Ketidakpastian ekonomi tentu akan memicu instabilitas politik, peluang oposisi untuk mengkritik pemerintah pun makin komplet.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]residen Jokowi tampaknya perlu dalih yang rasional untuk meyakinkan publik bahwa performa ekonomi sedang berjalan baik meski terdapat ketidakpastian akibat gejolak ekonomi global, terutama terkait trade-war yang berlangsung antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, sejauh ini, belum terlihat strategi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengantisipasi perang dagang tersebut. Padahal, di sisi lain, produk-produk Tiongkok mulai membanjiri pasar Indonesia.
Strategi kebijakan yang dimaksud adalah: bagaimana pemerintah melindungi pebisnis lokal dari serangan masif produk Tiongkok akibat perang dagang yang berlangsung?
Terus terang saja, hal ini tergolong dilematis. Apalagi jika melihat total nilai investasi Tiongkok sebesar 800 juta dolar AS untuk pengerjaan 501 unit proyek di Indonesia sejak 2014. Hal tersebut dapat mengindikasikan Indonesia tak dapat berbuat lebih terhadap penetrasi produk Tiongkok.
Tentu, Jokowi tak mungkin membatalkan program-program infrastruktur saat ini. Mengingat pembangunan infrastruktur adalah ambisi ekonomi Jokowi sekaligus merupakan kredibilitasnya politiknya. Tapi, konsekuensinya adalah kondisi ekonomi tetap berada dalam ketidakpastian (uncertainty).
Padahal, hubungan Indonesia-Tiongkok selama ini mengalami defisit, terutama untuk beberapa produk impor seperti bahan kimia organik, besi dan baja, plastik, pupuk, kendaraan dan bahan kimia anorganik. Ekonomi memang tidak stabil, tapi di sisi lain pemerintah juga tak bisa membendung ekspansi Tiongkok. Idealnya, pemerintah harus menahan program-program ambisiusnya untuk mengembalikan stabilitas ekonomi.
Hal itu misalnya, dikemukakan oleh Faisal Basri, bahwa untuk menjaga stabilitas ekonomi saat ini pemerintah harus mengurung niatnya untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Pasalnya, kenaikan dolar telah membuat pengeluaran impor bahan baku dan pembayaran tenaga kerja makin besar. Terutama, untuk proyek pembangunan jalur bawah tanah MRT.
Hal senada juga diungkapkan oleh Rizal Ramli bahwa pemerintah selalu mengatakan kondisi ekonomi sedang dalam keadaan baik, faktanya trade balance atau neraca perdagangan pada per Januari-Mei 2018 mengalami defisit 2,83 miliar dolar. Ini berarti, nilai impor membludak daripada nilai ekspor.
Pengamat ekonomi dari INDEF, Enny Sri Hartati, juga mengungkapkan keresahan serupa dalam tulisan “Di Balik Perang Dagang” seperti diberitakan Kompas (10/7) kemarin.
Menurut Enny, impor bahan baku dan modal memang meningkat, tapi di saat yang sama justu terjadi deindustrialisasi. Peningkatan impor barang modal yang masif tidak terserap di sektor industri, tetapi justru untuk memenuhi percepatan infrastruktur. Padahal, jika proyek infrastruktur disiapkan dengan perencanaan dan peta jalan yang matang, tentu akan memacu industrialisasi, sayangnya hal demikian tidak terjadi.
Anehnya, meski terjadi impor modal yang begitu masif, namun penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi sangat minim. Tercatat, serapan tenaga kerja pada tahun 2015 sebesar 7,72 juta jiwa atau sekitar 6,39 persen. Tahun 2016 sebesar 7,71 persen atau turun 0,01 jiwa, sementara pada 2017 sektor ini hanya menyerap 7,16 juta jiwa. Artinya dalam periode 2015-2017 tenaga kerja di sektor konstruksi menyusut 0,56 juta orang.
Mana janji ekonomi meroket P @jokowi ? https://t.co/mwEMlwRJ4C
— Fadli Zon (@fadlizon) July 8, 2018
Problem di atas belum ditambah dengan penguasan investasi modal Tiongkok di sektor e-commerce yang sudah sejak lama menjadi perbincangan. Data Google dan AT Kearney, misalnya, mengatakan selama periode tahun 2012 hingga Agustus 2017 menyebutkan nilai investasi Tiongkok kepada perusahaan start-up terus meningkat signifikan, yakni dari senilai US$ 44 juta menjadi US$ 3 miliar.
Beberapa perusahaan Tiongkok yang memberikan modal kepada perusahaan start up Indonesia adalah Alibaba Group, yang berinvestasi sebesar US$ 1,1 miliar kepada Tokopedia, Tencent yang menanamkan investasi ke Gojek senilai US$ 1,2 miliar, sementara, JD.com juga menyuntikan investasi sebesar US$ 500 juta kepada Traveloka, Expedia, East Venture, Hillhouse Capital Group dan Sequouia Capital.
Bahan Bakar Politik
Melihat problem di atas, terdapat kemungkinan bahwa kondisi ekonomi seperti ini dapat menjadi semacam pengajuan “mosi tidak percaya” oposisi terhadap pemerintah. Tentu, hal tersebut dapat terjadi bilamana isu-isu lain misalnya, politik identitas tidak lagi mendapatkan ruang dalam konstelasi politik 2019.
Dan, tampaknya demikian, apalagi jika benar pasangan Jokowi untuk Pilpres 2019 adalah Mahfud MD. Tentu, ruang politik identitas akan tertutup, mengingat koalisi yang terbentuk adalah mereka yang berasal dari spektrum politik nasionalis-religius.
Faktanya, kritikan berbau ekonomi tersebut telah dilakukan oleh Prabowo dengan mengkritik persoalan ekonomi di era pemerintahan Jokowi, salah satunya adalah utang negara yang mencapai Rp 9 triliun.
Mungkin Memang agenda rezim ini bikin Indonesia hancur disaat transisi dunia pak… kl liat Malaysia, kita cuma bisa ngiri… ????
Masa menteri ekonomi terbaik dunia, ekonomi Indonesia bisa sekarat dan balik utang keIMF??? ??? https://t.co/zHZYpTFj2k
— TempoyakBusuk (@jasbird1) June 23, 2018
Dalam konteks lain, Prabowo juga mengkritik sistem ekonomi noeliberal dengan merujuk pada pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Prabowo sistem neoliberal telah gagal mensejahterakan rakyat. Bahkan dia menilai Trickle Down Efect (efek menetes ke bawah) adalah konsep ekonomi yang salah kaprah karena menjadikan si kaya menjadi kaya. Tentu, ini adalah manuver-manuver politik ekonomi Prabowo untuk melibas habis kinerja pemerintahan Jokowi.
Memang, ini bukan kali pertama Prabowo mengkritik masalah ekonomi. Sejak Pilpres 2014 Prabowo telah melakukan hal serupa. Marcus Mietzner dalam “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy and Political Contestation in Indonesia” pernah bilang apa yang dilakukan Prabowo Subiato adalah mengikuti jejak populisme klasik, misalnya dengan menyerang perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia serta menggambarkan elit politik sebagai kroni dari parasit asing. Hal tersebut, dilakukan Prabowo untuk memposisikan diri depan publik sebagai tokoh anti–asing.
Hal tersebut jelas berbeda dengan citra Jokowi sebagaimana dijelaskan Lucky Djani dan Olle Tornquist dalam buku “Dilemmas of Populist Transaction: What are the prospects now for popular politics in Indonesia” bahwa praktik praktik populisme Jokowi lebih pada bagaimana memproyeksikan diri sebagai kalangan non-elit seperti praktik blusukan.
Tapi, hal mencengangkan jelang Pilpres 2019 adalah Prabowo semakin mendapatkan spare parts baru untuk dijadikan sebagai serangan-serangan politik. Hal tersebut didukung oleh nilai rupiah yang melorot, kenaikan harga minyak dunia dan perang dagang yang berimbas pada ekspansi produk-produk Tiongkok ke Indonesia.
Prabowo: Negara Kita Hidupnya dari Utang, Kalau Nggak Utang Nggak Gajian https://t.co/0n0FRCJqQm
— Citra (@CitraShanie) March 30, 2018
Tentu, jika pemerintah tidak cepat melakukan antisipasi terhadap perang dagang, dampaknya adalah publik akan semakin percaya jika Tiongkok memang memiliki kendali atas pemerintahan saat ini. Mengingat defisit perdagangan antara Tiongkok-Indonesia tak mampu diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi. Hal tersebut juga dibuktikan dengan pemberitaan media massa soal isu komunisme yang melekat pada Jokowi sejak 2017.
Survei Lembaga Monitor Indonesia, misalnya menempatkan Presiden Jokowi sebagai tokoh yang paling banyak diberitakan terkait calon presiden 2019, tapi sekaligus menjadi tokoh yang paling dekat dengan pemberitaan negatif, terutama terkait komunisme.
Hal di atas, tentu mengkonfirmasi jika peluang Prabowo untuk merebut hati rakyat semakin terbuka lebar. Bukan melalui isu-isu politik identitas, melainkan isu ekonomi, mengingat sejauh ini pemerintah belum mengeluarkan sebuah kebijakan populis untuk mengatasi dampak dari gejolak ekonomi global.
Secara politik, situasi saat ini telah merugikan Jokowi, terutama akibat gejolak ekonomi global. Tapi, hal terpenting adalah bagaimana sang Presiden mampu membalikan fakta bahwa kondisi ekonomi saat ini berada dalam kondisi baik. Dengan begitu, ia bisa mempersiapkan perisai dari hujaman kritik dari oposisi seperti Prabowo. (A34)