HomeNalar PolitikGlobalis dan Ambisi Antariksa Jokowi

Globalis dan Ambisi Antariksa Jokowi

Seri Pemikiran John Mearsheimer

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan menawarkan kawasan Biak, Papua, sebagai lokasi untuk pembangunan peluncuran roket (launchpad) kepada SpaceX yang dipimpin oleh Elon Musk. Mungkinkah ambisi antariksa Indonesia ini dihantui kepentingan elite global?


PinterPolitik.com

“I’m a rocket man. Rocket man, burning out his fuse up here alone” – Elton John, penyanyi asal Inggris

Imajinasi dan bayangan akan antariksa sebenarnya sudah lama ada dalam pikiran umat manusia. Impian ini pun akhirnya baru terwujud ketika sejumlah negara adidaya – Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet – melakukan berbagai penelitian untuk menjelajahi antariksa.

Salah satu momen yang bersejarah pun terjadi pada 20 Juli 1969. Pada hari tersebut, seorang astronaut asal AS – Neil Armstrong – dikabarkan berhasil mendarat di Bulan. Kabar ini pun menjadikan dirinya sebagai manusia pertama yang menginjakkan kaki di satelit alami Bumi tersebut.

Semenjak itu, imajinasi dan bayangan manusia akan antariksa pun semakin besar. Impian untuk menjelajahi ruang hampa tanpa batas ini juga semakin meluap. Bahkan, tidak hanya AS, impian antariksa ini juga muncul di benak banyak negara, mulai dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, hingga Indonesia.

Tiongkok, misalnya, kembali memulai misi antariksanya pada tahun 1988 – kala pemerintahan pemimpin tertinggi Deng Xiaoping mendirikan Kementerian Perindustrian Astronautika. Mimpi ini pun berlanjut terus ke era Xi Jinping dengan Tiongkok yang kini mulai sejumlah program untuk menjelajahi planet Mars.

Baca Juga: Di Balik Jokowi dan Pengusaha Batu Bara

Mengupas Space Island ala Jokowi

Tidak hanya Tiongkok, impian antariksa semacam ini sepertinya juga dimiliki oleh Indonesia. Mimpi ini dimulai ketika Menteri Pertama Ir. Juanda dan R.J. Salatun membentuk Panitia Astronautika pada tahun 1962. Impian ini dilanjutkan dengan pendirian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada tahun 1963.

Kini, impian ini sepertinya masih menjadi perhatian pemerintahan sekarang, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kabarnya, beberapa waktu lalu, Jokowi sempat menawarkan sejumlah kawasan untuk pembangunan infrastruktur peluncuran roket (launchpad) kepada Elon Musk – selaku CEO dari SpaceX.

Bukan tidak mungkin, ini menjadi salah satu cara agar Indonesia bisa memiliki kemampuan antariksa yang lebih baik. Meski begitu, sejumlah penolakan pun muncul. Berdasarkan pemberitaan salah satu media asing, komunitas adat di Biak, Papua, menyatakan penolakan atas pembangunan tersebut – mengingat kerusakan lingkungan dapat terjadi.

Tentu saja, di balik ambisi antariksa Jokowi dan berbagai persoalan ini, sejumlah pertanyaan pun muncul. Mengapa ambisi antariksa menjadi penting bagi Indonesia? Lantas, tantangan apa saja yang bisa menghantui?

Menuju Status Global?

Dalam panggung politik internasional, Indonesia sebenarnya kerap kali dikenal sebagai emerging power (kekuatan baru yang tengah berkembang). Bukan tidak mungkin, negara ini memiliki ambisi tertentu – termasuk di bidang antariksa – untuk melakukan loncatan katak (leapfrog) agar bisa mencapai status tertentu dalam panggung global.

Setidaknya, hal itulah yang dijelaskan oleh Amitav Acharya – seorang profesor Hubungan Internasional di American University, AS – dalam bukunya yang berjudul The End of American World Order. Menurutnya, Indonesia adalah salah satu dari sekian emerging powers di Asia yang memiliki ambisi tersebut.

Sebenarnya, Indonesia sendiri telah dianggap sebagai hegemon kawasan (regional hegemon). Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh John J. Mearsheimer – profesor politik di University of Chicago, AS – sebuah hegemon kawasan akan berusaha menerapkan dan menjaga dominasinya di tengah anarki politik internasional.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Namun, apa yang terjadi apabila status hegemon di kawasan ini telah membawa “kebosanan” bagi aktor dominan tersebut? Di sinilah penjelasan Acharya bisa masuk. Hegemon kawasan tersebut akan melalukan leapfrog guna meninggalkan tetangga-tetangganya yang dianggap sudah tidak “glamor”.

Bukan tidak mungkin, ambisi antariksa ini bisa membuat Indonesia mengalami leapfrog yang diharap-harapkan. Bisa jadi, dengan peningkatan kapabilitas antariksa, pemerintahan Jokowi dapat menempatkan Indonesia setingkat dengan negara-negara berkekuatan global lainnya – seperti AS, Tiongkok, India, Brasil, dan sebagainya.

Dalam sejarahnya, leapfrog juga sering kali menjadi strategi yang membuahkan hasil. Jerman dan Prancis, misalnya, melakukan leapfrog di bidang industri pada abad ke-19 – melompati berbagai proses industrialisasi yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh Inggris.

Baca Juga: Pidato Jokowi, Jurus Loncat Katak

Dengan masuknya SpaceX ke Indonesia, bukan tidak mungkin leapfrog diharapkan bisa terjadi di bidang antariksa. Harapan ini juga sempat diungkapkan oleh LAPAN dalam kajiannya mengenai investasi asing di bidang antariksa.

Meski begitu, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi akan menghadapi sejumlah tantangan untuk mewujudkan ambisi leapfrog di bidang antariksa ini. Bila benar begitu, mengapa ancaman dan hambatan tersebut bisa muncul?

Kedatangan Globalis?

Pemerintahan Jokowi bisa saja mendapatkan keuntungan dalam politik luar negeri apabila kemampuan antariksa Indonesia meningkat. Namun, pemerintah tentu tidak hanya menghadapi satu permainan saja dalam wacana pembangunan launchpad oleh SpaceX ini.

Asumsi seperti ini pernah diungkapkan oleh seorang profesor politik di Harvard University bernama Robert D. Putnam. Pada akhir dekad 1980-an, Putnam mengembangkan sebuah teori – dikenal sebagai two-level game theory (teori permainan dua tingkat) – dari teori besar lainnya, yakni game theory (teori permainan).

Pada umumnya, game theory menjelaskan bagaimana dua atau lebih aktor saling berlawanan dalam sebuah permainan politik. Sementara, two-level game theory lebih menjelaskan bagaimana pemerintah harus memainkan dua tingkat permainan yang berbeda dalam menjalankan politik luar negeri, yakni tingkat domestik (dalam negeri) dan tingkat internasional (luar negeri).

Bukan tidak mungkin, Jokowi juga harus memperhatikan dua tingkat permainan ini dalam melakukan leapfrog di bidang antariksa. Bila pemerintahan Jokowi menghadapi sejumlah negara dan aktor politik luar negeri lainnya – seperti Elon Musk, pemerintah juga menghadapi situasi domestik yang berupa penolakan dari warga Biak, Papua.

Bisa jadi, Jokowi harus melawan isu separatisme yang selama ini selalu menghantui Papua. Seperti yang dijelaskan oleh Nino Viartasiwi dalam tulisannya yang berjudul Autonomy and Decentralization as Remedies?, banyak kelompok di Papua memiliki kecurigaan besar atas niat sebenarnya di balik berbagai upaya yang dilakukan Jakarta.

Dalam hal ini, wacana pembangunan launchpad di Biak, Papua, ini bisa juga menimbulkan kecurigaan tersebut. Apalagi, perusahaan-perusahaan asing asal Rusia – dan SpaceX (AS) yang terbaru – disebut-sebut pernah memiliki rencana pembangunan di kawasan tersebut.

Anggapan keberpihakan Jakarta terhadap sejumlah kepentingan asing ini bukan tidak mungkin dapat berdampak buruk terhadap hubungan pemerintah dengan masyarakat Papua. Seperti yang pernah disebutkan oleh Mearsheimer dalam pidatonya ketika menerima James Madison Award 2020, rasa-rasa nasionalisme seperti ini bisa jadi timbul akibat adanya anggapan tersebut – ketika masyarakat melihat pemerintah tengah “bersekongkol” dengan para elite global.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Hal seperti ini pernah terjadi kala Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2016 dimenangkan oleh Donald Trump – dengan munculnya berbagai keluhan ekonomi dari masyarakat menengah ke bawah di negeri Paman Sam tersebut. Bukan tidak mungkin, Jokowi juga bisa kehilangan konstituensinya di tanah Papua.

Baca Juga: Jokowi akan Kirim Pesawat ke Mars?

Jokowi Minat ke Mars

Bisa jadi, keuntungan yang diperoleh oleh elite global eksis di balik wacana launchpad SpaceX ini. Kabarnya, pembangunan launchpad di daerah khatulistiwa – dalam hal ini Biak, Papua – dapat menghemat penggunaan bahan bakar ketika roket menuju ke orbit.

Selain itu, sebagai peluncuran yang sifatnya komersial, SpaceX memiliki potensi pasar yang di kawasan Asia Tenggara dan Asia secara keseluruhan. Dalam hal ini, SpaceX dan Elon Musk dapat memperoleh keuntungan yang besar.

Uniknya, persoalan seperti ini sebenarnya persoalan klasik dalam pembangunan. Biasanya, persoalan seperti ini kerap digambarkan sebagai kontestasi nilai antara globalisme dan nasionalisme/tribalisme.

Globalisme sendiri – mengacu pada buku yang ditulis oleh Paul W. James yang berjudul Globalism, Nationalism, Tribalism – kerap didefinisikan sebagai ideologi dan subjektivitas yang dominan dalam sebuah proses perluasan global. Proses inilah yang bisa jadi biasa disebut sebagai globalisasi.

Di sinilah kontestasi nilai terus terjadi sepanjang sejarah. Bila mengacu pada tulisan Benjamin R. Barber yang berjudul Can Democracy Survive the War of Tribalism and Globalism?, dua dunia ini terus bertarung dalam menentukan nilai mana yang digunakan, yakni antara apa yang disebut Barber sebagai Jihad (tribalisme) dan McWorld (globalisme).

Bila tribalisme mempromosikan nilai-nilai asli berdasarkan kelompok identitas tertentu, globalisme justru mendorong keseragaman nilai yang lebih banyak didasarkan pada kemajuan informasi, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Harapannya, launchpad SpaceX di Papua juga membawa berbagai kemajuan tersebut – khususnya ekonomi bagi warga setempat.

Meski begitu, kembali lagi ke persoalan kontestasi nilai tersebut. Seperti yang kita ketahui, penolakan dari komunitas adat Papua terjadi akibat adanya ancaman ekologis terhadap tanah masyarakat setempat – di mana terdapat kawasan perburuan tradisional (traditional hunting grounds) yang menjadi penghidupan bagi kelompok tersebut.

Artinya, berbeda dengan konsepsi globalisme yang lebih mefokuskan kemajuan ekonomi pada perkembangan pasar dan aktivitasnya, komunitas Biak bisa jadi lebih menekankan pada upaya penghidupan yang berbeda dengan jalannya ekonomi ala Barat.

Namun, semua ini kembali kepada bagaimana pemerintah Indonesia mempersepsikan kemajuan ekonomi dan teknologi itu sendiri. Apabila standar ekonomi yang baik didasarkan pada standar global, bukan tidak mungkin wacana launchpad ini bisa membawa kebaikan terhadap masyarakat setempat – seperti memberikan lapangan pekerjaan, pasar menjadi lebih ramai, dan sebagainya.

Meski begitu, kemungkinan itu pun masih memerlukan kajian lebih dalam lagi di tengah isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Wacana ini juga masih sebatas tawaran yang belum tentu akan diambil oleh SpaceX. Jadi, mari kita nantikan saja kelanjutan dari langkah ambisi antariksa Jokowi ini. (A43)

Baca Juga: Jokowi Siap ‘Meroket’?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?