prinsip utilitas dengan baik atau tidak.
Tentu kita mengetahui, terkait kritik-kritik tersebut, akan mudah dijawab dengan menyebutkan bahwa pemerintah telah bekerja keras tanpa henti demi rakyat Indonesia. Masalahnya, klaim tersebut harus dapat dibuktikan secara empiris dengan menunjukkan perbaikan data.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat memaknai bahwa suara keras HRS bertolak dari kondisi ketiga aspek tersebut yang terlihat tidak baik-baik saja. Akan tetapi, ada pula analisis yang menyebutkan suara HRS keluar lebih karena alasan politik identitas, yakni karena merasa Islam seperti terpinggirkan padahal berada di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Ya, apa pun alasan di balik suara HRS, kita nantikan saja kelanjutan langkah Imam Besar FPI tersebut ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)