Merger Gojek dan Tokopedia baru saja melahirkan sebuah tech giant bernama GoTo. Dalam ekosistem demokratis, tech giant sendiri disebut kerap membaur dalam dinamika politik dan pemerintahan. Lalu, mungkinkah GoTo memainkan peran dalam kontestasi elektoral di tahun 2024?
Sebuah tangkapan layar yang cukup menggelitik baru-baru ini menjadi ramai diperbincangkan di lini masa media sosial. “Tokek”, ditampilkan menjadi nama akronim kedua terfavorit yang diinginkan berdasarkan survei atas terwujudnya merger dua tech company atau perusahaan teknologi, Gojek dan Tokopedia.
Namun, “GoTo”-lah yang pada akhirnya secara resmi menjadi nama pemersatu dua perusahaan raksasa paling familiar di tanah air tersebut.
Grup GoTo sendiri akan dipimpin oleh Andre Soelistyo dari Gojek sebagai Chief Executive Officer (CEO), dan Patrick Cao dari Tokopedia sebagai Presiden GoTo. Hadir dengan menawarkan kombinasi layanan e-commerce, pengiriman barang dan makanan, transportasi serta keuangan, sang CEO mengatakan bahwa Grup GoTo akan menciptakan platform konsumen digital terbesar serta melayani sebagian besar kebutuhan konsumsi rumah tangga di tanah air.
Mergernya Gojek dan Tokopedia juga diwartakan beberapa media mancanegara. Reuters misalnya, yang menyebut GoTo merupakan representasi sebuah tech giant dengan nilai kesepakatan terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Jokowi Menuju Gelembung Startup?
Analis lembaga keuangan dan investasi yang berbasis di Amerika Serikat (AS), JP Morgan, bahkan menyebut dengan valuasi fantastis dan pasar yang besar, persaingan SuperApp raksasa akan semakin meningkat. Utamanya dalam berkompetisi dengan SEA Group lewat e-commerce Shopee dan Grab, demi memenangkan pangsa pasar Indonesia dengan tren ekonomi digital berbasis mobile yang terus mengalami perkembangan.
Meskipun sempat dipertanyakan apakah gegap gempita merger GoTo hanya euforia sesaat, namun tetap saja, embusan ekspektasi positif dan optimisme tak terbendung. Tendensi itu setidaknya datang dari para elite di level eksekutif di Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang turut menyambut positif kehadiran GoTo memberikan ucapan selamat dan apresiasinya.
Mulai dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, hingga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengutarakan narasi positifnya atas lahirnya GoTo.
“Sang mantan” bos Gojek yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, juga tak ketinggalan. Nadiem bahkan menyebut GoTo dapat memberi semangat bagi semua orang Indonesia bahwa bangsa kita bisa melahirkan gagasan baru yang mendobrak dunia.
Spesifik bagi Nadiem, eksistensinya sebagai teknokrat di pemerintahan yang berasal dari tech company sendiri sesungguhnya cukup menarik. Daya tawar aktor dalam tech company maupun perusahaan itu sendiri di hadapan konstelasi politik, lantas dianggap memiliki signifikansi khusus, termasuk dalam proses persaingan elektoral. Lalu, benarkah demikian?
Nadiem-Jokowi, Perintis Simbiosis?
Agaknya sukar dipungkiri bahwa keterkaitan antara eksistensi perusahaan berbasis teknologi kerap bersinggungan dengan bagaimana kebijakan serta kepentingan sebuah pemerintahan dalam mengembangkan sektor perekonomian negara secara umum.
Tak jarang, bahkan hingga terjadi hubungan timbal balik lebih jauh dalam sebuah kontestasi elektoral, tak terkecuali di Indonesia.
Dalam How Jokowi Became Indonesia’s Accidental Tech Star,Tim Culpan menyematkan predikat tech star kepada Presiden Jokowi, saat beliau muncul dengan ambisi teknologi yang cukup nyata.
Pasca terpilih di periode pertamanya sebagai Kepala Negara, eks Gubernur DKI Jakarta itu disebut datang dengan ambisi teknologi yang berfokus pada bagaimana menarik manufaktur-manufaktur terkait. Tujuannya, sebagai diversifikasi ekonomi dari ketergantungan pada pertambangan dan energi.
Bersamaan dengan itu, muncul perusahaan teknologi lokal seperti Gojek, Traveloka, Tokopedia, hingga Bukalapak yang berkembang pesat. Total nilai ekonomi digital yang dihasilkannya pun melesat dari US$ 8 miliar pada tahun 2015, lalu tumbuh menjadi $ 40 miliar di tahun 2019. Ihwal yang secara tidak sengaja dan secara tidak langsung mengangkat Jokowi sebagai sosok tech star tadi.
Baca Juga: Saatnya PDIP Tiru Gojek?
Korelasi riil antara tech company dengan politik dan pemerintahan ialah ketika CEO Gojek saat itu, Nadiem Makarim, secara terbuka memberikan dukungan kepada Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu. Yang mana hal ini juga diamati oleh Shotaro Tani dalam kolom tulisannya di Nikkei dan terlihat dari interaksi Nadiem dan Jokowi selama masa kampanye.
Bagi Nadiem, dikatakan bahwa dengan mendukung pemerintahan sosok petahana seperti Presiden Jokowi adalah risiko yang sudah diperhitungkan. Karena bagaimanapun, komunitas bisnis sering kali ragu-ragu untuk terjun terlebih dahulu ke dalam politik, dengan logika bahwa jika ada yang tidak berjalan semestinya, hal itu dapat merugikan perusahaan mereka.
Seperti halnya yang terjadi pada CEO AirAsia, Tony Fernandes, yang secara terbuka meminta maaf karena mendukung Najib Razak saat pemilu Malaysia di tahun 2018 – di mana saham AirAsia anjlok setelah rival Najib, yakni Mahathir Mohamad memenangkan kontestasi.
Namun yang dialami Tony Fernandes tak dirasakan oleh Nadiem. Risiko terbayar ketika Jokowi kembali terpilih sebagai RI-1, plus Ia pun masuk ke dalam Kabinet dan bahkan terus dipertahankan bahkan ketika terjadi beberapa gejolak yang menggoyang kursi Nadiem sebagai menteri.
Realita itu tampaknya membuktikan bahwa daya tawar di balik tech company di dalam politik dan pemerintahan di Indonesia memiliki porsi, pengaruh, dan dimensinya tersendiri.
Kini, hadirnya GoTo sebagai euforia dan optimisme baru dalam perkembangan tech company di Indonesia, kiranya juga menyingkap probabilitas tersendiri mengenai hubungan serta implikasi seperti apakah yang mungkin eksis dalam kontestasi elektoral di tahun 2024 mendatang. Terlebih ketika berbicara siapa pewaris Jokowi sebagai representasi tech star.
Airlangga Hartarto Terdepan?
Sokongan tech company dalam sebuah pemilihan umum di negara demokratis kian waktu semakin terlihat nyata dan tak lagi “bersembunyi di balik layar” dalam beberapa kesempatan.
Tommaso Crescioli dalam Tech Giants and Competition: A Political Economy Perspective mengatakan bahwa ada kriteria ekonomi yang bersifat murni dan yang bersifat politis dalam relasi antara kongsi politik, pemerintah, dan para tech company maupun tech giant.
Secara ekonomi, Chicago tradition kerap menjadi basis dalam relasi antara politik dan tech company, yakni tidak melihat konsentrasi industri – dalam hal ini dinamika apapun di dalam perkembangan tech company – sebagai sebuah masalah, selama kepentingan konsumen tidak dirugikan.
Berdasarkan tradisi itu, intervensi pembuat kebijakan akan otomatis tegak lurus dengan kepentingan bisnis para tech company. Kecenderungan ini sendiri jamak terjadi di AS yang juga disoroti Crescioli mengenai korelasi antara pemerintah AS dengan perkembangan 5 besar tech companies yakni Alphabet, Amazon, Apple, Facebook and Microsoft.
Di luar kriteria ekonomi murni, operasi perusahaan teknologi raksasa juga bersifat politis. Dalam hal ini, Crescioli mengutip Charles E. Lindblom dalam Politics and Markets yang menyebut bahwa entah mengapa perusahaan swasta besar cocok dengan teori demokrasi. Konteks “lobi” antar-keduanya mencerminkan kecocokan itu, sekaligus menjadi gambaran atas dimensi tambahan dari hubungan simbiosis yang ada.
Secara konkret, dinamika ekonomi-politik plus lobi itu muncul saat Amazon dan beberapa tech company menyokong Biden dalam Pilpres AS 2020 lalu, yang selain berupa sokongan dana, juga berupa koneksi.
Lantas, ketika berbicara konteks Pilpres Indonesia di tahun 2024 dan GoTo, kemanakah arah hubungan itu kiranya akan bermuara?
Baca Juga: Misteri Erick Thohir dan Gojek
Pada konteks Indonesia, simbolisasi yang sukses ditapaki Nadiem tak serta merta membuat seorang CEO-lah yang nantinya akan melulu memainkan peran. Lebih dalam lagi, pihak-pihak di belakang sebuah tech company-lah yang kiranya akan mendefinisikan arah politik, khususnya ketika berbicara konteks kemungkinan arah yang dituju GoTo.
Menurut analisa JP Morgan, perusahaan telekomunikasi asal Jepang, Softbank dan perusahaan teknologi multinasional asal Tiongkok, Alibaba, dinilai akan muncul sebagai pemegang saham atau investor terbesar GoTo setelah merger.
Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam Foreign Interference in Domestic Politics menjelaskan bahwa campur tangan asing, tak terkecuali aktor seperti para investor di bidang teknologi, dapat memengaruhi atau berbaur dalam dinamika politik domestik.
Di titik ini, jika menariknya ke kandidat dalam bursa Pilpres 2024 yang tampaknya paling mendekati untuk “bersinergi” dengan keduanya, tak lain dan tak bukan ialah Airlangga Hartarto.
Selain mengacu pada riwayat tupoksinya sebagai eks Menteri Perindustrian dan Menko Perekonomian saat ini yang erat mengurusi ranah para tech company, afiliasi personal Airlangga dengan entitas bisnis asal Jepang dan Tiongkok juga disebut-sebut terbalut dalam atmosfer yang positif.
Tinggal pertanyaannya apakah Airlangga akan mengartikulasikan kerangka relasi itu menjadi sebuah modal tambahan yang cukup vital untuk membuka jalannya sebagai Capres 2024, plus suksesor Presiden Jokowi sebagai sosok tech star? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca Juga: Di Balik Merger Gojek-Tokopedia
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.