HomeNalar PolitikGolkar Terperangkap Setnov?

Golkar Terperangkap Setnov?

Di balik gembar – gembor pembentukan tim elektabilitas partai, ada kubu-kubu dan jurus silat yang lebih penting ditelusuri di dalam Partai Golkar.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]Y[/dropcap]orrys Raweyai mengumumkan Golkar akan membentuk tim elektablitas partai. Tim ini nantinya akan bekerja untuk menyisir penyebab menurunnya elektabilitas partai beringin itu.

Golkar dan elektabilitas memang memiliki hubungan tak sedap. Banyak pihak meneropong dan menduga-duga jika korupsi adalah penyebab turunnya elektabilitas partai berwarna kuning terang ini. Mulai dari Zulkarnaen Djabar, Dendy Prasetia, hingga yang terfavorit, Setya Novanto (Setnov), adalah nama para kader Golkar yang tersandung korupsi. Bahkan yang terakhir ini, sial ketahuan turut ambil bagian dalam korupsi besar negara, e-KTP.

Setnov juga dianggap menjadi beban bagi Presiden Jokowi mendulang suara di pesta demokrasi 2019 mendatang. Sebab titel koruptor sudah terlampau lekat pada wakil ketua DPR tersebut dan juga Partai Golkar yang mendukungnya. Benarkah demikian? Sebelum membahas permasalahan itu, bangunan faksi-faksi yang ada di dalam Golkar menarik untuk diamati dan dicermati terlebih dahulu.

Ada Apa Dengan (Internal) Golkar?

Kita tahu Partai Golkar kalang kabut mencari sosok pemimpin, semenjak ditinggal Mantan Presiden Soeharto. Tak adanya sosok pemersatu, membuat Golkar kini membangun sendiri-sendiri tendanya. Sepeninggal presiden kedua RI itu pula, kekuasaan di dalam partai ini ditentukan berdasarkan kekuatan kapital yang dimiliki beberapa kadernya.

Menilik dari kemampuan kapital itulah, kini Golkar memiliki tiga pemain utama di dalamnya. Tiga tokoh ini pula yang telah diketahui sebagian masyarakat membentuk faksi-faksi baru. Mereka adalah Jusuf Kalla (JK), Akbar Tanjung, dan Aburizal Bakrie (Ical). Ketiga faksi atau kubu ini memang menguasai Golkar dalam tiga periode kepemimpinan terakhir. Jangan tanya bagaimana persinggungan di dalamnya, sebab hal itu masih sering terjadi.

sumber: istimewa

Di antara ketiga faksi tersebut, faksi Ical merupakan kelompok yang dominan menduduki struktur penting Golkar saat ini. Nama-nama populer seperti Idrus Marham selaku Sekretaris Jenderal dan Setya Novanto selaku Ketua Umum Golkar, merupakan sosok yang diketahui berada di kubu Ical.

Sementara Yorrys Raweyai, sosok yang mengumumkan pembuatan tim elektabilitas partai, disinyalir berada di faksi JK. Tak heran jika dirinya merespon sengit turunnya elektabilitas partai dikaitkan dengan sosok Setnov. Mengapa? Sebab JK sendiri juga memiliki sentimen buruk terhadap Setnov. Sesudah namanya dipakai dalam kasus Freeport ‘Papa Minta Saham’, JK merupakan pihak paling terdepan mengecam tindakan korupsi Setnov, bahkan kecamannya berbunyi sindiran keras yang menohok seperti, “Sangat tragis bangsa ini! Semalam belum 24 jam di gedung DPR MPR ini dipertontonkan sebuah upaya korupsi sekarang kita bicarakan pencegahannya.”

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

JK menambahkan jika isi rekaman Setnov dalam kasus Freeport memperlihatkan sebuah keserakahan manusia dan menyindir jika ke depannya acara-acara resmi legislatif hanya akan dihadiri oleh ketua DPD dan MPR saja sebab Ketua DPR (Setnov) sudah hilang. Nah, sikap berseberangan JK dengan Setnov yang berasal dari kubu Ical, tentu mempengaruhi pula kader-kader yang berada di bawahnya, termasuk Yorrys.

Sementara kubu Akbar Tanjung punya Agung Laksono di dalamnya. Bersama dengan Kahar Muzakir, keduanya menjadi korban sakit hati Setnov dalam intrik politik Golkar. Kahar Muzakir pernah ditempeleng Setnov dari jabatan sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR. Sementara Akbar Tanjung dan Ical pernah berseteru soal perolehan suara dalam pengurusan  ketua umum Golkar.

Menyikapi status tersangka Setnov, Akbar Tanjung juga pernah berseloroh untuk menerbitkan kepemimpinan baru dari ketua korup. Ia khawatir suara Golkar akan tergerus dan Golkar lama-kelamaan terdepak dari bangku parlemen.

Jika diperhatikan, kelompok yang sinis dan menyerang Setnov, memang datang di luar kubu Ical. Mulai dari Yorrys dengan pembentukan tim elektabilitas partai, hingga desakan mundur sebagai Ketua Umum Golkar dari Akbar Tanjung. Namun dengan banyaknya tekanan tersebut, nyatanya hingga detik ini Setnov belum juga bisa ditangkap, apalagi dibui. Apakah ada kekuatan lain yang bermain di belakangnya?

Antara KPK, Setya Novanto, dan Presiden

 Status tersangka Setnov atas kasus korupsi, tak juga membuatnya ditangkap pihak berwajib. Belakangan, Setnov malah sibuk berobat dan terus berkilah menderita sakit berat setiap kali jadwal sidang praperadilan datang. Hal ini tentunya terus mengulur proses pengadilan dan Setnov lebih lama lagi melenggang, walau tak sebebas biasanya. Kini pertanyaan baru menyeruak, apakah Setnov benar-benar bisa ditangkap dan masuk bui nanti? Atau apakah ini adalah ‘permainan’ handal dari sosok kuat?

Penangkapan Setnov oleh KPK, disinyalir mendapat campur tangan pemerintah. Sebuah sumber menyatakan, bahkan Jokowi turut berada di dalamnya. Baik Jokowi dan Setnov memang sadar, kerjasama keduanya mendatangkan keuntungan atau bersifat simbiosis mutualisme. Pihak Jokowi kuat karena disokong partai besar Golkar dan juga Ketua DPR, sementara Setnov mendapatkan akses lebih luas lagi di pemerintahan.

Tetapi satu hal, Setnov dikenal juga sebagai pribadi keras kepala dan licik. Di samping bakat memimpin, sikap personalnya itu sudah hapal diketahui para kader Golkar dari tiap faksi. Kerjasama dengan Jokowi tak hanya mendatangan keuntungan, tetapi juga mengancamnya dari sisi finansial dan ekonomi.

Hal ini pula yang diketahui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Sebagai kader Golkar, ia sedikit banyak pasti tahu mengenai Setnov. Di sinilah praktik politik bekerja. Sebagai ‘orang dalam’ pemerintahan sekaligus kader Golkar, Luhut bisa mendisiplinkan Setnov. Untuk melancarkan tujuannya, ia menggunakan KPK sebagai alat.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?
komisioner KPK periode 2015 – 2019 (sumber: istimewa)

Komisioner KPK periode 2015 – 2019 resmi dibentuk pada 21 Desember 2015. Para komisioner itu adalah Agus Raharjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Laode Muhammad Syarif. Sebuah sumber menyebutkan, tiga dari lima komisioner KPK itu, adalah ‘orang pilihan’ Luhut Panjaitan.

Anggapan tersebut bisa dilihat dari kehadiran Luhut sebagai menteri pertama yang mendatangi KPK setelah lima komisioner dilantik pada 21 Desember 2015. Dengan sumringah dan senyum khasnya, Luhut saat itu berkata, “Ini pertemuan, ini kan ketuanya baru, pimpinan baru, masa saya tidak ketemu?”

Hubungan Luhut dengan kelima komisioner KPK, juga bisa dijejaki lewat komentar Wakil Ketua Umum Gerindra, Ferry Julianto, yang menyebut, “KPK periode saat ini kayak KPK-nya Pak Luhut Panjaitan.” Komentar Ferry didasari dari masuknya KPK ke ranah politik. KPK tercatat mendatangi undangan rapat presiden dan melibatkan diri dalam proses kekuasaan di luar wilayah kerja di bidang penegakan hukum.

Jika teori di atas benar adanya, maka tak tertutup kemungkinan penyeretan Setnov oleh KPK karena kasus korupsi, sudah dirancang dengan tujuan tertentu, yakni guna ‘menjinakannya’. Hal ini bisa menjadi jawaban mengapa hingga detik ini Setnov tak juga ditangkap walau sudah resmi tersangka, sebab ia dirancang untuk dijinakkan bukan ditangkap apalagi dikurung dalam bui.

Langkah pemerintah mendiamkan Setnov melalui KPK agaknya sudah berhasil. Kini, Setnov lebih banyak diam dan terus dikabarkan sakit, demi mengulur proses peradilan. Tentu tak akan ada uluran waktu lama jika Setnov memang dari awal hendak dijebloskan ke penjara.

Di saat yang sama, Luhut berhasil membuat jaring relasi yang tak kalah kuat dari para pemimpin faksi Golkar. Kekuatan Luhut kini di Golkar, tak kalah penting dibandingkan dengan JK, Akbar Tanjung, maupun Ical, Sebab dirinya sudah dekat dengan Presiden.

sumber: istimewa

Namun, di tengah keberhasilan itu, Partai Golkar makin dimajinasikan sebagai partai para koruptor. Tentu label ini akan mempengaruhi citra Jokowi di masa depan dalam menggalang kepercayaan rakyat jika terus bergerak bersama Golkar. Sementara bagi Golkar, kasus korupsi Setnov juga membuat partai ini semakin turun elektabilitasnya. Jika sudah begitu, pembuatan tim elektabilitas partai Golkar yang digencarkan Yorrys Raweyai menjadi semakin relevan, bukan? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....