Gestur-gestur politik Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha, khususnya terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kerap menimbulkan tanda tanya dan reaksi negatif. Apakah mungkin Giring dan PSI hanya merupakan bidak politik?
“It’s like a game of chess,” – Patrick Burns
Di awal kemunculannya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dinilai membawa harapan baru bagi politik Indonesia. Partai yang digawangi cendekiawan muda ini membawa narasi-narasi progresif yang segar. Besar harapan mereka akan mendisrupsi narasi partai-partai lama.
Namun, sebagaimana jamak dilihat, PSI tidak membawa harapan yang dibayangkan. Berbagai manuver dan gesturnya justru mendapat kritik.
Tanda tanya tersebut semakin masif seiring dengan perpindahan tampuk kepemimpinan PSI dari Grace Natalie ke Giring Ganesha. Tidak hanya soal manuver mengusung Giring di Pilpres 2024, berbagai sikap dan pernyataan Giring, khususnya terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kerap menjadi sorotan hangat publik.
Yang menarik, Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio sampai mengeluarkan dugaan bahwa manuver PSI merupakan strategi untuk mendongkrak popularitas Anies. Hendri mengemukakan tiga alasan atas dugaannya.
Pertama, PSI selalu fokus kepada Anies Baswedan. Dengan terus menerus membicarakan Anies, tentunya itu meningkatkan popularitas sang gubernur.
Kedua, PSI selalu mengkritik proyek mercusuar yang menjadi program Anies. Ini membuat banyak orang menjadi mengetahui perkembangan proyek infrastruktur utama sang DKI-1.
Ketiga, kritik yang disampaikan PSI memiliki momentum yang pas. Ini membuat sindiran PSI kepada Anies menjadi perbincangan yang ramai.
Terlepas dari apa pun itu, manuver PSI maupun Giring mengundang berbagai tanda tanya. Dengan modal citra progresif, mengapa PSI tidak fokus meningkatkan citra dan kredibilitasnya sebagai partai baru?
Mengapa PSI terus dan hanya memainkan isu DKI yang terbukti mendatangkan persepsi buruk bagi mereka? Apakah kegagalan lolos ke Senayan pada Pileg 2019 tidak menjadi pembelajaran?
Mengenal Alam Pikiran Politisi
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita perlu menjabarkan alam pikiran politisi. Di luar sana, umumnya politisi terbagi ke dalam dua jenis.
Pertama adalah politisi pemikir yang kita sebut sebagai the thinker. Politisi jenis ini jumlahnya sedikit. Mereka bertugas merancang serta mengatur strategi dan operasi yang diperlukan.
Kedua adalah politisi operator. Politisi jenis ini jumlahnya sangat banyak. Mereka bukan perakit strategi, melainkan yang menjalankan strategi. Sering kali, politisi operator tidak mengetahui grand design strategi karena hanya menjalankan bagian tertentu atau bagian kecil dari strategi.
Terkhusus politisi thinker, mereka terbagi ke dalam tiga jenis, yakni politisi pemain catur, politisi pemain kartu, dan politisi pemain catur sekaligus pemain kartu.
Politisi pemain catur memiliki satu kepribadian khas, yakni membayangkan dirinya seperti Kaisar Romawi. Seperti yang disebutkan Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, mereka yang melihat dirinya sebagai Kaisar Romawi merasa memiliki kontrol kuat dalam mengatur jalannya kebijakan.
Seperti halnya bermain catur yang tidak langsung melakukan checkmate, politisi pemain catur tidak langsung menyasar target utama. Sebelumnya, mereka akan menjalankan pion, benteng, peluncur, dan berbagai bidak lainnya. Setelah berbagai bidak saling mengikat dan/atau memakan musuh, baru kemudian checkmate dilakukan.
Sementara, politisi pemain kartu tidak menjalankan strategi serumit dan sekompleks pemain catur. Seperti bermain kartu, jika kebetulan mendapatkan kartu yang bagus, mereka akan langsung melakukan serangan pamungkas. Namun, untuk menghindari kartu atau serangan yang bisa membahayakan, politisi pemain kartu biasanya melakukan berbagai trik pembongkar (gertakan) untuk memetakan kartu atau strategi lawan.
Trik-trik tersebut misalnya dapat ditemukan dalam Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil. Dalam strategi nomor 13, disebutkan stomp the grass to scare the snake (打草驚蛇, Dǎ cǎo jīng shé). Artinya, kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya.
Strategi nomor 13 dilakukan ketika kita tidak mengetahui dengan jelas rencana musuh. Untuk kepentingan itu, kita perlu melakukan serangan untuk mempelajari reaksi musuh yang mana akan membongkar strateginya. Tentunya, ini bukan serangan penuh, melainkan lebih ke serangan gertakan.
Ada pula trik yang disebut dengan trial balloon. Strategi ini dijalankan dengan sengaja melempar informasi ke tengah publik untuk melihat dan memetakan reaksi. Jika menimbulkan resistensi, isu akan dihilangkan atau diganti. Namun, jika ada politisi yang tertarik, maka lobi-lobi belakang layar akan dilakukan.
Nah, setelah membahas politisi pemain catur dan pemain kartu, sekiranya mudah membayangkan seperti apa the thinker yang memainkan keduanya. Politisi satu ini dapat dikatakan jenius. Mereka memainkan permainan kompleks dan rumit, sekaligus memainkan trik-trik untuk membongkar kartu lawannya.
Contoh The Thinker
Ketika melakukan media visit ke PinterPolitik pada 26 Januari, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) menjawab dirinya merupakan politisi pemain catur dan pemain kartu sekaligus, ketika ditanya ia masuk jenis the thinker yang mana. Meskipun pada awalnya mengaku cukup buta perihal strategi dan trik politik, seiring waktu RK mulai belajar dan menguasai bagaimana menjadi pemain catur dan pemain kartu yang andal.
Sebagai pemain catur, RK mengatur posisi para bidak — yakni soal mana yang dimajukan dan mana yang ditarik. Sebagai pemain kartu, ia perlu menyiapkan kartu-kartu untuk mengantisipasi serangan lawan. Perlu juga untuk menebak kira-kira kartu apa yang dipegang lawan politiknya.
Selain RK, merujuk pada tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi di Project Syndicate, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya juga merupakan the thinker yang memainkan catur dan kartu sekaligus.Mahbubani memberikan berbagai pujian terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi.
Mantan Wali Kota Solo ini bahkan dibandingkan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Berbeda dengan pemerintahan Biden yang belum mendapatkan legitimasi dari 78 persen Republikan, Presiden Jokowi berhasil menyatukan Indonesia secara politik setelah mengalami pembelahan luar biasa di Pilpres 2019. Saat ini, hampir semua parpol juga menunjukkan diri ingin berada di lingkar Istana.
Kemudian, Presiden Jokowi juga disebut memainkan politik perimbangan yang baik dengan AS dan Tiongkok. Dalam diskusinya dengan Mahbubani, RI-1 menyebut telah mendorong negeri Paman Sam untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia karena investasi negeri Panda telah jauh lebih besar dalam beberapa tahun terakhir ini. Penekanan-penekanan Mahbubani tersebut telah dibahas rinci dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Jokowi si Politisi Jenius?.
Singkatnya, merujuk pada pujian-pujian Mahbubani, Presiden Jokowi mestilah memiliki keterampilan merakit dan menjalankan strategi yang hebat. Mestilah RI-1 merupakan pemain catur dan pemain kartu sekaligus. Tidak hanya mengurus politik domestik, Presiden Jokowi juga memainkan politik internasional dan bersinggungan dengan dua kekuatan besar dunia saat ini, AS dan Tiongkok.
Pemain atau Bidak?
Nah, sekarang, setelah membahas panjang lebar soal jenis-jenis politisi, kita akan menjawab pertanyaan di awal tulisan. Jika Giring dan PSI merupakan politisi peramu strategi, tentu langkah yang diambil adalah mengevaluasi manuver yang terbukti tidak mendatangkan feedback positif. Seperti dalam trik trial balloon, isu yang menimbulkan resistensi akan diganti atau dihilangkan.
Namun, seperti yang diketahui, isu yang mendapatkan resistensi itu justru terus dilakukan secara berulang. Bahkan, ini menimbulkan dugaan plot twist dari Hendri Satrio yang menyebut PSI sedang membantu Anies untuk menaikkan popularitasnya.
Sedikit berspekulasi, bertolak pada berbagai keganjilan yang ada, mungkin dapat dikatakan Giring dan PSI merupakan politisi operator. Alih-alih sebagai pemain bidak, mereka justru adalah bidak atau pion yang dimainkan.
Jika asumsi tersebut tepat, terkhusus pada Giring, kita dapat memahaminya melalui teori puppet leader. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi menjelaskan puppet leader sebagai metafora untuk menggambarkan pemimpin yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pihak lain – tepatnya kekuatan lain.
Kendati puppet leader umumnya ditemukan di pemerintahan otoriter, dalam pemerintahan demokratis, puppet leader dapat muncul dengan dua elemen fundamental. Pertama, adanya penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang ingin mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi tersebut jika nantinya terpilih.
Well, tentu sukar memverifikasi asumsi ini. Namun, yang jelas, PSI dan Giring perlu menjawab persepsi publik terkait keganjilan manuver politik mereka.
Sebagai penutup, perlu untuk digarisbawahi bahwa artikel ini merupakan analisis teoretis semata. Apa pun yang terjadi dengan PSI dan Giring, hanya pihak-pihak terkait yang mengetahuinya. Namun, sebagai animal symbolicum, kita senantiasa menafsirkan fenomena ke dalam simbol-simbol dan rasionalisasi. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.