Maraknya kepala daerah yang terjerat OTT, membuktikan kalau korupsi juga banyak terjadi di daerah-daerah. Dari sejumlah tersangka yang terjaring OTT tahun ini, Partai Golkar menjadi penyumbang terbanyak. Apakah partainya yang bobrok atau KPK yang tebang pilih?
PinterPolitik.com
Beberapa bulan terakhir, KPK semakin gencar melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di sejumlah daerah. Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, tercatat sudah ada 78 kepala daerah yang berhasil dipergoki KPK tengah melakukan penyalahgunaan wewenang. Lima diantaranya merupakan kader Golkar dan langsung mendapatkan status tersangka resmi dari lembaga anti rasuah ini.
Partai berlambang pohon beringin ini memang sudah lama menjadi sorotan publik, akibat sering terkait dengan kasus korupsi di tanah air. Salah satu yang paling fenomenal adalah saat ketua umumnya, Setya Novanto (Setnov), ikut masuk dalam jajaran tersangka kasus mega korupsi KTP Elektronik (e-KTP). Sayangnya, kelakuan ketua DPR ini ternyata juga diteladani oleh kadernya di daerah-daerah. Sehingga citra partai kuning ini pun menjadi semakin identik dengan korupsi.
Maraknya kasus yang menjerat partai tertua di Indonesia ini, tentu bukan prestasi yang membanggakan. Namun di sisi lain, ada juga pendapat miring yang menuding KPK melakukan OTT tebang pilih. Bila benar, mengapa Golkar masuk dalam target sasar? Ada apa di Golkar?
Problematika Internal
Pada era orde baru (Orba), partai yang didirikan Presiden Soeharto ini memang dikenal paling bertaji diantara partai politik lainnya. Sebagai partai pemerintah, Golkar dikenal sebagai partai paling rapi, baik dari segi organisasi maupun regenerasinya. Berhasilnya pendidikan politik pada generasi muda di era Orba, bisa kita lihat saat ini. Beberapa partai besar, seperti pendiri Hanura – Wiranto, Nasdem – Surya Paloh, dan Gerindra – Prabowo Subianto, adalah hasil karya kaderisasi generasi muda Golkar sebelumnya.
Di era reformasi, para kader potensial Golkar tersebut memilih melepaskan diri. Selain itu, citra Golkar sebagai partai ‘milik’ Soeharto pun menempatkan mereka di posisi yang tidak menguntungkan. Hilangnya sosok Soeharto sebagai tokoh panutan, menimbulkan friksi internal, terutama dalam memperebutkan kursi ketua umum. Akibatnya, partai ini selalu dilanda permasalahan. Ujung-ujungnya, citra Golkar sebagai partai yang paling baik kaderisasinya pun mulai hilang.
Friksi yang terjadi juga mengganggu proses kaderisasi dan regenerasi, karena partai lebih memilih kader bukan dari kemampuannya, tapi di kubu mana ia berada. Kondisi ini kemudian menurun hingga ke tingkatan daerah-daerah. Lemahnya kaderisasi menyebabkan pendidikan politik kader Golkar tidak menurun hingga ke bawah, pengawasannya semakin lemah, terutama pada kepala daerah-kepala daerah yang mereka usung di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Hasilnya, citra Golkar sebagai partai koruptor semakin merebak. Tertangkapnya lima kader Golkar, yaitu Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu), Tubagus Iman Hariyadi (Walikota Cilegon), Orang Kaya Arya Zulkarnaen (Bupati Batubara), Siti Mashita Suparno (Walikota Tegal), dan Iwan Rusmali (Ketua DPRD Banjarmasin) melalui operasi KPK, menjadi buktinya.
Budaya Partai Turun Temurun
Sejak Orba, Golkar dikenal sebagai partainya pengusaha. Budaya yang sama masih menjerat partai ini, bahkan hingga era reformasi. Oleh sebab itu, Golkar selalu berupaya untuk berada di sisi pemerintah agar lobi-lobi kepentingannya menjadi lebih mudah. Walau bukan lagi partai berkuasa, Golkar berupaya menempatkan kader-kadernya di posisi strategis agar dapat memuluskan berbagai kepentingan partai maupun para anggotanya.
Begitu juga yang terjadi di daerah-daerah, sebagian besar kasus OTT yang menjerat lima kader Golkar, hampir sebagian besar berhubungan dengan korupsi pengadaan proyek di wilayahnya masing-masing. Budaya komisi yang berlaku di era Orba, ternyata masih saja digunakan oleh para kader Golkar. Artinya, di zaman reformasi ini Golkar ternyata belum mampu (atau tidak ingin?) mereformasi diri.
Tradisi mahar politik yang masih digunakan oleh Golkar pun, bisa saja menjadi pemicu maraknya kader yang mencari ‘dana’ dari berbagai proyek di wilayahnya. Siti Masitha Suparno misalnya, secara terus terang mengakui kalau uang korupsinya yang sebesar Rp 5,1 miliar itu akan digunakan sebagai ‘modal’ pemenangan saat maju di Pilkada Kota Tegal pada 2018 mendatang.
Besarnya modal yang harus disetor atau dikeluarkan oleh kader, menjadi pemicu mereka melakukan korupsi. Kepercayaan diri yang besar sebagai kader dari partai pemerintah, juga berujung pada pemanfaatan situasi untuk mencari keuntungan pribadi. Hadirnya KPK di wilayah-wilayah yang dicurigai ‘bermasalah’ memang langkah tepat untuk menghentikan, atau sedikitnya meminimalisir ruang gerak para kepala daerah untuk berbuat nakal dengan memanfaatkan wewenang.
Di sisi lain, turunnya KPK menangani permasalah korupsi di daerah ini juga sempat dituding sebagai ‘OTT Recehan’. Sebab bila dibandingkan kasus mega korupsi seperti Century, BLBI, dan e-KTP yang saat ini masih mangkrak, jumlah korupsi yang terjaring dari OTT memang tidak terlalu sebanding. Kecuali OTT kasus korupsi yang menjerat mantan bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dengan nilai mencapai Rp 2,7 triliun. Apakah mungkin, gelaran OTT yang dilakukan KPK ini memiliki target tertentu?
KPK Tebang Pilih, Benarkah?
Desakan agar KPK segera menangani kasus korupsi besar yang sudah sekian lama terkatung-katung, selalu ditanggapi ketua KPK dengan jawabannya yang kurang memuaskan. Karena itu, tajamnya taring KPK di daerah-daerah banyak mendapatkan kritikan dari berbagai pihak. Bahkan ada juga yang menyindir kalau KPK melakukan tebang pilih, karena lebih ‘galak’ di bawah. Sementara bos-bos koruptor yang merugikan negara lebih besar dibiarkan bebas.
Suksesnya OTT KPK juga dinilai sebagai bukti bahwa KPK lemah dalam kasus besar, namun digdaya dalam kasus-kasus kelas teri. Banyaknya kader Golkar yang terjerat, juga menyimpan pertanyaan tersendiri. Mungkinkan pemerintah saat ini tengah ‘menjinakkan’ Golkar dengan melemahkan kadernya di daerah-daerah melalui KPK? Mengingat tiga dari lima komisioner KPK saat ini disinyalir sebagai ‘orang pemerintah’.
Sebagai partai politik yang memiliki basis cukup kuat, kondisi Golkar saat ini bisa dikatakan tengah ‘babak belur’ akibat sepak terjang KPK. Walau Setnov berhasil lolos dari ancaman hotel prodeo, namun bukan berarti partai ini masih punya digdaya. Karena di internal partai, benih-benih keretakkan, sempat berembus kencang. Bebasnya Setnov dari jeratan hukum, menjadi indikasi adanya ‘tangan’ lain yang bermain di belakangnya. Mungkinkah ‘tangan’ lain ini pemerintah? (dari berbagai sumber/K-32).