Site icon PinterPolitik.com

Giring Ternyata Bukan Ketum PSI?

Giring Ternyata Bukan Ketum PSI?

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (kiri) dan sekretaris jenderal Raja Juli Antoni membantu musisi Giring Ganesha mengenakan jaket PSI di markas partai di Jakarta. (Foto: thejakartapost.com)

Deklarasi nama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menerima cercaan warganet karena berseberangan dengan pernyataan Ketua Umum (Ketum) PSI Giring Ganesha yang sebelumnya mengatakan tidak akan mengumumkan terlebih dahulu karena masih berkabung atas tragedi Stadion Kanjuruhan. Mengapa miskomunikasi ini bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Belakangan ini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berhasil kembali menjadi sorotan publik.

Awal mulanya, Ketua Umum (Ketum) PSI, Giring Ganesha menyebutkan di Twitter bahwa partainya tidak akan membahas tentang pemutusan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Hal ini karena menurut Giring pembahasan tentang  politik akan menunjukkan rasa nir-empati di tengah masa berkabung akibat tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.

Pernyataan ini dinilai banyak warganet merupakan sindiran langsung kepada Partai NasDem karena beberapa hari setelah tragedi Kanjuruhan terjadi, partai binaan Surya Paloh tersebut mengumumkan Anies Baswedan sebagai capresnya untuk pemilihan presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti.

Namun ironisnya, tidak lama setelah Giring berkata demikian, PSI tiba-tiba saja mendeklarasikan Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo dan Zanuba Arifah Wahid alias Yenny Wahid sebagai capres-cawapres pilihan PSI di Pilpres 2024. Yang menariknya, setelah pengumuman itu, cuitan Giring soal politik dan nir empati dihapus di Twitter.

Secara politik, fenomena ini tentu sangat menarik untuk disorot. Deklarasi yang dilakukan secara tiba-tiba seakan menunjukkan bahwa Giring tampaknya tidak mendapatkan kabar terlebih dahulu tentang keputusan partainya mengumumkan capres dan cawapres di hari yang sama. Kecuali, Giring memang berniat memperlihatkan kemunafikan politik, sesuatu yang terlihat seperti bunuh diri jika itu benar.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie sudah berusaha mengklarifikasi kegaduhan yang terjadi dengan mengatakan bahwa keprihatinan terhadap peristiwa Kanjuruhan dan deklarasi capres dilakukan secara paralel. Grace juga mencoba membenarkan urgensi deklarasi capres-cawapres dengan menyebutnya sebagai hasil rembuk rakyat yang perlu segera diumumkan hasilnya.

Tapi tentu saja, sesuatu tidak bisa dipercaya begitu saja jika kita hanya melihatnya after the fact, atau setelah kejadian sudah terjadi. Di lubuk yang mendalam, miskomunikasi antara PSI dan Giring sebagai Ketum-nya menyiratkan ada sesuatu yang terjadi di belakang layar, yang tidak mereka tunjukan ke publik secara eksplisit.

Pertanyaan menggelitik yang sekiranya pas untuk membuka tulisan ini kemudian adalah, apakah Giring adalah Ketum “boneka” di PSI? Dan jika iya, kenapa ini bisa terjadi?

Ada Boneka Ada Pemain?

Politik adalah sesuatu yang segala halnya berputar kepada interaksi manusia. Karena manusia adalah subjek utama dalam politik, maka hampir bisa dipastikan bahwa segala hal yang terjadi dalam politik adalah berdasarkan intensi antar manusia yang terlibat, bukan terjadi secara tiba-tiba seperti sebuah fenomena alam.

Dan karena itu, jika ada sebuah keputusan politik yang diumumkan, pasti dalam perumusannya terjadi perundingan dan kompromi dari para aktor-aktor politik. Dengan demikian, jika ada seseorang yang memiliki sikap politik berbeda dari satu kelompok, sangat mudah untuk diinterpretasikan bahwa jangan-jangan orang tersebut tidak dilibatkan dalam perundingan yang terjadi dalam kelompok tadi.

Lantas, mungkinkah hal tersebut terjadi pada Giring dan PSI?

Bagaimana pun jawabannya, yang jelas fenomena seorang pemimpin “boneka” dalam suatu organisasi atau instansi politik adalah sesuatu yang tidak asing terjadi. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan bahwa seorang puppet leader atau pemimpin boneka ditempatkan pada sebuah jabatan yang penting tanpa benar-benar diberikan kekuatan untuk mengatur organisasi atau instansi yang ia pimpin, atau tak terlibat dalam sejumlah keputusan strategis yang dilakukan instansinya.

Apa alasan seorang puppet leader bisa terpilih? Well, Dennis menyebutkan jawabannya bisa beragam, tapi yang paling umum adalah seseorang dijadikan puppet leader karena ia dianggap memiliki popularitas yang relevan dengan zaman, ambisi dan kepatuhan yang tinggi terhadap instansi yang ia pimpin, dan yang terakhir, puppet leader tersebut juga dianggap sebagai “bantalan” politik yang cocok untuk para string pullers atau penarik benang yang menjadikannya sebagai pemimpin.

Konsep bantalan politik ini bisa dimotivasi beberapa hal, salah satunya adalah sang puppet leader bisa dijadikan bumper terdepan instansi dan para pemimpin asli di belakang layar bila ada sebuah keputusan yang hasilnya menghasilkan banyak dampak negatif. Lalu, dengan menempatkan puppet leader di bawah “lampu sorot”, pemimpin yang asli bisa bergerak lebih leluasa karena segala hal yang berkaitan dengan instansinya pasti akan ditarik ke –dan untuk- si puppet leader yang sedang bertugas, fokus terhadap para string pullers akan berkurang.

Sederhananya, string pullers yang menunjuk seorang puppet leader akan terlepas dari stigma simbol politik instansinya dan ini membuatnya mampu melakukan banyak kompromi-kompromi politik dengan berbagai pihak tanpa perlu membawa tanggung jawab seorang pemimpin.

Well, jika dugaan ini benar dan Giring ternyata hanya seorang puppet leader di PSI, maka hal tersebut sebenarnya juga mencerminkan suatu fenomena politik yang disebut particracy. Mauro Calise dalam tulisannya The Italian Particracy: Beyond President and Parliament, menyebutkan bahwa patricracy adalah sebuah sistem di mana sebuah partai politik memiliki kekuasaan yang dominan atas jabatan-jabatan yang dipegang oleh para kader-kadernya.

Umumnya, partai-partai besar di Indonesia memiliki seorang Ketum yang juga jadi simbol partai, seperti Megawati Soekarnoputri dengan PDIP dan Surya Paloh dengan NasDem. Namun, PSI sepertinya adalah sebuah partai yang keputusannya tidak terlalu ditentukan oleh sebuah jabatan Ketum, melainkan orang-orang tertentu di belakang layar. Mungkin, salah satu orang itu adalah Grace Natalie.

Dampak buruk dari partai yang memberlakukan sistem seperti ini adalah hierarki struktural yang mereka miliki tidak akan bekerja secara efektif. Akibatnya, workflow di partai tersebut hanya bisa dipahami oleh mereka-mereka yang memang sudah mengenal realitas kepemimpinan di dalamnya.

Nah, kalau semua dugaan ini benar, bagaimana kemudian kita memaknai fenomena perbedaan pernyataan Giring dan PSI?

Giring dan Blunder Puppet Leader?

Sejujurnya, praktik puppet leader dalam sebuah partai atau instansi tidak akan menjadi sebuah masalah yang terlalu besar jika tidak banyak orang yang sadar. Kembali mengutip Dennis, seorang puppet leader sesungguhnya masih memiliki peluang jadi pemimpin yang baik jika keburukannya tidak terkuak kepada publik.

Bahkan jika mampu dilakukan secara apik, seorang puppet leader mungkin malah bisa menarik simpati publik secara masif karena umumnya mereka adalah orang-orang yang memang sudah terlebih dahulu populer dan relevan dengan suatu generasi politik.

Namun, sangat disayangkan sekali indikasi puppet leader dalam PSI bisa secara eksplisit terlihat melalui kasus perbedaan pendapat Giring dan partainya. Jurnalis The Times, Michael Kinsley menyebut hal seperti ini dengan istilah political gaffe, di mana sebuah kesalahan penyampaian retorika yang dilakukan seorang politisi telah membuka kebenaran busuk yang selama ini tertutup dari mata publik.

Dengan menunjukkan bahwa ada kejanggalan dalam urusan hierarki mereka, bisa dikatakan bahwa PSI sesungguhnya telah melukai dirinya sendiri. Selain harus berurusan dengan cemoohan publik, mereka juga perlu mengatasi rasa ketidakpastian yang secara perlahan mungkin tersebar dalam internal partai, karena ambiguitas tentang siapa yang sebenarnya menentukan keputusan di partai mereka.

Oleh karena itu, seharusnya PSI bisa belajar banyak dari insiden politik ini. Sebenarnya, mungkin tidak masalah bila memang PSI memiliki puppet leader dan string pullers, yang jadi masalah adalah ketika manajemen hal tersebut tidak dilakukan secara apik.

Anyway, tentu ini semua hanya interpretasi belaka. Jawaban tentang apakah memang ada fungsi puppet leader di tubuh PSI hanya bisa dijawab oleh mereka-mereka yang terlibat dengan obrolan internal partai. Yang jelas, untuk saat ini bisa dinalarkan bahwa urusan komunikasi publik di PSI belum bisa dijalankan dengan baik. (D74)

Exit mobile version