HomeNalar PolitikGolkar Pintu Keramat

Golkar Pintu Keramat

Golkar merupakan partai yang kenyang pengalaman dalam dunia politik Indonesia. Peringkat pemilunya terbilang stabil dan infrastruktur partainya sudah mapan. Hal ini membuat Golkar kerap menjadi pintu bagi politisi non-partisan mengikuti suatu gelaran politik.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]K[/dropcap]ehadiran Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian di Pendidikan dan Latihan Komunikasi Politik Partai Golkar mengundang pertanyaan banyak pihak. Tito mengaku bahwa ini merupakan kali pertama ia hadir di acara suatu parpol. Selama ini ia lebih suka terlihat netral dan menjauhi aktivitas dengan parpol. Menarik, Partai Golkar menjadi parpol yang dipilih Tito untuk mengakhiri langkahnya untuk menghadiri acara parpol.

Langkah jenderal bintang empat ini serupa dengan jenderal lainnya yaitu Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat hadir di rapat pimpinan (rapim) partai tersebut. Kedua nama ini masuk dalam bursa pilpres 2019 nanti. Sebagai nama-nama yang potensial ikut pada gelaran politik 2019 nanti, langkah keduanya hadir di acara partai beringin tergolong menarik. Partai yang identik dengan warna kuning ini seolah menjadi pintu bagi keduanya terjun ke dalam dunia politik.

Partai ini nyatanya tidak hanya menarik bagi kedua jenderal tersebut. Calon-calon non-partisan untuk pilkada pun melirik partai ini. Khofifah Indar Parawansa diisukan akan menggunakan tiket dari Partai Golkar untuk melaju pada Pilgub Jatim 2018. Hal serupa terjadi pada Irjen Pol. Paulus Waterpauw yang telah melamar ke Partai Golkar untuk mengikuti Pilgub Papua 2018.

Partai berlambang beringin ini rupanya masih cukup menarik bagi banyak orang. Politisi-politisi dari kalangan non-parpol kerap tergoda menggunakan tiket dari partai ini. Lalu mengapa Golkar begitu keramat bagi mereka?

Keramatnya Partai Golkar

Partai Golkar merupakan partai yang sudah mapan dan mampu bertahan selama bertahun-tahun. Partai yang dinahkodai Setya Novanto ini memiliki sejarah panjang sejak Orde Baru. Meski lama bertarung dalam kancah politik negeri ini, partai ini selalu selamat dalam setiap pertarungan politik. Bahkan dalam prahara besar pasca runtuhnya Orde Baru, Partai Golkar nyatanya tetap tidak tumbang dan bertahan hingga kini. Meski kerap dilanda konflik yang menimbulkan perpecahan, suara partai pecahan tidak secara masif menggembosi suara partai ini.

Partai Golkar tidak memiliki masalah dengan suksesi kepemimpinan sehingga mampu bertahan hingga kini. Partai yang semula identik dengan Suharto ini berhasil menjalankan pergantian kepemimpinan selama beberapa kali. Tidak ada figur dominan yang lama bercokol menjadi ketua umum. Kongres demi kongres yang dilakukan Golkar sejauh ini selalu menghadirkan nama baru sebagai ketua umum. Hal ini membuat partai ini tidak terjebak pada kultus figur. Golkar tidak akan mengalami kesulitan bertahan jika figur ketua umum harus lengser dan diganti dengan tokoh baru.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Suara dari Partai Golkar juga cenderung stabil. Partai berhaluan nasionalis ini tidak pernah terpental dari posisi tiga besar. Pasca Suharto lengser, Golkar tidak kehilangan pesona di mata rakyat dan selalu mendulang suara cukup besar. Saat rezim Suharto tumbang dan Golkar digugat masyarakat, partai ini tetap finis di posisi kedua di bawah PDI-P pada Pemilu 1999 dengan raihan 120 kursi DPR. Di Pemilu 2004, partai ini bahkan menjadi kampiun dan meraup 128 kursi. Konsistensi ini berlanjut di pemilu 2009 dengan mendapat 107 kursi dan finis di urutan kedua. Posisi runner up kembali diraih di tahun 2014 dengan total kursi 91.

Sebagai partai tertua di negeri ini, Partai Golkar memiliki jejaring yang amat luas di negeri ini. Partai ini dapat menyentuh kalangan akar rumput karena strukturnya sudah menyebar luas. Struktur dan fasilitas partai ini lengkap dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kota, hingga kecamatan. Selain itu, berbagai organisasi yang berafiliasi dengan partai ini juga menjangkau banyak wilayah di Indonesia. Kelompok Induk Organisasi (KINO) seperti Kosgoro, MKGR, atau SOKSI telah berjejaring luas di Indonesia.

Tidak hanya di tingkat akar rumput, jejaring Golkar juga kuat di tingkat elit. Partai ini mampu menjangkau banyak orang dengan karir dan kredensial mentereng. Banyak pengusaha memiliki afiliasi baik secara pribadi atau organisasi dengan partai beringin ini. Belum lagi jebolan organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga kerapkali memiliki kecenderungan politik pada Partai Golkar.

Partai Golkar juga terbuka terhadap figur-figur lain di luar kader internal. Golkar kerapkali membuka diri bagi kalangan dengan latar belakang seperti birokrat, pengusaha, militer, dan akademisi. Ini membuat Golkar dapat dengan mudah mengakomodasi tokoh yang populer dan mampu mendulang suara tinggi sehingga dapat memenangi suatu pemilihan.

Sulit Usung Kader?

Secara kelembagaan, Partai Golkar memiliki sistem kelembagaan dan kepengurusan yang baik. Golkar cenderung memiliki jenjang kepengurusan yang baik. Kader partai beringin dapat memulai bertahap dari sayap-sayap dan organisasi kepemudaan Golkar. Seiring dengan karir politik yang dirintis makin baik, umunya kader-kader tersebut akan dilirik masuk kepengurusan Dewan Pengurus Pusat (DPP) atau diusung menjadi kandidat saat Pemilu.

Meski memiliki kader potensial yang melimpah, nyatanya tidak mudah bagi Partai ini untuk menentukan calon yang dapat diusung pada suatu pemilihan. Pada Pilpres 2014 lalu misalnya, suara Golkar cukup besar yaitu 16,2 persen kursi di parlemen. Golkar hanya cukup menambah sedikit kursi partai lain untuk mengusung capres dari kadernya sendiri. Tetapi opsi ini tidak diambil. Popularitas nama ketua umum saat itu Aburizal Bakrie, dianggap kalah populer dengan partai lain.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Problema yang dialami di 2014 nampaknya akan berlanjut di tahun 2019. Sejauh ini tidak ada kader Golkar yang namanya cukup mentereng di mata rakyat. Kader Golkar meski melimpah tidak ada yang cukup kuat untuk menandingi nama-nama kandidat lain. Nama ketua umumnya, Setya Novanto lebih banyak identik dengan kontroversi ketimbang dengan popularitas di mata masyarakat.

Kondisi serupa kerap terjadi pada gelaran politik di tingkat lokal. Dalam beberapa pilkada Golkar tidak memiliki kader yang cukup moncer di mata masyarakat. Hal ini membuat opsi mengusung kandidat kader sendiri dilepas dan kursi signifikan di parlemen diberikan pada kandidat lain. Pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu Golkar lebih memilih memberikan tiket kepada Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat ketimbang mengusung kader sendiri. Langkah serupa nampaknya akan berlanjut. Di Pilgub Papua misalnya Golkar dikabarkan akan mengusung nama Paulus Waterpauw. Di Pilgub Jatim nama Khofifah Indar Parawansa juga dikaitkan dengan partai beringin ini.

Golkar juga kerap dilanda konflik internal. Gangguan yang kerap menghadang kader melaju adalah gejolak di dalam Golkar itu sendiri. Pencapresan Bakrie 2014 kandas karena digoyang kader-kader internalnya sendiri. Ia dianggap gagal menaikkan suara Golkar dan juga tidak populer di mata masyarakat. Hal yang sama juga nampaknya akan melanda Novanto. Politisi asal dapil Nusa Tenggara Timur ini terus-menerus diserang kader-kadernya sendiri. Kalangan pemuda di partai ini menilai sang ketua umum ini memperburuk citra Golkar dengan beragam kasus yang menerpanya.

Rendahnya popularitas dan konflik internal dapat membuat Golkar harus mengusung nama di luar kader. Hal inilah yang kerap dimanfaatkan kalangan eksternal Golkar. Tingginya raupan suara dari tahun ke tahun tentu menarik bagi kandidat non-kader. Di sinilah bertemu kandidat populer dengan tingginya suara Golkar. Tingginya raupan kursi Golkar dapat menjadi tiket bagi kandidat tersebut untuk ikut dalam kontestasi pemilihan.

Dengan berbagai keunggulan Partai Golkar tersebut, maka wajar banyak politisi non-partai tergoda untuk masuk ke dunia politik melalui pintu Golkar. Bakal calon yang digembar-gemborkan maju tidak akan susah payah membangun dukungan. Jika memang pasti maju, nama-nama seperti Tito dan Gatot di Pilpres, atau Khofifah dan Paulus di Pilkada tinggal membuktikan. Apakah Golkar hanya keramat untuk dirinya ataukah dapat memberikan jalan suci bagi kandidat melenggang mulus ke kursi orang nomor satu. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...