Site icon PinterPolitik.com

Goldman Sachs, Acuan Jokowi Tangani Corona?

Goldman Sachs, Acuan Jokowi Tangani Corona?

Presiden Jokowi bersama dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Foto: Tribunnews)

Sedari awal kita melihat kebijakan penanganan pandemi Covid-19 pemerintah lebih condong pada persoalan ekonomi. Kendati dikritik oleh berbagai pakar kesehatan, epidemiolog, bahkan ekonom, posisi kebijakan tersebut tampaknya tidak berubah. Lantas, benarkah Presiden Jokowi bertolak dari studi yang dilakukan oleh Goldman Sachs?


PinterPolitik.com

Telah lama epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritik keras penanganan pandemi Covid-19 pemerintah. Terbaru, Pandu Riono menegaskan bahwa pemerintah belum serius menangani pandemi. Bahkan menurutnya, saat ini Indonesia menempati posisi ketiga terbawah sebagai negara yang aman dari pandemi Covid-19.

Kurang baiknya penanganan pandemi ini banyak dinilai karena pemerintah lebih fokus untuk menangani masalah ekonomi akibat pandemi, daripada pandemi itu sendiri. Menariknya, kritikan ini tidak hanya datang dari epidemiolog, melainkan juga dari ekonom.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad misalnya, ia menegaskan bahwa alih-alih pemerintah terlebih dahulu menangani pandemi, pemerintah justru lebih fokus mengurus masalah ekonomi, seperti memberikan kredit, bantuan sosial (bansos), hingga yang terbaru insentif Rp 600 ribu bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta.

Ekonom senior Indef Didik J. Rachbini juga menegaskan hal serupa. Bahkan menurutnya, tidak mungkin pemerintah mengatasi masalah resesi ekonomi akibat pandemi, apabila tidak terlebih dahulu memperbaiki penanganan pandemi Covid-19 yang dinilai masih amburadul.

Sebagaimana diketahui, sejak awal pemerintah memang ragu untuk menerapkan lockdown. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun dilakukan dengan intrik tarik-ulur di dalamnya. Tidak heran kemudian, banyak pihak yang menyebutkan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan masalah ekonomi daripada kesehatan.

Menariknya, kendati mendapatkan kritikan keras terus menerus, pada 25 Juli yang lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terlihat menepis sentimen minor tersebut. Politisi senior Golkar tersebut bahkan menyatakan bahwa jika dulunya mengikuti saran dari pihak-pihak yang merasa pintar agar pemerintah memberlakukan lockdown, Indonesia mestilah telah bubar alias ekonominya hancur lebur.

Tentu menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa pemerintah begitu sepercaya diri itu untuk lebih memprioritaskan masalah ekonomi daripada kesehatan dalam menghadapi pandemi Covid-19? Apa yang terjadi sebenarnya?

Mengacu pada Goldman Sachs?

Baru-baru ini, sepertinya telah terjawab mengapa pemerintah begitu percaya diri untuk tidak menerapkan lockdown. Pada 11 Agustus lalu, pada laporannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat bersama dengan pejabat tinggi se-Jawa Barat (Jabar), Gubernur Jabar Ridwan Kamil (RK) menyatakan bahwa pihaknya tidak menerapkan lockdown karena lockdown atau penggunaan masker sama-sama dapat menurunkan penularan Covid-19.

Terlebih lagi, penggunaan masker tidak memberikan dampak ekonomi seperti halnya penerapan lockdown. Simpulan itu sendiri didapatkan dengan bertolak dari studi yang dilakukan Goldman Sachs, yang merupakan bank investasi multinasional Amerika Serikat (AS).

Menariknya, Presiden Jokowi terlihat mengafirmasi pernyataan RK dengan menyebutkan, antara lockdown atau PSBB dengan penggunaan masker, pemerintah lebih memilih masker.

Jika benar pemerintah telah bertolak dari studi Goldman Sachs seperti halnya RK, ini jelas menjawab mengapa penerapan lockdown bukanlah opsi utama dalam penanganan pandemi Covid-19.

Di titik ini, kita dapat menjelaskan fenomena tersebut menggunakan pisau analisis epistemologi, khususnya dalam problem of perception. Epistemologi sendiri adalah bidang dalam filsafat yang mengkaji mengenai mengapa manusia dapat membentuk pengetahuan, bagaimana konstruksinya, apa beliefs atau kepercayaan yang melandasinya, dan bagaimana menjustifikasi pengetahuan tersebut.

Dalam problem of perception, dikaji persoalan yang membahas mengenai adanya benturan terkait klaim manusia tentang realitas karena mereka memiliki persepsi yang berbeda terhadap realitas terkait.

Mengacu pada studi Goldman Sachs yang menyimpulkan bahwa penggunaan masker dapat menggantikan penerapan lockdown, serta dapat menyelamatkan lima persen produk domestik bruto (PDB). Terlihat jelas tujuan studi tersebut mengacu pada bagaimana meminimalisir kerusakan ekonomi. Artinya, persepsi yang terbangun adalah, bukan soal bagaimana menyelesaikan pandemi Covid-19 yang merupakan bencana kesehatan, melainkan melihat pandemi sebagai suatu bencana ekonomi.

Selain itu, Goldman Sachs yang merupakan bank investasi multinasional AS, tentunya menggunakan paradigma pendekatan ekonomi dan bukannya kesehatan. Dengan kata lain, jika RK dan Presiden Jokowi bertolak pada studi tersebut, ini mengafirmasi kritikan sejumlah pihak yang menyebutkan pemerintah lebih memprioritaskan masalah ekonomi daripada kesehatan.

Artinya, terdapat problem of perception di siniDi satu sisi, para pakar kesehatan, seperti epidemiolog memiliki persepsi yang menyebutkan ini adalah masalah kesehatan. Di sisi lain, pemerintah memiliki persepsi bahwa ini adalah masalah ekonomi.

Salah satu filsuf terbesar logika, Gottlob Frege telah lama menyinggung hal ini. Tegasnya, bagaimana manusia membahasakan dunia, sangat menentukan bagaimana manusia memahami realitas. Singkatnya, apa yang dipercaya, dibaca, dan cara manusia memahami dunia, menentukan tindakannya untuk menyikapi realitas yang tengah dihadapi.

Getirnya, problem of perception ini sepertinya masih akan terus terjadi karena pemerintah sepertinya tengah mendapatkan pembenaran atas kebijakannya. Lantas, apakah itu?

Post Hoc Ergo Propter Hoc?

Tentu menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa Luhut pada Juli lalu begitu percaya diri membalas kritik pihak-pihak yang menginginkan penerapan lockdown. Masalahnya, rasionalisasi di balik pernyataan Luhut tersebut yang tampaknya menjadi jawaban perihal mengapa problem of perception akan tetap terjadi.

Melihat konteks waktunya, pernyataan Luhut berdekatan dengan pengumuman resesi berbagai negara akibat pandemi Covid-19. Negara besar seperti AS dan Prancis bahkan masuk dalam daftar ini.

Tidak hanya itu, pada akhir Juli lalu, Vietnam yang dinilai berhasil mengatasi pandemi Covid-19 karena menerapkan lockdown ketat tiba-tiba menemukan kasus baru. Padahal, sudah 99 hari Vietnam mencatatkan nol kasus Covid-19.

Tidak hanya Vietnam, Selandia Baru juga mengalami nasib serupa. Setelah sebelumnya juga dinilai berhasil, Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern sampai menunda pembubaran Parlemen dan pemilihan umum karena kasus Covid-19 muncul kembali setelah lebih dari 3 bulan tidak terdapat kasus.

Singkatnya, melihat pada fakta Vietnam dan Selandia Baru yang ternyata tetap mengalami kasus baru meskipun sudah menerapkan lockdown, ini menjadi afirmasi tersendiri bagi pemerintah untuk menyimpulkan bahwa lockdown bukanlah pilihan terbaik dalam mengatasi pandemi. Terlebih lagi, alasan ekonomi tentunya menjadi rasionalisasi utama agar lockdown yang menghancurkan ekonomi tidak diterapkan secara berkepanjangan. Pasalnya, diterapkan pun, ini tidak mengakhiri pandemi Covid-19.

Jika rasionalisasi tersebut benar adanya, patut diduga bahwa pemerintah akan terjebak dalam kekeliruan logis yang disebut dengan post hoc ergo propter hoc. Ini adalah bahasa Latin yang berarti “setelah ini, oleh karena itu penyebabnya karena ini”. Sederhananya, ini adalah kekeliruan logis ketika suatu klaim mendapatkan pembenaran karena kebetulan peristiwa X terjadi setelahnya.

Kekeliruan ini kerap terjadi pada kasus ramalan atau zodiak. Ketika Andri diramal akan mendapatkan nasib baik hari ini, kemudian kebetulan Andri selamat karena hampir tertabrak kereta, Andri akan menyimpulkan ramalan tersebut benar. Akan tetapi, bagaimana apabila ramalannya menyatakan Andri akan mendapatkan nasib buruk? Hampir tertabrak kereta pasti disebut sebagai kesialan bukan?

Pada kasus pemerintah, post hoc ergo propter hoc kemungkinan akan terjadi. Pasalnya, adanya kasus baru Covid-19 di Vietnam dan Selandia Baru akan dijadikan pembenaran untuk mempertahankan pernyataan tesis bahwa prioritas ekonomi atau penolakan lockdown adalah kebijakan yang lebih baik.

Masalahnya, pemerintah yang memutuskan tidak memberlakukan lockdown, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehancuran ekonomi. Artinya, sekalipun Vietnam dan Selandia Baru ternyata berhasil mengakhiri pandemi setelah menerapkan lockdown, pemerintah dapat dengan mudah menyebutkan bahwa mereka memang berfokus pada persoalan ekonomi.

Apa pun kasus yang menimpa Vietnam dan Selandia Baru, pemerintah akan tetap memiliki pembenaran. Namun, dengan terjadinya kasus baru di kedua negara tersebut, ini jelas dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menyimpulkan bahwa lockdown bukanlah solusi terbaik.  

Dengan kata lain, pemerintah tidak akan terjebak dalam post hoc ergo propter hoc apabila tidak diterapkannya lockdown memang dimaksudkan untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Akan tetapi, sebagaimana yang diketahui, bukan tujuan itu yang hendak ingin dicapai.

Terkait adanya  problem of perception dan potensi terjadinya post hoc ergo propter hoc, tampaknya ini beririsan dengan tulisan Ben Bland dalam bukunya yang berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia. Di sana, Bland menyebutkan bahwa Presiden Jokowi adalah sosok yang tidak menyukai analisis karena lebih menyukai aksi dan keputusan.

Jika tulisan Bland tersebut benar adanya, ini menjadi jawaban mengapa penanganan pandemi Covid-19 pemerintahan Jokowi terus dikritik sampai saat ini karena kebijakan yang diambil dinilai tidak tepat.

Pada akhirnya, kita tentu mengetahui bahwa benar tidaknya telah terjadi problem of perception hanya diketahui oleh pihak-pihak terkait. Pun begitu dengan post hoc ergo propter hoc, kekeliruan logis tersebut akan terafirmasi apabila terdapat pembelaan terhadap kebijakan pemerintah dengan bertolak dari kasus Vietnam dan Selandia Baru.

Di luar itu semua, tentu kita berharap agar pemerintah dapat menelurkan kebijakan terbaik untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version