Beberapa hari setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) salah satu kelompok ekstremis terbesar di Asia Tenggara merilis sebuah pernyataan. Juru bicara kelompok JAS Abdul Rochim Bashir mengatakan kelompoknya bersukacita atas kemenangan Taliban di Afghanistan. Lalu apakah hal tersebut akan berdampak ke Indonesia?
Dalam artikel yang diterbitkan The Sidney Morning Herald yang berjudul Selfies, sunglasses and AK-47s: Taliban’s slick victory inspires extremists in south-east Asia memaparkan kemenangan Taliban di Afghanistan dinilai akan menginspirasi generasi baru kelompok ekstremis agama di wilayah Asia Tenggara.
Lebih lanjut, Indonesia dianggap salah satu negara di Asia Tenggara yang paling rawan akan kebangkitan kelompok ini.
Seorang perwira senior dari pasukan khusus anti teror Indonesia memberikan kesaksian kepada Sydney Morning Herald bahwa benar ada indikasi kelompok ekstremis di Indonesia terilhami dengan apa yang terjadi di Afghanistan.
Sana Jaffrey, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta, menilai kegigihan dan kemenangan Taliban akan bergema di Asia Tenggara termasuk Indonesia, tetapi dirinya menambahkan bahwa hal tersebut tidak bisa otomatis diartikan bahwa mereka akan melakukan semacam tindakan dalam waktu dekat.
Lalu, apakah benar peristiwa di Afghanistan dapat menjadi momentum kebangkitan kelompok ekstremis di Indonesia?
Contagion Theory of Terrorism
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Teror Makassar Menginspirasi Serangan ke Mabes Polri? menjelaskan, terkait persoalan momentum terdapat satu teori yang tampaknya dapat menjadi jawaban, yakni contagion theory of terrorism atau yang juga disebut dengan contagion hypothesis (hipotesis penularan).
Brigitte L. Nacos dalam tulisannya Revisiting the Contagion Hypothesis: Terrorism, News Coverage, and Copycat Attacks menyebutkan istilah contagion atau penularan mengacu pada bentuk peniruan kejahatan (copycat crime).
Individu dan kelompok akan meniru bentuk kekerasan yang menarik bagi mereka berdasarkan contoh atau peristiwa yang disaksikan di media massa. Pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, misalnya, teroris Palestina melancarkan sejumlah pembajakan pesawat komersial.
Saat itu, pembajakan yang sengaja dilakukan secara berkepanjangan agar mendapatkan liputan besar-besaran untuk menyuarakan pesan-pesan politik pelaku teror, disebut-sebut telah menginspirasi kelompok lain untuk mengikuti langkah mereka.
Akan tetapi, teori contagion bukannya tanpa kritik. Robert G. Picard dalam tulisannya News Coverage as the Contagion of Terrorism: Dangerous Charges Backed by Dubious Science, misalnya, membantah adanya relasi kausal antara tindakan terorisme dengan pemberitaan media.
Dalam temuan yang didapatkan, serangan teror bukan sesuatu yang dapat dilakukan hanya berdasar pada inspirasi pemberitaan. Ini karena serangan terorisme adalah sebuah proses yang membutuhkan perencanaan, misalnya terkait pengumpulan dana, perakitan bom, ataupun penentuan target.
Dengan demikian, serangan teror yang mirip atau yang terjadi dalam waktu yang berdekatan bisa saja merupakan dua serangan yang memang telah disiapkan sebelumnya, namun memiliki momentum yang berbeda. Eric Neumayera dan Thomas Plümper dalam tulisannya Galton’s Problem and Contagion in International Terrorism along Civilizational Lines menyebut kemungkinkan tersebut sebagai Galton’s problem.
Baca juga: Membaca Tiongkok di Afghanistan
Dalam contagion theory, hipotesisnya adalah serangan teror kedua diinspirasi oleh serangan teror pertama. Namun, bagaimana apabila kedua serangan dipicu oleh hal yang sama? Ini yang disebut dengan Galton’s problem.
Kembali ke dalam konteks keberhasilan kelompok Taliban dalam menguasai Afghanistan, apakah kemenangan tersebut dapat menjadi momentum untuk menginspirasi kelompok ekstremis di Indonesia?
Direktur IPAC, Sana Jeffrey lebih lanjut memaparkan bahwa Taliban telah menunjukkan kepada kelompok teroris di Asia Tenggara bahwa berperang melawan pemerintah atas nama agama dapat membuahkan hasil.
Badan Intelijen Negara (BIN) sendiri diketahui telah melakukan deteksi awal dan antisipasi dari kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di Indonesia akibat euforia terhadap kemenangan Taliban di Afghanistan.
Lebih lanjut BIN menemukan ada total 98 WNI alumni perang di Afghanistan dan beberapa WNI yang masih bergabung dengan kelompok teror di Afghanistan. Saat ini BIN terus mendekati dan memantau mereka serta melakukan pembinaan agar tidak lagi meyakini paham ekstrem dan menginspirasi gerakan serupa.
Maraknya pemberitaan internasional yang menganalisis bahwa kemenangan Taliban dapat menginspirasi kelompok ekstremis di Asia Tenggara, termasuk dari IPAC dan BIN, bisa dikatakan mengacu pada contagion theory.
Pengaruh Perubahan Ideologi?
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar memaparkan bahwa perubahan ideologi Taliban dari jihadis Wahabi menjadi bermazhab Hanafi, sangat menarik diikuti.
Hal ini merupakan adaptasi ijtihadiyah di mana mereka harus bekerja sama dengan masyarakat internasional dan mengakui hak-hak asasi manusia (HAM), hak perempuan, kaum minorias, dan sebagainya.
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia, Al Chaidar memprediksi ada kemungkinan walau kecil anggota ISIS dan gerakan ekstremis di Indonesia lainnya akan mengubah ideologinya menjadi inklusif dan bersahabat.
Baca juga: Wiranto Korban Perubahan Teroris
Terkait indikasi akan hal ini, sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar meminta seluruh masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi pemberitaan konflik antara Afghanistan dengan kelompok Taliban.
Ia menilai dengan adanya masalah tersebut, bukan tidak mungkin ada kelompok yang berusaha menggalang simpatisan.
Lebih lanjut, Boy menegaskan bahwa yang terpenting masyarakat jangan salah bersimpati, karena BNPT menemukan ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan motif baru dengan “menggalang simpati” atas euforia kemenangan dan isu-isu Taliban.
Waspada Glorifikasi?
Dari segi geopolitik khususnya dalam konteks GWOT (Global War on Terrorism), Indonesia memang menjadi negara yang cukup rentan diganggu oleh terorisme yang sel-selnya sudah sangat jelas memiliki proxy dengan kelompok di Afghanistan.
Kekhawatiran ini dikuatkan oleh temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengungkap bahwa saat ini ada beberapa sel tidur (sleeper cells) mantan mujahidin yang dulu ikut bergerilya di Afghanistan kini masih berada di Indonesia.
Jika kita analisis dari segi ideologi dan jaringan (proxy), Taliban sendiri sudah memutuskan hubungannya dengan al-Qaeda dan sudah berjanji tidak akan menyerang negara lain. Artinya mereka tidak bekerja sama dengan teroris lainnya.
Penjelasan tersebut bisa diartikan bahwa mungkin kemenangan Taliban ini tak akan berpengaruh banyak bagi gerakan terorisme di Indonesia secara langsung sekaligus mematahkan temuan LIPI soal adanya potensi “sleeper cells” di Indonesia.
Namun kita tidak bisa menganalisis secara satu langkah karena selama ini Taliban pandai memainkan strategi dan wajah yang berbeda. Pengamat isu konflik Timur Tengah Alto Laketubun membenarkan bahkan meyakini perubahan ideologi yang dilakukan Taliban hanya pencitraan belaka. Ia menduga Taliban yang sekarang masih sama seperti yang dulu.
Namun terlepas dari itu semua, dalam kasus ini sebenarnya yang harus diwaspadai Indonesia dari kemenangan Taliban adalah glorifikasi dari kemenangan gerakan tersebut.
Terkait hal ini, Kepala Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah memaparkan glorifikasi dari keberhasilan gerakan terorisme seperti ISIS dan al-Qaeda sebelumnya telah terbukti berhasil membangkitkan gerakan serupa di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, euforia dan glorifikasi atas kemenangan Taliban ini berpotensi bisa dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis di Indonesia untuk melakukan beberapa tujuan seperti menggalang simpati masyarakat bahkan untuk menggalang dana demi kegiatan mereka.
Pengamat militer Noor Huda Ismail menilai bahwa sangat besar potensi kelompok teroris yang ada di Indonesia mendapat inspirasi dari kemenangan Taliban, di mana mereka melihat bahwa kelompok Taliban mampu menunggu selama 20 tahun untuk akhirnya bisa kembali menduduki Afganistan.
Baca juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?
Huda menambahkan inspirasi itu bukan soal akan maraknya aksi teror, tetapi lebih ke perubahan ideologi atau pola hidup. “Mereka (dalam artian kelompok teroris) will do the same, menangkan dulu hati orang untuk mengubah sistem. Ancaman terbesarnya di perubahan sistem negara,” ungkapnya.
Kelompok-kelompok ekstremis tersebut diyakini akan belajar dari keberhasilan Taliban dalam merebut simpati masyarakat dengan cara tersebut, apalagi dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini cara yang sama mungkin bisa signifikan.
Pada akhirnya, dalam konteks ini kita harus tetap waspada dan berharap agar pihak-pihak terkait dapat meningkatkan mitigasi atau upaya pencegahan serangan teror ke depannya. (A72)