Sinergi dan kerja sama menjadi hal yang utama bagi setiap negara di dunia dalam perang melawan Covid-19. Namun, ini juga menjadi kunci utama bagi setiap pemimpin untuk menunjukkan ada di mana dirinya dalam spektrum penilaian seorang great leader atau pemimpin hebat. Mampukah Prabowo menjadi sosok yang demikian?
PinterPolitik.com
Topik tentang Covid-19 memang masih mengisi daftar teratas dalam diskursus yang berkembang di masyarakat internasional saat ini. Selain karena kasusnya yang terus meninggi, tetapi juga karena dampaknya yang terasa di berbagai sektor.
Salah satunya adalah terhadap konteks geopolitik di berbagai kawasan di seluruh dunia. Ini diungkapkan oleh akademisi sekaligus mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani dalam salah satu webinar beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan tersebut Mahbubani menyebutkan bahwa dunia saat ini sedang memasuki masa ketika para pemimpinnya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentukan. Ia juga menyebutkan bahwa saat ini dunia seolah sampai pada satu titik isu ketika semua kebijakan diambil untuk sebuah kapal besar – demikian analogi yang ia gunakan untuk menggambarkan bumi saat ini.
Oleh karena itu, akan ada ajang pembuktian apakah para pemimpin saat ini adalah mereka-mereka yang menyingkirkan berbagai perbedaan, mulai dari ideologi, pandangan politik dan ketidaksukaan antara satu dengan yang lain, demi mewujudkan solusi bersama untuk kemaslahatan semua manusia.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, Covid-19 memang menjadi alat uji apakah seorang pemimpin bisa dianggap sebagai great leader atau tidak. Setelah di tulisan sebelumnya pembahasannya ada di seputar Presiden Joko Widodo (Jokowi), kali ini ukuran yang sama akan digunakan untuk menilai lawan politik sang presiden yang kini ada di pemerintahannya: Prabowo Subianto.
Sebagai Menteri Pertahanan, kini publik menanti akan seperti apa Prabowo membawa arah politik Indonesia di panggung internasional di tengah kecamuk situasi geopolitik di kawasan Asia, utamanya akibat ketegangan yang timbul antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Akankah Prabowo bisa menjadi seorang great leader seperti yang diklasifikasikan oleh Mahbubani?
Prabowo The Great?
Mahbubani memberikan beberapa contoh pemimpin di masa lampau yang menyingkirkan segala perbedaan untuk mencari solusi atas persoalan.
Saat Perang Dunia II misalnya, ada Winston Churchill dari Inggris yang “terpaksa” menyingkirkan segala ketidaksukaannya pada pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin dan bekerja sama dengannya untuk menghalau Adolf Hitler yang saat itu berambisi menundukkan seluruh daratan Eropa di bawah bendera Nazi.
Hal serupa juga terjadi ketika Presiden Richard Nixon dan Menteri Luar Negeri-nya Henry Kissinger pergi ke Tiongkok untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi Tiongkok, Mao Zedong dalam kerangka besar membendung pengaruh Uni Soviet dalam tajuk Perang Dingin yang kala itu tengah memanas.
Sosok- sosok tersebut, menurut Mahbubani telah menampilkan kualitas dari seorang great leader karena mengesampingkan segala perbedaan demi kepentingan yang lebih besar. Sementara, variabel lain yang spesifik digunakan untuk penilaian karakter great leader bisa dilihat dalam tulisan Mahbubani dan Klaus Schwab yang berjudul What Makes a Great Leader?
Dalam tulisannya tersebut, secara umum Schwab memberikan 5 variabel utama untuk menilai seseorang layak atau tidak menjadi great leader, yakni heart atau hati, brain atau otak, muscle atau otot, nerve atau keberanian dan soul alias jiwa.
Sedangkan Mahbubani membahasakannya secara lebih spesifik, yakni compassion alias kasih sayang, canniness atau kesopanan/kehati-hatian, courage alias keberanian, kemampuan mengidentifikasi talenta dan kemampuan memahami kompleksitas isu.
Dua pandangan tersebut, setidaknya sepakat dalam 4 faktor utama seseorang bisa dianggap great leader, yakni heart, brain, courage dan soul.
Memang dari keempat kriteria tersebut, masih ada perdebatan apakah jika hanya punya satu keunggulan dari 4 variabel tersebut, seorang pemimpin bisa dianggap sebagai great leader, atau haruskah ia mempunyai semua variabel-variabel tersebut.
Idealnya memang semua kriteria tersebut haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin besar yang sejati. Namun, memang pada banyak kasus ada pemimpin yang lebih unggul di satu aspek dibandingkan aspek yang lain.
Dengan variabel-variabel tersebut, tak sulit sebenarnya untuk menilai Prabowo Subianto. Dengan latar belakang kemiliteran yang dimilikinya serta kualitas-kualitas personal yang setidaknya tergambar dari persepsi publik dan pemberitaan media massa, Prabowo punya keempat variabel tersebut.
Courage tak diragukan lagi, berbekal latar militernya. Brain, tak diragukan juga. Kalau mendengar visi misinya saat bertarung di Pilpres 2019 lalu, serta sharing pemikiran-pemikirannya kala itu, Prabowo juga sangat kuat soal brain. Sementara soal heart dan soul mungkin bisa dilihat dari empati dan simpati yang ia tunjukkan kepada warga masyarakat yang ia jumpai secara langsung.
Sedangkan yang paling menentukan adalah bagaimana ia menyingkirkan perbedaan pandangan dan pertentangan yang terjadi sepanjang Pilpres 2019 dengan Pak Jokowi ketika ia menerima tawaran dari sang presiden untuk menjadi bagian dari kabinet dalam pemerintahan.
Jelas terlihat Prabowo memang menyingkirkan perbedaan-perbedaan yang ada demi mengupayakan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Memang ada argumentasi tentang konteks kekuasaan dan lobi-lobi politik di dalamnya. Namun, hal ini tak mengurangi bagaimana Prabowo tampil sebagai great leader dan menyatukan masyarakat yang terpecah akibat Pilpres 2019 yang berdarah-darah.
Kini, pertanyaannya adalah apakah Prabowo bisa mengarahkan kualitas great leader yang dimilikinya itu dalam konteks politik internasional?
Prabowo Mencari Musuh Yang Sama
Jika patokan yang digunakan adalah seperti yang dicontohkan oleh Mahbubani pada diri Churchill maupun Nixon, bukan hal yang aneh kalau Prabowo bisa menunjukkan hal yang sama. Persoalannya tinggal dalam konteks mencari musuh yang sama.
Pasalnya, Mahbubani menyebutkan bahwa kesamaan musuh akan menjadi kuncinya, seperti adagium yang berbunyi: “The enemy of my enemy is my friend”.
Dalam konteks perang dagang dan potensi terjadinya konflik terbuka di Laut China Selatan – yang mana menurut Mahbubani perang terbuka tak akan mungkin terjadi – Prabowo menunjukkan sikap politik yang imbang. Ia tak berupaya untuk menjadi bagian baik dari kubu AS maupun Tiongkok. Bahkan, Prabowo cenderung memainkan perimbangan kekuasaan dengan Russia sebagai faksi lain dalam hubungan dua arah tersebut.
Taktik ini menarik karena secara tradisional, Prabowo cenderung punya garis politik yang dekat dengan AS. Bahkan ada istilah “American fair-haired boy” yang seperti diklaim oleh Allan Nairn, digunakan oleh Prabowo untuk menggambarkan posisi dirinya di hadapan AS. Istilah tersebut memang menunjukkan favoritisme AS terhadap Prabowo.
Namun, favoritisme itu sangat hati-hati digunakan. Prabowo sepertinya sadar betul bahwa dengan masifnya kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan Tiongkok, tentu saja akan ada dampak yang besar yang akan dirasakan oleh Indonesia jika berpihak pada AS.
Yang jelas, publik akan bisa melihat bagaimana Prabowo mengambil arah politik internasional Indonesia. Tiongkok tetap jadi negara yang penting – demikian kerap dingkapkan Prabowo saat masa kampanye Pilpres 2019 – tetapi AS juga tak kalah penting. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.