HomeNalar PolitikHabib Rizieq, Kunci Kejatuhan Jokowi?

Habib Rizieq, Kunci Kejatuhan Jokowi?

Setelah sebelumnya berbagai tokoh memprediksi kejatuhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat terjadi jika tidak mampu menangani pandemi virus Corona (Covid-19), mungkinkah nantinya, jika gejolak sosial-politik benar-benar terjadi, Habib Rizieq Shihab dipulangkan untuk memimpin massa?


PinterPolitik.com

Pandemi virus Corona (Covid-19) tampaknya tidak hanya menjadi bencana kesehatan semata, melainkan juga telah bertransformasi menjadi bencana ekonomi dan bencana politik. Menariknya, label pandemi yang disematkan kepada Covid-19 tidak hanya perihal skala penyebarannya, melainkan juga skala dampak ekonomi dan politik yang diakibatkan.

Terkhusus persoalan politik, Kori Schake dalam tulisannya di Foreign Policy bahkan menyebutkan bahwa dengan adanya pandemi Covid-19, Amerika Serikat (AS) tidak akan lagi dipandang sebagai pemimpin internasional karena dinilai tidak mampu untuk memimpin dunia dalam menanggulangi pandemi tersebut.

Bagaimana tidak? Alih-alih menjadi pemimpin untuk menanggulangi, AS justru menempatkan dirinya sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia dengan 290.947 kasus dan 7.844 kematian – data per 4 April.

Mengacu pada tulisan Schake tersebut, dapat dimaknai bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi semacam leadership test atau tes kepemimpinan bagi pemerintahan terkait.

Tidak terlepas di Indonesia, beberapa pihak turut menyebutkan bahwa penanganan Covid-19 akan memperlihatkan bagaimana sejatinya kepemimpinan yang dimiliki oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Akan tetapi, alih-alih menunjukkan sikap sigap dan waspada sejak awal, berbagai kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah justru dinilai kontraproduktif dengan upaya menanggulangi Covid-19.

Publik tentu mengingat pada awalnya pemerintah justru sibuk memikirkan cara agar sektor pariwisata tidak terhantam hebat oleh Covid-19 dengan memberikan diskon tiket pesawat dan berkeinginan menggunakan jasa influencer untuk mempromosikan pariwisata.

Tidak hanya itu, atas kelalaian pemerintah yang terkesan tidak serius dari awal dalam menanggulangi pandemi Covid-19, Indonesia juga harus menghadapi dua rongrongan lainnya, yakni potensi kejatuhan ekonomi dan gejolak sosial.

Lantas, seperti halnya yang pernah diungkapkan oleh sosok-sosok seperti Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, dan Rizal Ramli, mungkinkah Presiden Jokowi akan mengalami krisis ekonomi dan politik besar hingga mengakibatkan kejatuhannya?

Covid-19 Akibatkan Gejolak Politik

Daniel Dana dalam tulisannya The Coronavirus Could Spell the End of Iran’s Regime, and That’s Not Good, menyebutkan persoalan yang tampaknya harus direfleksikan terkait bagaimana pandemi Covid-19 telah meningkatkan gejolak politik di Iran saat ini karena semakin bertambahnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah Iran.

Tidak berlebihan untuk menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Iran saat ini. Bagaimana tidak? Dilaporkan bahwa terjadi kematian akibat Covid-19 setiap 10 menit sekali, dan setiap jamnya diperkirakan 50 orang terinfeksi. Sampai saat ini – per 4 April – kasus Covid-19 di Iran telah menyentuh angka 55.743, dengan 3.452 kematian.

Buruknya penanganan Covid-19 di Iran, seperti yang disebutkan Dana, terjadi karena sedari awal pemerintah Iran memang tidak memiliki langkah antisipasi terhadap penyebaran virus tersebut. Selain itu, Jason Rezaian dalam tulisannya di The Washington Post juga menyebutkan bahwa pada awalnya pemerintah Iran juga melakukan represi terhadap berbagai media agar tidak menyebarluaskan informasi tentang Covid-19.

Atas kondisi tersebut, cukup beralasan bagi Dana untuk memberi simpulan bahwa pandemi Covid-19 di Iran telah berkonsekuensi menciptakan state of affairs, bahkan dapat pula menjadi preseden berakhirnya rezim yang saat ini tengah berkuasa.

Lebih pelik dari Iran, Kosovo tidak hanya merasakan gejolak politik akibat pandemi Covid-19, melainkan juga bahkan berujung pada kejatuhan Perdana Menteri Kosovo Albin Kurti. Pasalnya, atas penolakan untuk menyatakan keadaan darurat atas pandemi Covid-19, gelombang ketidakpuasan publik telah berujung pada mosi tidak percaya anggota parlemen yang membuatnya dilengserkan dari jabatannya.

Apa yang terjadi di Iran dan Kosovo, sejalan dengan temuan Profesor Sejarah Pengobatan Frank M. Snowden dari Yale University yang menyebutkan bahwa epidemi atau pandemi tidak hanya menjadi bencana kesehatan, melainkan juga dapat menyebabkan gejolak politik, mundurnya suatu pemimpin negara, bahkan kemerdekaan suatu negara.

Lantas, jika demikian yang terjadi di Iran dan Kosovo, mungkinkah gejolak politik serupa juga dapat terjadi di Indonesia?

Kulminasi Permasalahan?

Sama halnya dengan Iran, pemerintah Indonesia juga sedari awal disebut tidak memiliki langkah antisipasi, bahkan terkesan meremehkan Covid-19. Sehingga tidak heran, atas terus meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia, berbagai pihak mulai meluapkan kekesalannya terhadap pemerintah.

Apalagi, dengan adanya pernyataan-pernyataan tidak tepat, misalnya dengan menyebutkan adanya pertimbangan ekonomi, tentu memberi kesan bahwa menyelamatkan perekonomian tampaknya lebih penting daripada menghentikan bencana kesehatan.

Seperti halnya di Iran, jika nantinya pemerintah tidak mampu mengatasi Covid-19 dengan baik sehingga banyak korban yang meninggal, maka tidak menutup kemungkinan bahwa itu akan menjadi preseden atas delegitimasi pemerintahan Jokowi karena kepercayaan rakyat sudah tidak dimiliki.

Kemudian, riak-riak kekesalan publik tampaknya juga semakin memupuk menyusul pada tetap dilaksanakannya pembahasan Omnibus Law dan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut misalnya diungkapkan oleh Pengamat politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno yang menyebutkan bahwa pembahasan produk hukum tersebut di tengah pandemi Covid-19 dapat memancing kegaduhan dan kontroversi.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahkan telah menegaskan bahwa jika DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja, maka ribuan buruh akan turun untuk melakukan demonstrasi.

Potensi akan terjadinya gejolak sosial tersebut juga diperparah dengan terus memburuknya kondisi ekonomi seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19. Sebagaimana diketahui, dolar telah menembus Rp 16 ribu. Bahkan di beberapa kesempatan, hampir menyentuh Rp 17 ribu.

Memburuknya ekonomi sebenarnya sudah terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Januari lalu yang menyebutkan dirinya sampai “sakit perut” dalam mencari dana untuk merealisasikan janji kampanye Presiden Jokowi. Kini, dengan adanya pandemi Covid-19, Sri Mulyani nampaknya memiliki alasan yang kuat untuk mengakui bahwa ekonomi memang memburuk.

Mantan Diretur Pelaksana Bank Dunia tersebut bahkan telah menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai nol persen. Pun begitu dengan menyebutkan dolar dapat menembus Rp 20 ribu.

Habib Rizieq adalah Kunci?

Menjadi suatu pertanyaan tersendiri terkait mengapa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sampai sekarang masih bertahan tinggal di Arab Saudi. Dengan kharismanya yang mampu menghimpun dan menggerakkan massa, tentu mudah untuk memahami mengapa terdapat pihak yang menyebutkan Habib Rizieq begitu berbahaya secara politik.

Akan tetapi, anehnya, kendati Habib Rizieq mendapatkan tekanan yang hebat, hingga harus menetap di Arab Saudi, bukankah akan lebih mudah untuk “membungkamnya” daripada hanya diungsikan? Dengan kata lain, bukankah itu mengindikasikan bahwa Habib Rizieq seperti tengah dipersiapkan untuk sesuatu?

Dengan adanya kedekatan Presiden Jokowi dengan militer saat ini, tentu berbagai pihak akan menyimpulkan bahwa kejatuhan sang presiden akan sulit kendati terjadi demonstrasi besar.

Akan tetapi, seperti yang diungkapkan oleh pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi bahwa militer Indonesia adalah militer pretorian atau militer yang lebih cenderung berpolitik.

Militer sangat mungkin untuk memasuki peran politik jika dinilai telah terjadi instabilitas sistem dan kegagalan pemimpin negara dalam menjamin ditaatinya norma dan proses politik.

Kemudian, Fahmi juga menyebutkan bahwa di banyak negara dunia ketiga terdapat beberapa sebab yang dapat menjadi alasan bagi intervensi militer dalam politik suatu negara.

Pertama, apabila kewibawaan pemerintah atau partai politik yang berkuasa telah jatuh sehingga membuat rezim semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi krisis.

Kedua, apabila terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan terpengaruhnya sektor-sektor layanan publik maupun swasta.

Dengan demikian, katakanlah Habib Rizieq kembali ke Indonesia, kemudian menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi besar karena pemerintahan Jokowi dinilai tidak mampu dalam menanggulangi pandemi Covid-19 dan terjadi keterpurukan ekonomi. Boleh jadi, militer tidak menjadi “tameng” pemerintah untuk menghalau massa, melainkan justru mendukung gerakan tersebut.

Apalagi, beberapa hari yang lalu, sempat beredar wacana bahwa darurat sipil akan diberlakukan. Kendati hal tersebut telah diralat, namun patut diduga pula bahwa dengan sempat beredarnya wacana tersebut, itu menjadi indikasi bahwa penerapan darurat sipil menjadi salah satu opsi pembahasan.

Lantas, jika benar-benar keadaan darurat sipil diberlakukan, kemudian eskalasi masalah terus membesar sehingga keadaannya dinaikkan menjadi darurat militer, tentu saja, itu akan menjadi pintu masuknnya militer.

Katakanlah momen tersebut benar-benar terjadi, tentunya itu akan mengundang pihak-pihak tertentu untuk ikut terlibat dalam mensukseskan proses politik tersebut.

Mengacu pada kejatuhan Soeharto pada 1998 lalu yang terjadi karena faktor ekonomi, meledaknya gejolak sosial, dan dukungan militer – dengan adanya berbagai potensi masalah tersebut, tentu tidak menutup kemungkinan bahwa hal yang sama juga dapat berulang pada Presiden Jokowi.

Akan tetapi, tentunya intervensi militer pada proses politik tersebut hanya akan terjadi apabila sebab-sebab seperti terjadinya delegitimasi pemerintah dan kehancuran ekonomi benar-benar terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...