Site icon PinterPolitik.com

Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?

Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?

Co-founder Facebook, Mark Zuckerberg (Foto: Investopedia)

Ancaman demokrasi tentu disebut datang dari kebangkitan otoritarianisme. Namun baru-baru ini, komentar mengejutkan datang dari ilmuwan politik AS, Francis Fukuyama. Cukup mengejutkan, Fukuyama menyebut tantangan demokrasi saat ini justru datang dari digital platform seperti Google, Facebook, dan Twitter. Lantas, bagaimana itu mungkin?


PinterPolitik.com

Right now, if you look at your YouTube feed, you’re given a bunch of videos by some AI program based on your prior clicks, and likes, and so forth, but you actually have no idea how that program is making those decisions.” – Francis Fukuyama, ilmuwan politik AS

Siapa yang tidak mengenal Google, Facebook, ataupun Twitter? Ketiga digital platform tersebut telah menjadi bagian dari hidup kita yang mungkin tidak terlepaskan. Dengan Google, kita dapat mencari apapun. Akses informasi menjadi begitu mudah.

Google juga memiliki YouTube yang memberikan kita tontonan menghibur, edukatif, dan yang terpenting dapat menghasilkan uang. Pun begitu dengan Facebook dan Twitter, kedua media sosial tersebut telah menjelma menjadi cara yang begitu efisien untuk bertukar dan mendapatkan informasi.

Dahulunya, mungkin peradaban manusia tidak pernah membayangkan akses informasi menjadi semudah ini. Terdapat sekat-sekat geografi yang menghambat komunikasi. Namun kini, semuanya terjadi secara real time.

Jika dulunya terdapat peribahasa yang berbunyi buku adalah jendela dunia. Namun sekarang, peribahasa tersebut tampaknya harus revisi menjadi digital platform adalah jendela dunia.

Dan yang terpenting, digital platform telah memungkinkan semua elemen masyarakat untuk dapat menyalurkan pendapatnya. Itu jelas merupakan berita yang sangat baik untuk kemajuan demokrasi. Seperti yang diketahui, sebelumnya penyaluran pendapat adalah masalah sukar.

Akan tetapi, pernyataan mengejutkan justru dikeluarkan oleh ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama. Dalam wawancaranya bersama ProMarket, Fukuyama menyebut digital platform seperti Google, Facebook, dan Twitter justru yang kini menjadi ancaman bagi demokrasi.

Baca Juga: Jokowi Terjebak Post-Fact UU Ciptaker?

Lantas, mengapa Fukuyama menyimpulkan demikian? Bukankah itu bertolak belakang dari manfaat yang tercipta dari digital platform?

Dampak Digital platform

Dalam wawancara tersebut, Fukuyama memberikan penekanan menarik tentang dampak dari monopoli yang dilakukan oleh digital platform. Berbeda dengan sangkaan selama ini bahwa digital platform memberikan kita kebebasan lebih karena mampu mengungkapkan pendapat dengan bebas, serta dapat mengakses informasi dengan mudah, dosen senior Stanford University tersebut justru menyebut digital platform telah membatasi kebebasan kita dalam memilih informasi.

Fukuyama menekankan pada penggunaan program artificial intelligence (AI) yang digunakan. Program AI tersebut bekerja sedemikian rupa sehingga mampu memberikan rekomendasi informasi, video, tulisan, dan gambar. Masalahnya adalah, di hadapan program tersebut kita seolah tidak berdaya karena progam AI yang menentukan urutan informasinya.

Seperti yang jamak diketahui, urutan tersebut berdasarkan likesubscribecomment, dan seberapa banyak keterlibatan dalam suatu konten. Dengan kata lain, kita seolah “dipaksa” untuk terlibat dalam pergunjingan orang lain.

Konteks tersebut yang membuat mengapa media sosial dapat menjadi alat politik yang mumpuni untuk menggiring opini. Karena tagar dan trending dapat dimanipulasi alias tidak organik, kita dapat dipaksa untuk memiliki concern terhadap isu tertentu.

Ketika membuka Twitter, misalnya, kita akan melihat trending apa yang terjadi dan tertarik untuk mencari tahu dan terlibat, atau setidaknya sekadar mengekliknya. Pun begitu di media sosial lainnya.

Dalam laporan berjudul Report of the Working Group on Platform Scale, Fukuyama dan rekan-rekannya telah merinci detail ancaman digital platform bagi demokrasi. Wawancara bersama ProMarket juga bertolak dari laporan tersebut.

Di sana, Fukuyama tidak hanya menyebut Google, Facebook, dan Twitter, melainkan juga menambahkan Amazon dan Apple. Setidaknya terdapat dua kerugian yang diakibatkan, yakni kerugian sosial dan kerugian politik.

Kerugian sosial terkait hilangnya privasi, monopoli data dan pasar ekonomi. Sementara kerugian politik, seperti yang disinggung sebelumnya, digital platform dapat menjadi alat politik untuk mengarahkan masyarakat pada isu atau pilihan politik tertentu. Ini adalah masalah fundamental yang dilihat Fukuyama dalam digital platform.

Setelah memahami konteks monopoli informasi, kita dapat memahami mengapa Fukuyama menyebut digital platform berbahaya bagi demokrasi. Dalam bukunya The End of History and the Last Man, Fukuyama menjelaskan persoalan penting tentang adanya hasrat manusia untuk diakui.

Baca Juga: Konsekuensi Demokrasi, Jerinx Harus Dibebaskan?

Nah, berbeda dengan sistem politik otoriter yang meredam hasrat fundamental tersebut, demokrasi liberal dilihat Fukuyama sebagai sistem politik yang memungkinkan hasrat tersebut tersalurkan. Dengan kata lain, jika digital platform memiliki kekuasaan (power) untuk memonopoli informasi, lantas apa bedanya dengan politik otoriter?

Di Indonesia, fenomena monopoli informasi dan kontrol isu politik terlihat jelas terjadi. Contoh yang kita temukan sehari-hari adalah perang tagar. Ketiga adanya pemberitaan tentang dampak negatif perkebunan sawit pada September 2019 misalnya, tiba-tiba #SawitBaik trending di Twitter. Belakangan diketahui, itu ternyata adalah kampanye Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Jika digital platform telah memonopoli informasi, bahkan sampai pada titik isu politik apa yang harus dibahas, apakah terdapat jalan keluar dari masalah tersebut?

Apa Solusinya?

Menurut Fukuyama ada. Setidaknya ada dua jawaban yang diberikan. Pertama, pada monopoli pasar, Fukuyama mempromosikan antitrust atau hukum kompetisi. Hukum kompetisi bertujuan untuk menghentikan penyalahgunaan kekuatan pasar oleh perusahaan-perusahaan besar dan, terkadang, untuk mencegah merger dan akuisisi perusahaan yang akan menciptakan atau memperkuat monopoli.

Seperti yang diketahui, pengumpulan data oleh digital platform bertujuan sebagai upaya pemetaan pasar. Dengan gudang data tersebut kita mengetahui jumlah konsumen, preferensi konsumen, hingga apa yang tengah dicari oleh konsumen.

Masalahnya adalah, hanya perusahaan besar yang mampu memiliki akses terhadap gudang data tersebut. Ini membuat perusahaan kecil tidak memiliki kesempatan untuk bersaing.

Mengacu pada Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, terdapat tiga prinsip yang membuat invisible hand bekerja dalam pasar bebas – terciptanya pasar sempurna.

(1) Freedom atau kebebasan, yakni setiap individu harus memiliki hak untuk memproduksi dan bertukar. (2) Competition atau kompetisi, yakni setiap individu harus memiliki hak yang sama untuk dapat bersaing. (3) Justice atau keadilan, yakni setiap tindakan individu dalam pasar harus adil dan jujur. 

Baca Juga: Ada Market Justice di UU Ciptaker?

Tanpa adanya hukum kompetisi, pasar sempurna yang dibayangkan Adam Smith tidak akan pernah menemui aktualisasinya. Alhasil, kapitalisme justru memperdalam jurang ketidaksetaraan sosial. itu tentu paradoks, karena kapitalisme dimaksudkan Smith sebagai jawaban atas masalah tersebut.

Kedua, Fukuyama mempromosikan Middleware. Middleware adalah perangkat lunak yang memungkinkan pengguna memilih informasi sesuai preferensinya tanpa adanya pengarahan preferensi dari pihak tertentu. Setidaknya mengurangi dominasi informasi.

Kendati bukan merupakan jawaban ultima, Middleware adalah alternatif yang pantas dipromosikan karena memungkinkan diversitas informasi menjadi lebih beragam. Seperti yang disinggung sebelumnya, monopoli digital platform telah membuat diversitas pilihan menjadi terbatas karena adanya pengarahan terhadap informasi tertentu.

Lantas, apakah kedua jawaban tersebut telah ada di Indonesia?

Sentot Imam Wahjono dan Anna Marina dalam tulisannya Kebijakan Anti Monopoli dalam Perekonomian Indonesia menyebutkan kebijakan anti monopoli telah diundangkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999. UU tersebut memiliki nafas yang sama dengan Amandemen UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi.

Namun yang menjadi persoalan adalah, bagaimana UU tersebut teraktualisasi di tengah masyarakat. Wahjono dan Marina melihat tantangannya tertelak pada kepekaan dan kesadaran masyarakat yang belum sampai pada titik untuk mencegah praktik monopoli secara kolektif.

Sementara pada persoalan Middleware, khususnya pada konteks penggunaannya untuk mencegah monopoli informasi, sepertinya masih samar terlihat. Indikasinya terlihat dari belum disahkannya Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi, hingga pada respons “pasif” Kominfo pada kasus bobolnya data konsumen di berbagai digital platform. (R53)

Exit mobile version