Site icon PinterPolitik.com

Guru Besar, Pahlawan Kesiangan?

Guru Besar Pahlawan Kesiangan?

Guru Besar Tolak Arief Hidayat

Desakan agar Arief Hidayat mundur dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terus disuarakan berbagai pihak. Kali ini, suara tersebut disampaikan oleh 54 Guru Besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.


PinterPolitik.com

Aksi tersebut disampaikan sebagai bentuk kekecewaan para Guru Besar terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Arief Hidayat. Peristiwa tersebut sangat disayangkan, apalagi ketika Dewan Etik MK hanya memberikan sanksi ringan dari dua pelanggaran kode etik yang dilakukan.

Pertama, Arief Hidayat dinyatakan bersalah dalam memberikan surat pendek atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan, Widyo Pramono untuk “membina” kerabatnya. Kedua, Arief Hidayat diduga melakukan pertemuan dengan Komisi III DPR guna melancarkan pencalonannya sebagai hakim MK.

Beberapa pihak menilai gugatan para Guru Besar juga berkaitan dengan jatuhnya putusan MK terhadap gugatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kewenangan DPR untuk mengajukan Hak Angket terhadap lembaga antirasuah tersebut. Pada pertimbangannya, MK menganggap KPK termasuk bagian dari eksekutif, sehingga DPR sah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket.

Jika menilik citra kelembagaan MK, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kompas pada 2017, MK menempati posisi keempat tertinggi dengan tingkat kepercayaan mencapai 68,9 persen. Persentase tersebut menjadi tidak relevan untuk merepresentasikan institusi MK secara menyeluruh jika melihat kasus yang terjadi pada Arief Hidayat ini. Terdapat kekurangan dari kepemimpinan MK di bawah Arief Hidayat yang dinilai mengancam lembaga konstitusi Indonesia.

Fenomena ini menjadi menarik ketika 54 Guru Besar melakukan aksi untuk memundurkan Arief Hidayat. Namun, pertanyaannya adalah apakah aksi ini tidak kesiangan, mengingat gugatan KPK telah ditolak? Lalu, apakah aksi ini murni gerakan moral ataukah ada motif politik?

Arief Hidayat Ketua Mahkamah Konstitusi

Siapa 54 Guru Besar?

Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Gelar tersebut merupakan hasil dari proses yang dilakukan oleh seseorang dalam bidang akademis seperti halnya memiliki kewajiban untuk menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

Oleh karena itu, tentu banyak pertanyaan muncul ketika ada aksi para Guru Besar yang menggugat jabatan publik tertentu. Apalagi, cara yang dilakukan oleh 54 Guru Besar dalam desakannya ke Arief Hidayat juga menarik. Mereka menulis surat yang berisi tentang kehormatan MK sebagai penjaga konstitusi Indonesia. Selain itu, mereka juga menilai bahwa seorang hakim MK yang terbukti melanggar kode etik tidak punya kualitas sebagai negarawan.

Dalam gerakan ini, secara kasat mata tampak bentuk kepedulian para pendidik tersebut untuk mempertahankan citra MK di mata masyarakat. Namun apakah seperti itu adanya?

Para Guru Besar tersebut juga mewakili kampus-kampus dengan nama besar, misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (UNAIR), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Hasanudin (UNHAS), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan beberapa kampus lainnya, serta ada juga yang berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Profesor Siti Zuhro dari LIPI misalnya adalah tokoh yang aktif di bidang politik dan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan. Siti Zuhro juga mendapat penghargaan dari Bawaslu dan MIPI sebagai pengamat politik terbaik di tahun 2012.

Ada juga Profesor Denny Indrayana yang merupakan salah satu public intelectual yang pernah terjun ke pemerintahan. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini juga memiliki pengaruh dalam setiap pernyataan dan pandangannya.

Selain itu ada Profesor Sulistyowati Irianto yang merupakan salah satu tokoh pendidik perempuan berpengaruh dari Universitas Indonesia, Profesor Mayling Oey juga dari Universitas Indonesia, serta beberapa Guru Besar lain.

Beberapa tuduhan muncul terkait bias politik gerakan para Guru Besar ini. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah misalnya menganggap gerakan 54 Guru Besar ini “dimobilisasi” untuk mendukung KPK. Tuduhan “dimobilisasi” jelas menunjukkan adanya kepentingan tertentu di balik aksi ini.

Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh Profesor Sulistyowati Irianto yang menyatakan bahwa gerakan 54 Guru Besar ini tidak memiliki kepentingan politik dan hanya sekedar imbauan moral yang ditujukan ke Arief Hidayat. Lalu, siapakah yang benar?

Yang jelas, jika berkaca dari putusan terhadap gugatan KPK terkait kewenangan Hak Angket DPR, terlihat adanya indikasi “keberpihakan politik”, terutama dari lima hakim MK yang menyatakan setuju bahwa KPK adalah bagian dari eksekutif. Faktanya, tiga dari lima hakim tersebut adalah pilihan  DPR, yakni Arief Hidayat, Aswanto dan Wahidudin Adams. Sementara dua lainnya adalah pilihan Mahkamah Agung (MA), yakni Anwar Uman dan Manahan Sitompul.

Adapun empat hakim yang melontarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda, komposisinya adalah tiga hakim merupakan pilihan Presiden, yakni Saldi Isra dan I Dewa Gede Palguna yang dipilih pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), serta Maria Farida Indrati yang menjabat sejak zaman Presiden SBY. Satu hakim lainnya, yakni Suhartoyo, merupakan hakim pilihan MA.

Guru Besar vs Kepentingan

Jika mengamati kasus ini, ada kecenderungan yang memperlihatkan bahwa Arief Hidayat akan bernasib sama dengan Akil Mochtar dan Patrialis Akbar yang melakukan jual beli putusan MK, terlebih dengan putusan MK yang memutuskan bahwa KPK adalah bagian dari eksekutif dan menjadi objek Hak Angket DPR.

Beberapa pihak menyebut ada indikasi kuat dugaan barter yang dilakukan Arief Hidayat dengan Komisi III DPR. Politikus Partai Gerindra, Desmond Mahesa, misalnya mengaku kepada Dewan Etik MK, membicarakan kesepakatan politik tertentu dengan Arief Hidayat.

Berdasarkan pernyataan Desmond Mahesa, Arief Hidayat mengatakan bahwa bila bukan dia yang menjadi Ketua MK, maka Saldi Isra-lah yang akan menggantikannya. Sementara Saldi Isra justru dinilai dekat dengan KPK. Hal inilah yang membuat lobi Arief Hidayat berjalan mulus dengan pimpinan Komisi III.

Dalam kaitan dengan gerakan para Guru Besar, ada keterkaitan antara strategi yang dilakukan oleh 54 Guru Besar untuk membangun wacana dalam membentuk opini publik terhadap kasus Ketua MK. Opini tersebut erat kaitannya dengan salah satu karakter gerakan sosial, yaitu konsep framing.

Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly dalam tulisannya yang berjudul Dynamics of Contention menjelaskan bahwa framing merupakan proses kolektif dalam membuat interpelasi, atribut serta konstruksi sosial antara peluang dan tindakan. Setidaknya framing harus bisa membuat masyarakat merasa dirugikan di beberapa aspek hidup mereka atau menimbulkan kepedulian dari masyarakat untuk mau bergerak.

Framing inilah yang secara tidak langsung membentuk dukungan publik terhadap 54 Guru Besar. Hal ini tentunya menjadi faktor pendukung keberhasilan dalam memuat wacana dan membentuk persepsi bahwa yang dilakukan oleh para Guru Besar tersebut adalah benar karena imbauan moral.

Di lain pihak, banyaknya Guru Besar yang memiliki kedekatan dengan politisi menimbulkan selentingan, mungkin saja ini adalah bentuk minat mereka terhadap kekuasaan. Bukankah ditawari pada posisi jabatan tinggi menjadi salah satu bentuk apresiasi terhadap Guru Besar yang mungkin saja dapat terjadi pada kasus ini?

Kedekatan Guru Besar atau akademisi dengan politisi sudah menjadi rahasia umum. Hal tersebut sah saja, namun dirasa tidak etis ketika kedekatan yang dibangun hanya untuk kepentingan tertentu. Apakah hal itu juga terjadi dalam kasus ini? Semoga saja tidak! (LD14)

Exit mobile version