Globalisasi menawarkan banyak wajah, ada sisi baik dan buruk. Lantas, sisi apa yang berada di balik suplai pesawat dan pelatihan militer AS?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]edatangan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), James Mattis, pada akhir Januari 2018 lalu, ternyata membuka keran bagi suplai pesawat berikut dengan seperangkat bantuan dan pelatihan militer kepada TNI.
Tak tanggung-tanggung, bantuan itu berupa dua lusin pesawat tempur ‘bekas’ AS berjenis F-16. Kiriman tersebut, dinilai oleh peneliti dari CSIS, Evan A. Laksamana, merupakan transaksi terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah hubungan diplomatik antara AS dan Indonesia. Tak hanya itu, hal ini juga dinilai sebagai cara AS membangun hubungan yang solid dengan Indonesia di tengah-tengah hegemoni pengaruh Tiongkok di Asia. Bukan rahasia lagi jika saat ini, kekuatan Tiongkok dari segi ekonomi sedang menuju akselerasi dengan AS.
Usaha AS tersebut bahkan didukung pula oleh Dewan Hubungan Luar Negeri yang menyarankan kepada International Military and Education Training (IMET) untuk terus menyediakan dana pelatihan kepada TNI. Bahkan lembaga tersebut tidak menutupi bantuan-bantuan yang diberikan kepada Indonesia, guna memperkuat ‘sentimen pro-AS’ dan mempromosikan profesionalisme TNI.
Niat yang diutarakan oleh AS kepada pihak militer Indonesia, merupakan bagian kecil dari proses keberlangsungan globalisasi yang ada. Sejak 2016, Presiden Jokowi memang sudah lantang menyuarakan agar Indonesia bersiap menghadapi globalisasi. Langkah yang dipijak memang memperkuat posisi dagang dengan mencari kawan. “Kompetisi persaingan sudah ada di depan mata. Perbaikan yang kurang dalam menghadapi perbaikan harus dikejar siang malam. Nggak ada cara lain,” begitu jelas Jokowi.
Globalisasi sendiri, menurut Anthony Giddens, seorang sosiolog asal AS, adalah intensifikasi sosial secara mendunia, sehingga menghubungkan antara kejadian yang terjadi di lokasi yang satu dengan yang lainnya serta menyebabkan terjadinya perubahan pada keduanya. Bila dijelaskan dengan lebih sederhana lagi, globalisasi bisa pula diartikan sebagai mengecilnya sebuah negara karena adanya kemudahan komunikasi antar negara dalam berbagai bidang, salah satunya adalah perdagangan.
Nah, menarik konsep globalisme dengan usaha AS menyuplai peralatan tempur kepada Indonesia, mau tak mau menyibakkan sebuah pertanyaan seputar kegunaan peralatan mereka. Apakah dampak globalisasi seperti itu dibutuhkan oleh rakyat? Lalu bagaimana pula globalisasi awalnya berkembang?
Bermula pada Gold, Glory, dan Gospel
Globalisasi sebetulnya sudah menjejakkan kakinya sejak dulu kala. Dalam versi singkat, globalisasi banyak dibahas sebagai cara negara-negara Barat atau negara dari daratan Eropa mengekspansi dan menanamkan hegemoni (pengaruh) ke negara-negara dunia ketiga. Ekspansi ini, awalnya berusaha mencari rempah-rempah, serta menyebarkan misi utama bertajuk Gold, Glory, dan Gospel, atau yang berarti emas, kejayaan, dan pengaruh agama.
Di awal abad ke-20, ekspansi atau yang kerap disebut pula dengan westernisasi, istilah globalisasi mulai digunakan. Sementara di abad sebelumnya, istilah yang kerap digunakan bagi sebagian peneliti dan sejarah adalah imperialisme dan kolonialisme. Salah satu pihak yang menganggap globalisasi adalah bentuk evolusi dari imperialisme-kolonialisme adalah Michel Hartd dan Antonio Negri.
Walau oleh keduanya dianggap sebagai evolusi atau turunan lanjutan dari imperialisme-kolonialisme, globalisasi tentu saja tak bekerja vulgar dengan mengeksploitasi dan menghisap sumber negara yang dituju oleh Eropa. Bila saat ini penekanan simbiosis mutualisme bekerja dalam globalisasi, di abad 19 dan awal 20, sistem tersebut bekerja seperti parasit. Contoh yang paling bisa diberikan adalah bagaimana VOC Belanda berdiri sebagai perusahaan multinasional pertama di daratan Nusantara. Alih-alih menawarkan keuntungan antara kedua belah pihak, saat itu VOC berdiri menguras harta Nusantara.
Secara lebih lanjut, dalam laporan yang dihimpun oleh Visual Capitalist, keuntungan yang didapatkan VOC saat berada di Nusantara bahkan mengalahkan profit dari 20 perusahaan multinasional besar saat ini, seperti Apple, Microsoft, Amazon, Alibaba, dan lain-lain, yakni sebesar 7,9 triliun dollar AS. Tak mengherankan bila saat itu, VOC menjadi perusahaan dengan profit tertinggi di dunia karena dijalankan dari sistem imperialisme-kolonialisme.
Beranjak ke masa pos-modern, atau tepatnya di tahun 1990-an, Milton Friedman ‘menghaluskan’ pandangan ekonomi tersebut dengan istilah neo-klasik dan neolliberalisme. Posisi Friedman manjadi penting sebab teori ekonomi yang diberikannya saat itu mampu menjadi penanding dari sistem ekonomi proteksionis yang dijalankan oleh Uni Soviet dan Tiongkok. Pengaruhnya ini dikuatkan melalui Chicago School of Economics dan diteruskan salah satunya oleh Jeffrey Sachs, ekonom asal AS.
Agenda utama yang ditinggalkan oleh Friedman, pada akhirnya adalah menundukkan legitimasi politik absolut melalui demokrasi dan pasar bebas (strategi moneter). Nah, pasar bebas (laissez faire) inilah yang sebetulnya menjadi kata yang tak terpisahkan dari globalisasi itu sendiri. Dibandingkan dengan istilah imperialisme-kolonialisme, pengertian pasar bebas dan neoliberalisasi lebih dekat dengan globalisasi.
Jika sudah menyenggol istilah pasar bebas, maka tak bisa lepas pula dari istilah kompetisi, individualitas, dan modal yang besar. Di sinilah dua mata sisi globalisasi, sebagaimana halnya pasar bebas berada. Sistem ini mengharuskan tiap pribadi berkompetisi menjadi yang terbaik, begitu pula dalam hubungan diplomasi antar negara yang ditandai dengan kebebasan mencari kawan dagang, seperti yang dilakukan AS kepada Indonesia. Kerjasama ekonomi antar negara ini memang membuka keran investasi yang besar pada Indonesia, juga nilai PDB (product domestic bruto) yang juga tinggi, serta menciptakan lapangan kerja baru. Hal yang sama terjadi pada AS, pihaknya bisa menancapkan ‘hegemoni’ lewat bantuan-bantuannya.
Tetapi memang satu hal yang luput diperhatikan adalah, bagaimana rakyat atau individu yang tak punya modal untuk berkompetisi? Apakah kebutuhan mereka bisa diwadahi dari keberadaan globalisasi ini?
Apa Guna ‘Peralatan Perang’?
Bila kembali lagi pada subsidi yang dikucurkan oleh AS kepada Indonesia dalam bentuk pesawat tempur dan bantuan pelatihan militer, sebuah pemikiran seputar perang pun melintas. Buat apa pesawat dan pelatihan perang bila Indonesia sedang tidak berperang secara geopolitik? Dari sini, mudah untuk menarik kesimpulan bahwa bantuan AS tidaklah terlalu dibutuhkan.
Tetapi Mao Tse Dong, Bapak Pendiri Republik Tiongkok pernah berkata bahwa keberadaan senjata penting, tidak untuk memenangkan peperangan tetapi melindungi rakyat. Bila keadaan aman, tak hanya kekuasaan ekonomi dan politik saja yang bisa terjaga, tetapi juga moral dan manusianya pun bisa utuh.
Jepang sebagai negara pasifis yang ‘lumayan’ adem dengan negara lain saja, kini mulai beralih untuk memperkuat militernya. Semenjak Shinzo Abe naik tahta, dirinya berhenti berpikir bahwa negaranya tidak akan menghadapi ancaman serius, terutama bila melihat posisinya dengan Korea Utara dan Korea Selatan saat ini. Bukan hal mengejutkan pula bila atraksi pesawat tempur kini sering ditunjukan di negara matahari terbit tersebut.
Bila berkaca pada Abe, barangkali kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh Pemerintah Indonesia, sehingga subsidi dengan bentuk pelatihan militer dari AS pun diterima.
Sekali lagi, globalisasi memang memiliki berbagai wajah dan sisi, baik dan buruk. Kebaikannya sudah terbukti adanya, dan keburukannya bahkan tak malu diakui oleh BJ Habibie. Presiden ketiga ini bahkan pernah lantang berkata, globalisasi hanyalah bentuk neo-kolonialisme yang baru. Bila mengingat lagi usaha AS untuk membuat Indonesia menjadi pendukungnya seperti yang disebutkan di awal tulisan, keluhan Habibie bisa dipahami.
Namun Indonesia tentu akan menghadapi masalah bila keluar dari arena globalisasi, sebab bagaimanapun juga, terbukti kalau ternyata globalisasi terus berganti ‘wajah’ dan tak bisa mati. (A27)