Site icon PinterPolitik.com

Golkar, Airlangga Capres Figuran? 

Airlangga Hartarto Sedang Disembunyikan?

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (Foto: Tempo/Tony Hartawan)

Wacana pencapresan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto kembali muncul dan diproyeksikan akan membentuk poros keempat bersama PAN. Namun, jika terwujud, rencana tersebut tampaknya hanya merupakan strategi untuk memecah suara kandidat tertentu. Benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Wacana dari Partai Golkar dan sang Ketua Umum (Ketum) Airlangga Hartarto kembali memantik interpretasi menarik, yakni terbukanya peta persaingan politik baru jelang kian dekatnya proses politik 2024.

Itu setelah kemarin lusa (4/7), elite Partai Golkar Supriansa mengungkapkan bahwa dalam dua atau tiga bulan ke depan Airlangga akan muncul ke publik sebagai calon presiden (capres) bersama calon wakil presiden (cawapres) nya. 

Dengan kata lain, potensi adanya poros keempat untuk meramaikan persaingan pencapresan Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto mengemuka. 

Airlangga sendiri memang telah mendapat amanat dan restu sebagai capres 2024 berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) dan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar. Potensi rekan koalisinya, yakni PAN, pun belum menentukan sosok capres yang akan didukung.

Sementara itu, sebagai entitas politik legendaris Indonesia, wajar kiranya jika para kader, eksponen, dan secara organisasi, Partai Golkar berambisi menjadi kekuatan utama, bukan hanya sebagai pengikut sebuah koalisi politik. 

Secara momentum dan posisi politik personal, Airlangga kiranya juga sudah cukup memenuhi prasyarat ideal untuk naik kelas. 

Selain titel sebagai Ketum Partai Golkar yang telah diampunya sejak tahun 2017, jabatan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian yang kini dipercayakan tampak lebih dari cukup untuk menjadi bekal di kontestasi elektoral 2024. 

Kinerja dalam tupoksinya itu pula yang seolah terus digunakan sebagai daya pikat. Airlangga juga disebut menjadi aktor yang berperan penting menstabilkan perekonomian Indonesia di saat negara-negara lain mengalami keterpurukan dahsyat akibat dampak Pandemi Covid-19. 

Akan tetapi, masalah klasik dan terbesar Airlangga adalah elektabilitasnya yang rendah. Jangankan dalam bursa capres, di statistik survei cawapres pun Airlangga kurang menonjol dibandingkan nama lain seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Sandiaga Uno, maupun Erick Thohir. 

Itu kemudian menimbulkan pertanyaan tersendiri yang sebenarnya cukup repetitif, yakni mengapa Partai Golkar seakan saklek untuk mengusung Airlangga sebagai capres? 

Terjebak Ambisi, Terbentur Faksi? 

Agak mengherankan memang ketika setelah Reformasi, Partai Golkar belum pernah sekalipun menyandang status sebagai parpol penguasa. 

Mereka juga tak pernah menempatkan kadernya di Istana. Sebuah realita yang berbanding terbalik dengan kiprah mereka selama Orde Baru (Orba).  

Satu kemenangan di Pemilu Legislatif (Pileg) 2004 pun tak serta merta membuat mereka berkuasa. Partai Golkar dan Wiranto pun harus kalah di putaran pertama ajang pilpres edisi tersebut. 

Padahal, Partai Golkar dianggap memiliki mesin politik Partai Golkar hasil warisan Orba yang begitu gahar. 

Buktinya, walau kalah di Pileg 1999 dengan hanya meraih 23,7 juta suara dan ada di urutan dua di bawah PDIP, pada Pileg 2004 partai berlambang pohon beringin berhasil comeback dengan gemilang. 

Saat itu, Partai Golkar merengkuh suara terbanyak dibandingkan partai lainnya di 26 provinsi. Secara nasional, urutan pertama berhasil diraih dengan nyaris 25 juta suara dengan 127 kursi di Parlemen. 

Akan tetapi, sekali lagi, saat itu Partai Golkar seolah berada di bawah bayang-bayang Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil menjadi Presiden ke-6 RI. 

Pangkal permasalahannya, meski ada sisi positifnya, partai dianggap cenderung membebaskan diri dari ketergantungan pada seseorang sosok atau pemimpin. 

Asep Nurjaman dalam publikasi berjudul Masa Depan Faksionalisme Politik Golkar Pasca Orde Baru menyebut dibandingkan dengan dua organisasi sosial politik (orsospol) warisan Orba lainnya (Golkar, PDIP, PPP), Partai Golkar lebih memiliki kesamaan dengan PPP, yakni tak memiliki tokoh sentral dominan dalam kekuasaan internal partai. 

Meski jamak yang mengatakan terdapat plus dan minusnya, dalam dinamika politik terkini hal itu agaknya justru menjadi kelemahan Partai Golkar saat ini. Utamanya, dalam pembuatan keputusan mengusung sosok populer sebagai kandidat tertentu, seperti di ajang pilpres. 

Jusuf Kalla (JK) adalah nama prominen terakhir elite Partai Golkar yang secara personal dan internal lebih dominan dengan tingkat elektabilitas cukup memadai. 

Terbukti dari keikutsertaannya sebagai capres pada Pilpres 2009 silam saat berduet dengan Wiranto. Akan tetapi, JK-Wiranto hanya meraih 12 persen suara di akhir laga. 

Momen itu seolah menjadi titik balik semakin kurang terlihatnya satu sosok dominan Partai Golkar di tengah bertaburnya para elite politik tenar tanah air di dalamnya. 

Dalam beberapa literatur, Partai Golkar disebut sebagai catch-all party atau partai yang fleksibel untuk bersinergi plus menarik massa dari berbagai karakteristik, latar belakang, dan ideologi. 

Salah satu implikasi dari parpol dengan karakteristik catch-all seperti Partai Golkar adalah munculnya berbagai macam faksi atau kelompok di internal partai tersebut.  

Dalam Party Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations, Raphael Zariski mendefinisikan faksi secara lebih spesifik sebagai kelompok intra-partai – di mana anggotanya memiliki identitas dan tujuan yang sama serta bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. 

Pada Desember 2017 silam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyiratkan eksistensi faksi itu saat membuka musyawarah nasional luar biasa Partai Golkar. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut sejumlah grup besar seperti JK, Aburizal Bakrie, Luhut Binsar Pandjaitan, Akbar Tandjung, hingga Agung Laksono. 

Jika diidentifikasi lebih dalam, terdapat tiga faksi besar di Partai Golkar, yakni faksi Hijau Islam (ICMI hingga HMI), faksi Hijau Militer, dan faksi pengusaha. 

Kendati demikian, faksi tersebut bisa saling memiliki irisan dan – positifnya, bisa saling merekatkan kepentingan. JK, misalnya, yang berlatarbelakang HMI dan pengusaha. Pun dengan nama Luhut yang merupakan militer dan pengusaha. 

Menariknya, faksi besar itu tak selalu menjadi dasar kategorisasi. “Konflik kepentingan” yang muncul seolah mengalami pergeseran, tak lagi berbasis kelompok fungsional, melainkan berbasis kelompok pertemanan (clique) dalam organisasi. 

Asep turut menjabarkan konstelasi siapa lebih berpihak kubu siapa di internal Partai Golkar. Generasi penerus JK dkk dilanjutkan oleh Setya Novanto dengan pendukung utama seperti Azis Syamsudin dan Roem Kono.  Kemudian, terdapat faksi Ade Komarudin dengan pendukung utama Bambang Soesatyo, Firman Soebagyo, dan M. Misbhakun. Ada pula faksi Airlangga Hartarto dengan pendukung utama Fayakhun Andriadi. 

Diluar itu, ada pula tokoh-tokoh lain yang tengah mencoba membangun dukungan seperti Agus Gumiwang Kartasasmita, Zainudin Amali, Agun Gunandjar Sudarsa. 

Lebih jauh, terdapat pula nama-nama muda politisi Partai Golkar yang tengah merintis dan mendapat momentum seperti Dave Akbarshah Fikarno Laksono, Puteri Komarudin, hingga Dito Ariotedjo. 

Namun, sekali lagi, di antara nama-nama tersebut, tak satu pun yang mengemuka sebagai kandidat dengan elektabilitas mumpuni di level pilpres, setidaknya sejak edisi 2009. 

Oleh karena itu, “memaksakan” Airlangga – yang elektabilitasnya sangat rendah – sebagai capres 2024 pun kiranya merupakan sebuah perjudian besar. 

Logika Irasional Golkar? 

Terdapat tiga kemungkinan yang bisa saling terkait dan membuat Partai Golkar bersikukuh mengusung Airlangga sebagai capres 2024. 

Pertama, tentu adalah untuk menjadi ruling party atau partai utama penguasa pemerintah. Ini adalah esensi mendasar dari politik sebagaimana cendekiawan Inggris William A. Robson menyebut bahwa politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan. 

Alasan itu tentu sangat logis dan boleh jadi merupakan ambisi di hati kecil kader akar rumput hingga elite Partai Golkar seantero tanah air yang merindukan manisnya kekuasaan seperti di masa lalu. 

Namun, sayangnya dan suka atau tidak, berkutat dengan nama Airlangga sebagai capres dengan elektabilitas rendah kiranya menjadikan ambisi itu cukup sulit untuk terwujud. 

Kedua, terkait dengan logika organisasi. Francis Fukuyama dalam  bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century menyebut logika organisasi memiliki perbedaan dengan logika individu. 

Mengutip ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS) Herbert Simon tentang teori satisficing atau keterpuasan, Fukuyama menjelaskan tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, tetapi muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi. 

Hal itu dikarenakan individu-individu dalam organisasi punya rasionalitas yang terbatas. Kecenderungan itu tidak lain disebabkan oleh individu yang cenderung memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa. 

Dalam konteks Partai Golkar dan pencapresan Airlangga, apa yang disampaikan Fukuyama kiranya merupakan kompromi dan kultur yang dianut mereka. 

Pada konteks ini, Partai Golkar sebenarnya bisa saja memberikan tiket capres kepada kader baru dengan elektabilitas mumpuni seperti Ridwan Kamil (RK), misalnya. 

Akan tetapi, logika organisasi Partai Golkar mungkin tak ingin semudah itu memberikan karpet merah. Selain masih ada nama Airlangga dan sesepuh partai lain yang tentu tak ingin dilangkahi, loyalitas dan “keberpihakan faksi” RK pun agaknya belum dapat dipastikan. 

Ketiga, pencapresan Airlangga juga tak menutup kemungkinan justru adalah bagian dari skenario tertentu, yakni untuk menjadi aktor pemecah suara kandidat rival dan mambuka jalan bagi kandidat kawan. Hasil akhirnya, ihwal yang dituju tetap merapat di lingkar kekuasaan. 

Sejauh ini, tajuk “Koalisi Besar” yang pernah disebut Airlangga sendiri dapat menjadi rujukan presumsi tersebut. 

Formula kekuasaan saat parlemen dan eksekutif di setting politik (DPR dan pemerintah) saat ini yang terlampau solid kiranya membuat Partai Golkar sudah cukup nyaman dengan apa yang mereka dapatkan. 

Akan tetapi, jika terus larut dalam kenyamanan itu, Partai Golkar kemungkinan akan sulit untuk merengkuh status sebagai penguasa secara paripurna seperti dulu kala. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61) 

Exit mobile version