Site icon PinterPolitik.com

GoTo Bisa Kendalikan Pemilu 2024?

GoTo Bisa Kendalikan Pemilu 2024?

Komisaris Utama GoTo, Boy Thohir (Foto: Investor Daily)

Sebagai perusahaan yang memegang banyak informasi masyarakat, GoTo berpotensi menjadi sebuah alat politik yang kuat untuk Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Apa saja yang perlu kita waspadai dari perusahaan decacorn ini?


PinterPolitik.com

Ketika Amerika Serikat (AS) melaksanakan Pemilihan Umum (pemilu) 2016, Cambridge Analytica, sebuah lembaga konsultan politik asal Inggris, disebut menggunakan data dari sekitar 87 juta pengguna Facebook untuk memberikan bantuan analitis kampanye calon presiden (capres) 2016, Ted Cruz dan Donald Trump.

Kasus tersebut menjadi sentilan pada dunia bahwa ternyata data yang dihimpun para perusahaan teknologi besar (big tech) seperti Meta, Google, dan Twitter sangat bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik. Yang mengerikannya, kita tidak akan pernah sadar seberapa sering data digital kita digunakan tanpa munculnya kasus semacam Cambridge Analytica ini.

Ya, perkembangan teknologi canggih yang digunakan big tech kini telah menjadi salah satu senjata dalam politik. Tidak heran bila kemudian tingkat ketidak percayaan penduduk AS pada Meta mencapai angka 72 persen, menurut survei Washington Post-Schar School pada tahun 2021. 

Sebagian besar dari warga AS yang disurvei berkeyakinan bahwa Meta akan melakukan berbagai hal yang melanggar privasi penggunanya, seperti menjual data pada lembagai survei, dan semacamnya.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Well, meski kita tidak pernah memiliki kasus besar semacam skandal Cambridge Analytica, ada satu big tech yang sepatutnya saat ini kita waspadai, yakni hasil merger antara Gojek dan Tokopedia: GoTo.

Seperti yang diketahui, GoTo saat ini telah menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dengan valuasi lebih dari US$ 18 miliar (Rp 256 triliun), GoTo dinobatkan sebagai satu-satunya decacorn di Indonesia, yakni perusahaan startup yang memiliki kekayaan lebih dari US$ 10 miliar (Rp 149 triliun). Pencapaian yang luar biasa ini salah satunya berhasil dicapai dengan kemampuan GoTo berkiprah di dunia digital.

Lantas, mungkinkah GoTo -sebagai sesama big tech- juga akan bernasib sama seperti Meta, yaitu digunakan sebagai senjata politik, khususnya dalam menyambut Pemilu 2024 nanti? Apa saja yang perlu kita waspadai dari GoTo?

GoTo Akan Sangat Berbahaya?

Ada sebuah tulisan menarik yang ditulis oleh Rodrigo Fernandez, pengamat dari The Centre for Research on Multinational Corporations (SOMO), yang berjudul How Big Tech is becoming the Government. Di dalamnya, Rodrigo berargumen bahwa sesuai perkembangannya, para big tech kini mulai memiliki kekuatan lebih besar dibanding pemerintah, khususnya di negara-negara berkembang.

Big tech bisa naik pesat umumnya terjadi karena mereka merupakan pelopor atau pemain kuat dari suatu ekosistem digital baru. Meta, misalnya, memegang aspek media sosial, lalu Google memegang platform search engine. Kemudian GoTo, mereka adalah platform e-commerce di Indonesia yang paling sukses.

Dominasi ini membuat para big tech tersebut mengetahui sekaligus memegang kendali penuh atas hampir segala aktivitas yang terjadi di platformnya, yang kemudian diperkuat dengan bank data yang sering kita sebut sebagai big data

Kalau kita berkaca pada kasus Cambridge Analytics tadi, big data yang dimiliki Facebook digunakan untuk melihat preferensi masyarakat AS, apakah mereka suka topik tentang kesetaraan gender, atau yang lainnya. Lalu, bagaimana big data yang dimiliki GoTo? 

Nadiem Makarim, co-founder Gojek yang sekarang jadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) pernah mengungkapkan bahwa mayoritas pendapatan Gojek didapatkan dari layanan pengiriman makanan GoFood dan transaksi pembayaran GoPay. 

Ini terdiri dari total 190 juta kali unduhan yang dilakukan para pengguna Gojek. Meski tidak pasti ada berapa orang di balik unduhan tersebut, bahkan jika hanya setengahnya, itu tetap adalah angka yang luar biasa.

Dan dari GoFood, Crystal Widjaja, Senior Vice President Business Intelligence Go-Jek, mengatakan perusahaannya bisa mengetahui kebiasaan penggunanya. Segala interaksi, mulai dari tombol yang paling sering ditekan, bagaimana alur yang dilakukan pengguna untuk menyelesaikan pesanan, hingga restoran dan jenis makanan favorit para penggunanya, bisa diketahui dengan big data yang dimiliki GoFood. Umumnya, hal seperti ini ini disebut sebagai micro trend.

Bagaimana ini kemudian dikonversi menjadi kekuatan politik? Well, jawabannya cukup sederhana. Dengan mendapatkan akses ke kekuatan big data GoTo, para politisi bisa mengetahui strategi kampanye seperti apa yang kira-kira akan disukai oleh masyarakat secara spesifik per daerah. 

Terlebih lagi, kalau kita nalarkan lebih dalam, big data GoFood sebenarnya juga tidak hanya menyimpan informasi tentang preferensi makanan penduduk saja, tapi melalui transaksi yang terjadi, mereka juga bisa tahu tentang status ekonomi masyarakat (melalui harga makanan yang paling sering dipesan dan penggunaan diskon, misalnya) dan pada jam berapa saja biasanya para pengguna aktif menggunakan aplikasinya, maupun internet.

Ini semua bisa dimanfaatkan oleh politisi tidak hanya untuk mengetahui preferensi masyarakat, tetapi juga membentuk preferensi politik itu sendiri, karena dengan big data, masyarakat yang tinggal di daerah tertentu bisa hanya akan diekspos informasi yang memang sesuai dengan keinginannya. 

Dengan membaurkan dirinya dengan beberapa iklan yang menawarkan produk yang digemari, para politisi bisa dengan mudah mengarahkan pandangan politik masyarakat. 

Menariknya, kekuatan big data yang kita sebutkan tadi bisa didapat GoTo tanpa memasukkan variabel data penduduk. Seperti yang diketahui, dalam aplikasinya, Gojek kini juga memiliki data KTP, dan mereka juga menghubungkan aplikasinya dengan berbagai layanan publik, seperti PeduliLindungi dan bahkan berbagai pembayaran tagihan rumah, seperti listrik dan air. Karena itu, bisa kita bayangkan seberapa besar data masyarakat yang sesungguhnya ditimbun GoTo.

Layaknya cherry on top atau pemanis kekhawatiran, GoTo pun sekarang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki koneksi ke politik dan pemerintahan.

Komisaris Utama (Komut) GoTo tidak lain adalah kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (Menteri BUMN), Erick Thohir, yakni Garibaldi Thohir atau Boy Thohir. Kemudian, ada juga komisaris Wishnutama Kusubandio, yang sempat menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (Menparekraf). Kita pun tidak bisa lupakan Nadiem Makarim.

Karena itu, bukan tidak mungkin bila salah satu koneksi politik dari orang-orang besar ini akhirnya mendekati mereka untuk kemudian menggunakan kekuatan yang dimiliki GoTo untuk keperluan Pemilu 2024.

Tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka. Namun, kira-kira seberapa besar kemungkinannya GoTo akan digunakan untuk Pemilu 2024?

Siap Hadapi Era Tech-Dystopia?

Ada sebuah cerita menarik dari Filipina pada tahun 2019. Kalau itu, ketika melaksanakan pemilu, dikabarkan bahwa ada sekelompok driver Grab yang menempelkan salah satu poster kandidat calon anggota legislatif di jalanan. 

Meski pihak Grab membantah keterlibatan pihaknya, kasus ini menggambarkan seberapa kuatnya potensi penggunaan politik oleh para big tech.

Driver yang aktif setiap hari di jalanan umumnya memiliki komunitas sendiri per wilayah bekerjanya. Dan di komunitas-komunitas itu beberapa kali obrolan tentang politik terselip dalam salah satu bahan pembicaraan. Kalau saja ada salah satu driver yang pandangan politiknya berhasil dibentuk oleh GoTo, maka ia akan jadi “kekuatan darat” untuk berkampanye, secara tidak sadar.

Ya, kekuatan tersembunyi dari big data sebenarnya adalah menciptakan preferensi politik di masyarakat tanpa mereka mengetahui bahwa mereka telah menjadi korban agenda para big tech.

Dalam kalangan pengamat digital, fenomena ini umumnya disebut sebagai tech-dystopia, yakni suatu masa di mana teknologi digital mampu ciptakan disrupsi masif dalam masyarakat tanpa mereka sadari. 

Jonathan Zittrain, profesor hukum sekaligus ilmu komputer di Universitas Harvard dalam artikel wawancara Are We Already Living in a Tech Dystopia?, mengatakan bahwa perkembangan teknologi yang seharusnya memperkuat dan memperbaiki kesalahan umat manusia kini telah bertransformasi menjadi senjata yang digunakan untuk menundukkan kita.

Zittrain mencontohkan penggunaan teknologi untuk kekuasaan layaknya penggunaan asbestos, sebuah kandungan berbahaya yang ternyata sering digunakan dalam berbagai produk medis, bahkan untuk bedak bayi. 

Nah, tidak jauh berbeda dengan penggunaan asbestos, teknologi yang disisipkan kepentingan politik juga akan sangat merusak tatanan kebebasan masyarakat dengan cara yang sangat sadis, yakni tidak membuat mereka tahu bahwa mereka saat ini telah jadi korban pembelokkan narasi. Karena itu, Zittrain mengatakan perkembangan teknologi di masa depan akan sangat dirusak oleh penyalahgunaan jangka pendek, seperti untuk pemilu.

Dan yang lebih menyeramkannya, meski kita tahu bahwa teknologi seperti big data yang dimiliki GoTo rentan digunakan untuk kepentingan politik, kita tidak punya pilihan lain selain untuk melanjutkan penggunaan layanan mereka. Inilah yang membuat teknologi canggih disebut sebagai bibit dystopia, keadaan yang begitu kelam, di mana ketika orang sadar pun, mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Pada akhirnya, kita bisa simpulkan bahwa dalam menyambut Pemilu 2024, big tech seperti GoTo kemungkinan besar akan didekati oleh para politisi. Kekuatannya yang begitu besar hampir mustahil diabaikan begitu saja oleh mereka yang berpikiran oportunis dan eksploitatif. (D74)

Exit mobile version