Beredar kabar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan diselenggarakan. Agenda itudigaungkan dan bertujuan menggantikan Airlangga Hartarto dari posisinya sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar. Namun, isu panas pendongkelan Airlangga kiranya hanya menjadi sinyal agar Partai Golkar segera menentukan sikap politik tegas seiring kian dekatnya Pemilu dan Pilpres 2024.
Partai Golkar seolah kembali “dirongrong” dari dalam. Beberapa waktu lalu, terdengar kabar bahwa Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) partai hendak dilaksanakan oleh petinggi senior partai.
Seperti yang dikabarkan oleh media arus utama, wacana Munaslub diarahkan pada penggantian posisi ketum yang saat ini diduduki oleh Airlangga Hartarto.
Ridwan Hisjam termasuk pentolan yang menggaungkan wacana tersebut. Ridwan menyebutkan Munaslub sekiranya perlu dilakukan untuk memenuhi agenda yang disampaikan sebelumnya.
Ridwan juga menyebutkan ada dua tokoh potensial yang dapat menggantikan Airlangga melalui Munaslub ini, yaitu Luhut Binsar Padjaitan dan Bambang Soesatyo (Bamsoet).
Alasan memilih kedua tokoh ini sebenarnya beragam, mulai dari pengalaman hingga kemampuannya.
Namun demikian, pengajuan kedua nama ini kiranya lebih diarahkan pada menempatkan tokoh yang dapat mengambil sikap lebih tegas untuk menghadapi Pemilu 2024, terutama berkaca pada posisi Partai Golkar saat ini.
Selain menggaungkan wacana Munaslub, Ridwan juga mengkritik Airlangga yang saat ini menjabat sebagai pimpinan Partai Golkar.
Airlangga dipandang “tidak cekatan” dalam mengantisipasi situasi politik internal pasca Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) mengalami keretakan, terutama setelah PPP mendukung Ganjar.
Kritik ini dilatarbelakangi oleh ketiadaan progres yang signifikan dari KIB yang dibentuk Golkar bersama PAN dan PPP.
Langkah politik Partai Golkar dalam membentuk koalisi akhirnya “kandas” di tengah jalan dan hal ini membuat mereka seperti berjalan di tempat. Atas dasar itulah, Ridwan menilai bahwa evaluasi atas kepemimpinan Airlangga perlu dibicarakan.
Merespons wacana di atas, Lamhot Sinaga dan Agung Laksono sebagai petinggi Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar langsung menampik adanya kabar tersebut. Mereka menuding wacana Munaslub justru merupakan permainan wacana dari kelompok yang tidak selaras dengan Airlangga.
Selain tudingan yang dilontarkan, mereka juga mengklaim semua elemen Partai Golkar masih solid mendukung setiap keputusan Airlangga pada Pemilu 2024 mendatang.
Bergulirnya isu Munaslub menjadi refleksi dari situasi politik yang seolah sedang dialami Partai Golkar saat ini. Khoirul Umam, pengamat politik dari Universitas Paramadina menyebut wacana ini merupakan bentuk keresahan para elite akan daya tawar Golkar yang stagnan.
Apabila tidak ada tekanan dari dalam, dikhawatirkan Partai Golkar akan semakin tertinggal. Begitu setidaknya pengamatan dari luar partai.
Selain itu, dengan masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang semakin dekat, Partai Golkar dinilai harus segera mengambil langkah sebelum terlambat.
Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa wacana Munaslub Partai Golkar seolah muncul secara tiba-tiba?
“Sinyal Darurat” Internal Partai?
Partai Golkar bisa dikatakan merupakan partai politik (parpol) paling senior di antara kompetitor lainnya. Sejak didirikan pada awal Orde Baru (Orba), Golkar (saat itu berstatus nonparpol) didirikan oleh Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai kelompok fungsional alih-alih partai tunggal.
Seiring berjalannya Reformasi, Golkar bertransformasi menjadi parpol dan masih terus berdiri hingga kini.
Hal ini tidak lepas dari format organisasi Golkar, di mana Golkar memang tidak menonjolkan kepemimpinan personalistik dalam menentukan arah partai. Selain itu, mesin Partai Golkar dapat digerakkan secara kolektif untuk mencapai visi misinya.
Gustiana Kambo dalam publikasinya yang berjudul Institutionalization Process Dymension of Political Parties mencontohkan bagaimana Partai Golkar berhasil melembagakan dirinya sendiri karena konsolidasi elite di dalamnya.
Namun, pelembagaan tersebut tak lantas bermakna membuat semua elite partai “setuju” dengan keputusan pimpinannya.
Pada titik tertentu, bila pimpinan partai mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan elite di dalamnya, maka upaya pembelotan seringkali dilakukan untuk mengganti pimpinan partai yang sesuai dengan kepentingan mereka. Hal itu agaknya dapat dijelaskan melalui teori defection.
Subhash Kashyap dalam publikasinya yang berjudul The Politics of Defection menyebutkan pembelotan internal banyak terjadi di negara yang baru saja melaksanakan demokrasi.
Pembelotan kerap ditempuh melalui mekanisme yang “tidak sah”, seperti musyawarah nasional sepihak hingga kudeta. Dan pembelotan yang terjadi berpotensi memicu konflik di dalam partai.
Pada case kemunculan isu Munaslub Partai Golkar, kiranya bisa dipahami bahwa ada beberapa tokoh yang resah akan keputusan Airlangga akhir-akhir ini.
Bukan tidak mungkin, mereka khawatir jika Airlangga tidak segera bertindak, maka Partai Golkar hanya akan menjadi “gelandang” dalam kontestasi elektoral mendatang.
Seperti halnya posisi Partai Golkar sejak 2014, di mana meski mereka sudah bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), namun Partai Golkar hanya menjadi pemain medioker yang tidak banyak berkontribusi.
Atas dasar itulah, wacana Munaslub juga tidak bisa diartikan sebagai “pembelotan” semata, melainkan sebagai bentuk desakan untuk memperbaiki posisi partai. Pada titik inilah, logika organisasi dalam merespon situasi darurat mulai digunakan.
Crozier M dalam publikasinya yang berjudul Actors and Systems: The Politics of Collective Action menyebut pola kontinjensi diperlukan oleh organisasi, termasuk partai, untuk menghadapi situasi yang semakin fluktuatif.
Desakan untuk Munaslub sejatinya lebih kepada “gertakan” para elite kepada Airlangga. Tidak hanya pemimpin saja yang berhak untuk mendesak anggotanya, namun para elite di dalamnya juga punya tekanan dalam konteks kebutuhan organisasi.
Kondisi elite Partai Golkar yang sama-sama kuat justru menguntungkan mereka untuk membuat gertakan, di mana kesetaraan pengaruh antara Airlangga dan yang lainnya membuat manuver semacam ini muncul.
Gertakan dari dalam berpotensi memicu eskalasi besar apabila Airlangga tidak memperhatikan manuver dari internal tersebut. Namun pertanyaannya selanjutnya adalah, langkah apa yang perlu diambil Airlangga untuk “memadamkan” gertakan tersebut?
Kemana Golkar Selanjutnya?
Gertakan dari internal tentu bukan hal yang bersifat kebetulan. Sebagaimana pernyataan Roosevelt yang menyatakan “dalam dunia politik, tidak ada yang namanya kebetulan”, bergulirnya wacana Munaslub tentu dilatarbelakangi oleh situasi politik yang kini tidak menguntungkan bagi Partai Golkar.
Setelah pengumuman Ganjar Pranowo sebagai capres oleh PDIP, PPP yang awalnya “berkomitmen” maju bersama Partai Golkar ternyata berpaling hati dan mendukung Ganjar.
Di satu sisi, posisi PAN pun seolah masih “merayu” Ganjar untuk menjadikan Erick Thohir sebagai pendampingnya.
Dengan PPP yang sudah keluar dan PAN yang juga belum jelas komitmennya, maka Partai Golkar saat ini tampaknya justru berada pada posisi “maju kena, mundur kena”.
Sampai saat ini, Partai Golkar masih “kekeuh” untuk mengajukan Airlangga sebagai capres koalisi dan belum ada tanda-tanda mereka mau berkompromi dengan tiga capres yang sudah deklarasi, baik itu Ganjar, Anies Baswedan, maupun Prabowo Subianto.
Hal ini terlihat dari fluktuasi elektoral yang dialami Partai Golkar, di mana dinamika sebelum pemilu selalu berjalan tidak terduga dan bahkan merugikan satu pihak.
Ireneusz Sadowski dalam The Constant Electoral Flux mencontohkan bagaimana konflik internal partai di Polandia berdampak pada ketidakpastian langkah yang diambil untuk memenangkan pemilu.
Jika Partai Golkar nekat untuk mengusung Airlangga sendirian tanpa sokongan dari partai lainnya, maka jelas merka dapat dipastikan akan kalah dengan koalisi lainnya yang tampak lebih matang dan solid.
Di sisi lain,, Partai Golkar tampak masih enggan untuk berkoalisi dengan PDIP yang sudah mantap mengusung Ganjar.
Hal ini dikarenakan Partai Golkar agaknya merasa tidak lagi sejalan dengan “banteng merah” bila berkoalisi nantinya.
Dengan demikian, terdapat dua taktik yang kiranya dapat dilakukan Airlangga untuk merespon situasi yang semakin genting ini.
Pertama, tetap mengusung Airlangga sebagai capres. Hal itu berkaca pada deklarasi keputusan Airlangga, apa pun itu, yang diperlukan untuk menetapkan konsistensi Partai Golkar dalam langkahnya menyongsong Pemilu dan Pilpres 2024.
Meski langkah tersebut belum tentu langsung menarik parpol lain untuk mendukung Airlangga maupun Partai Golkar, setidaknya deklarasi itu akan membuka kesempatan bagi mereka untuk bergerak secara leluasa.
Kedua, membentuk poros baru, di mana Partai Golkar masih berpeluang untuk membangun koalisi baru manakala deklarasi tidak membuahkan hasil.
Koalisi ini diproyeksikan akan menjadi “poros keempat” yang dapat bertanding dengan poros yang kini sudah ada, baik poros Ganjar, poros Anies, maupun poros Prabowo.
Selain itu, dengan daya tawar Golkar yang besar dalam poros baru ini, maka Golkar dapat “mendikte” partai lainnya untuk mendukung Airlangga secara sepihak atau capres yang disepakati dari koalisi ini.
Hal ini didukung dari kekuatan Golkar dari segi elektoral. Partai Golkar yang telah mengamankan 12 persen kursi DPR secara nasional di 2019 jelas memberikan insentif besar bagi Golkar untuk leluasa bergerak dalam poros barunya.
Namun, kedua langkah tersebut kiranya hanya bisa terjadi apabila Airlangga peka dengan situasi yang terjadi.
Jika tidak, pergantian kepemimpinan bisa saja terjadi dan “calon penerus” kiranya akan menyiapkan strategi baru untuk tetap bisa meramaikan Pemilu 2024 mendatang.
Well, sebagai penutup, wacana Munaslub ini tampaknya memang mencerminkan “keresahan” para elite terhadap situasi yang dihadapi Partai Golkar saat ini.
Dengan bergulirnya isu tersebut, Airlangga kiranya harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan partainya dari ketertinggalan. (D90)