Site icon PinterPolitik.com

Goyang Kursi Nadiem, Cak Imin Menuju 2024?

Goyang Kursi Nadiem, Cak Imin Menuju 2024?

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Foto: Law and Justice)

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin tiba-tiba meminta Nadiem Makarim dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Cak Imin menilai kinerja Nadiem, terutama selama pandemi Covid-19 tidak memuaskan. Namun apa kira-kira manuver politik di balik pernyataan teranyar Cak Imin ini?


PinterPolitik.com

Medio tahun lalu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menjadi salah satu politikus yang pasang badan ketika banyak pihak mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merombak kabinet yang salah satu usulannya mencopot Nadiem Anwar Makarim dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). 

Cak Imin, sapaan akrabnya, ketika itu berpendapat bahwa Nadiem perlu diberi kesempatan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan di Kemendikbud. Ia juga memberikan wejangan kepada eks bos Gojek itu untuk turut melibatkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam kebijakan-kebijakan Kemendikbud. 

Bertolak belakang dari sikapnya kala itu, Cak Imin kini justru vokal mengkritik Nadiem. Baru-baru ini, Ia bahkan terang-terangan meminta agar Nadiem diberhentikan dari jabatannya di kabinet. 

Cak Imin mengakui bahwa dirinya merupakan salah satu pendukung Nadiem ketika Presiden Jokowi akan menunjuknya sebagai menteri. Ia berharap dengan pengalaman dan pengetahuannya di bidang teknologi, Nadiem dapat mengambil inisiasi langkah-langkah alternatif untuk mengatasi krisis darurat nasional pendidikan. 

Namun sayangnya, mantan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menilai hingga hari ini, tak ada yang bisa diharapkan dari sosok Mendikbud Nadiem. Ia pun menggunakan bahasa yang cukup keras dengan menyebut bahwa kehancuran pendidikan nasional nyata di depan mata. 

Cak Imin kemudian mengusulkan Presiden untuk mengganti Nadiem dengan salah satu kadernya, Syaiful Huda. Syaiful sendiri kini menjabat sebagai Ketua Komisi X DPR, mitra kerja Kemendikbud, yang juga kerap vokal mengkritik kebijakan-kebijakan Nadiem. 

Sejalan dengan sikap Ketua Umumnya, PKB juga mengutarakan hal serupa. Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid berpendapat misi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diusung Jokowi-Ma’ruf Amin bisa terhambat jika pos Mendikbud tidak segera dievaluasi. 

Jazilul menilai salah satu yang menghambat Nadiem untuk membuat terobosan adalah karena keterbatasan jejaring yang dimilikinya di sektor pendidikan. Ia pun menyarankan agar Nadiem diganti dengan kader NU atau Muhammadiyah, organisasi yang memang memiliki rekam jejak panjang di dunia pedagogi tersebut. 

Menyikapi manuver ini maka menjadi menarik untuk mempertanyakan apa kira-kira motif Cak Imin dan PKB ‘menggoyang’ kursi Nadiem? Apakah ini ada kaitannya dengan kontestasi Pilpres 2024 mendatang?

Cak Imin, Politikus Lihai   

Meski terkesan melakukannya demi partai, namun tak dapat dipungkiri jika Presiden Jokowi mengabulkan usulan tersebut, tentu hal ini bisa juga berkontribusi positif terhadap prospek Cak Imin untuk bertarung di Pilpres 2024. 

Apalagi, perlu diakui bahwa secara kuantitatif, PKB di masa kepemimpinan Cak Imin mendapatkan suara cukup signifikan, sehingga banyak kader internal yang merasa dirinya berjasa dalam meningkatkan posisi partai. Meski demikian, bertambahnya kekuatan Cak Imin di PKB juga boleh jadi tak hanya terkait dengan hasil Pemilu saja.

Dalam konteks tersebut, Cak Imin tergolong mampu untuk mengonsolidasikan kekuatan NU agar sebagian besar tertuju kepada PKB. Menurut Greg Fealy dalam tulisannya untuk New Mandala, ini adalah kali pertama NU memberikan dukungan secara terbuka kepada PKB.

Sebenarnya, kelihaian Cak Imin sebagai politikus sudah terbukti sebelum dirinya memimpin PKB. Cak Imin bahkan berhasil memenangkan tampuk kepemimpinan PKB setelah berseteru dengan kubu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga merupakan pendiri PKB, dan putrinya Yenny Wahid.  

Konflik keduanya diawali dengan pemecatan Cak Imin dari posisi Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB oleh Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua Dewan Syuro PKB. Yenny, yang saat itu ingin menjaga kehormatan ayahnya, menolak memberi pintu damai bagi Cak Imin. Alhasil aksi saling gugat dan klaim atas kepengurusan PKB pun tak dapat dihindari. 

Setelah dilantik menjadi Ketua Dewan Tanfidz PKB, Cak Imin pun melanjutkan manuvernya dengan memecat Yenny dari keanggotaan PKB. Alasannya, Cak Imin menilai Yenny sebagai dalang pemecatannya oleh Gus Dur.

Tak terima, Yenny pun melakukan perlawanan. Gugatan demi gugatan dilakukan Yenny untuk mengklaim kepengurusan PKB yang sah. 

Namun, setelah kubu Cak Imin dengan Sekretaris Jenderal Lukman Edy telah disahkan melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM, Yenny Wahid terpaksa angkat kaki dari PKB dan membuat Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB). Namun sayang, partai tersebut kandas karena dinyatakan tidak lolos verifikasi partai peserta Pemilu 2014.

Tak hanya dalam lingkup PKB dan NU, signifikansi kekuatan politik Cak Imin juga terbukti dari kemampuannya dalam memengaruhi siapa yang bakal duduk di kursi pemerintahan. Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai pendamping Jokowi di gelaran Pilpres 2019 lalu disebut-sebut juga terjadi karena ada campur tangan Cak Imin dan PKB. 

Tak berhenti sampai di situ, kemampuan politik Cak Imin kembali teruji ketika Presiden Jokowi mengumumkan reshuffle kabinet akhir tahun lalu. Terpilihnya Muhammad Lutfi yang disebut-sebut merupakan kader PKB membuat partai tersebut kini memiliki empat kursi menteri di pemerintahan. 

Dengan mempertimbangkan kelihaian dan kekuatan politiknya, bagaimana kemudian prospek Cak Imin di Pilpres 2024?

Tetap Perlu Waspada

Selain terkenal pandai bermanuver, Cak Imin juga merupakan politikus yang percaya diri dan tak segan-segan menunjukkan hasrat politiknya kepada publik. Ini misalnya terjadi pada Pilpres 2019 lalu di mana Cak Imin tak malu-malu mengampanyekan diri sebagai bakal calon wakil presiden Jokowi yang Ia singkat menjadi ‘Join’ atau Jokowi-Muhaimin. 

Meski pada akhirnya wacana tersebut tak terwujud, namun Cak Imin tak hengkang dari barisan pendukung Jokowi. Ia justru terus mempertahankan posisi PKB di gerbong pemerintahan meski klaim dirinya sebagai bakal cawapres Jokowi tak begitu dihiraukan rekan-rekan koalisinya. 

Meski kerap diabaikan, namun nyatanya dalam politik, konteks sikap kepercayaan diri yang ditunjukkan Cak Imin nyatanya punya signifikansi tersendiri. 

Sima Kundu dalam tulisannya yang berjudul Self-Esteem as a Personality Correlate of Political Participation menyebut bahwa kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk memenangkan dukungan menentukan tingkat partisipasi politik. Sebaliknya, kurangnya kepercayaan diri tersebut justru dapat menghambat kinerja politik.

Kundu menilai hal ini terjadi lantaran politik merupakan sesuatu yang sangat kompetitif. Partisipasi dalam politik menimbulkan risiko psikologis yang besar untuk gagal, atau diabaikan. Oleh karena itu, hanya mereka yang memiliki kepercayaan diri yang cukup yang dapat menghadapi risiko psikologis tersebut.

Mempertimbangkan kelihaiannya dalam berpolitik, serta kepercayaan dirinya, maka tak dapat dipungkiri Cak Imin bisa saja menjadi kuda hitam di ajang gelaran Pilpres mendatang. Ditambah adanya dukungan dari NU, organisasi Islam terbesar yang juga memiliki pengaruh politik cukup signifikan membuat prospek politik Cak Imin tak bisa diremehkan begitu saja.   

Kendati begitu, Cak Imin sepertinya tetap harus waspada untuk tak melakukan langkah-langkah yang berpotensi menjadi blunder politik. Sebab, dengan ditolaknya ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, bisa dipastikan PKB tetap membutuhkan dukungan dari partai-partai lain untuk dapat mencalonkan dirinya di Pilpres 2024 nanti. 

Dan Slater dalam tulisannya yang berjudul Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition pernah mengatakan bahwa pembagian kekuasaan dengan praktik pembentukan koalisi yang sangat fleksibel seperti yang terjadi di Indonesia berpotensi membuat koalisi tersebut rapuh. Begitu koalisi terbentuk, partai-partai di dalamnya dapat saling meremehkan, mengkhianati, dan saling tuduh.

Mengincar kursi Nadiem untuk kadernya sendiri agaknya merupakan langkah yang kurang bijaksana. Sebab PKB sendiri sejauh ini telah mengantongi empat kursi menteri. Jika Presiden Jokowi mengabulkan hal tersebut, tentu hal ini berpotensi menimbulkan kecemburuan yang bisa saja menyusahkan posisi politik Cak Imin dan PKB ke depannya. Partai besar seperti PDIP, Nasdem, dan Golkar tentunya tidak akan berdiam diri. 

Kendati demikian, yang dapat menjelaskan maksud sebenarnya dari manuver Cak Imin dan PKB menggoyang kursi Mendikbud Nadiem Makarim hanyalah pihak terkait sendiri.  Namun yang jelas, manuver politik apapun yang dilakukan partai politik saat ini pastinya akan memiliki konsekuensi terhadap perubahan peta politik ke depannya, termasuk agenda politik elektoral di 2024. Menarik untuk disimak kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version