Site icon PinterPolitik.com

Giring, Capres Penyelamat PSI?

Giring, Capres Penyelamat PSI

Giring Ganesha (tengah) bersama Ketum PSI Grace Natalie (kiri) dan Sekjen PSI Raja Juli Antoni (kanan) di Jakarta pada September 2017 silam. (Foto: Jakarta Post)

Giring Ganesha mengumumkan pencalonannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sekaligus ditunjuk untuk menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ada apa dengan PSI saat ini?


PinterPolitik.com

“And the politicians always mislead the youth, youth, youth, youth” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Generasi muda memang kerap dianggap sebagai generasi penggerak sosial dan politik di masyarakat. Dengan energi yang besar, mereka-mereka yang masih berusia belia biasa ini menjadi sosok dan kelompok di balik perubahan-perubahan yang signifikan.

Hong Kong, misalnya, merupakan salah satu kota yang dianggap memiliki gerakan kaum muda yang cukup besar dan kuat. Kota yang dulunya merupakan wilayah administrasi Inggris ini, akhir-akhir ini mengisi headline berita di berbagai negara.

Bagaimana tidak? Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping dianggap ingin menyudahi otonomi yang dimiliki Hong Kong. Bahkan, pemerintah negara Tirai Bambu tersebut telah memberlakukan undang-undang baru terkait keamanan nasional.

Alhasil, kelompok muda Hong Kong sebagai generasi yang paling terdampak maju di barisan terdepan guna memprotes langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Xi. Mereka pun dikenal dengan gerakan payung sebagai simbolisme perjuangan mereka.

Apa yang terjadi di Hong Kong sebenarnya juga merefleksikan bagaimana gerakan kaum muda dapat memberi gebrakan, termasuk dalam sejarah Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Presiden Soekarno, kelompok muda merupakan generasi yang dapat mengguncang dunia.

Gebrakan mereka juga terlihat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kalau bukan karena generasi muda, mungkin tidak akan ada Peristiwa Rengasdengklok dan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 bisa saja tidak akan pernah terjadi.

Tidak hanya dalam sejarah, pemimpin-pemimpin muda baru pun mulai bermunculan di abad ke-21 ini. Presiden Prancis Emmanuel Macron, misalnya, menjadi salah satu wajah bagaimana tokoh yang berusia muda dapat menjadi kepala pemerintahan.

Mungkin, keberhasilan Macron inilah yang menjadi inspirasi bagi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pasalnya, selain unjuk diri sebagai partai anak-anak muda, partai ini juga kini berani menunjuk calon presiden yang bisa dibilang masih junior dalam politik.

Calon tersebut adalah Giring Ganesha. Mantan vokalis band Nidji ini juga ditunjuk oleh Ketua Umum (Ketum) PSI Grace Natalie untuk menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Ketum selama setahun ke depan.

Manuver yang dilakukan Giring ini memang bisa dibilang mengejutkan. Pasalnya, di antara nama-nama potensial seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Giring tidak memiliki pengalaman dan karier politik yang panjang.

Alhasil, sejumlah pertanyaan akhirnya membekas di benak masyarakat. Mengapa Giring memutuskan untuk maju dalam Pilpres 2024? Lantas, adakah dinamika politik di PSI yang mendasari pencalonannya?

Star Power?

Boleh jadi, optimisme Giring untuk maju dalam Piplres 2024 didasarkan pada modal politik yang dimilikinya. Sebagai musisi populer, Plt. Ketum PSI ini juga telah mengumpulkan suara yang cukup besar dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) pada tahun 2019 lalu.

PSI sendiri menyatakan bahwa dipilihnya Giring didasarkan pada alasan bahwa ia dianggap memiliki popularitas dan elektabilitas yang cukup mumpuni di kalangan politisi PSI.

Alasan dari PSI ini bisa saja masuk akal. Pasalnya, seorang selebriti biasanya turut memiliki modal tertentu untuk terjun ke dunia politik. Bagaimana tidak? Meski PSI tidak lolos untuk duduk di kursi Senayan, Giring justru mendapatkan suara yang cukup besar jumlahnya pada tahun 2019, yakni sebanyak 47.069 suara.

Hal ini turut dijelaskan oleh Paul ‘t Hart dan Karen Tindall dari Australian National University (ANU) dalam tulisan mereka yang berjudul Leadership by the Famous. Mereka menyebut modal ini dengan istilah “star power”.

Hart dan Tindall dalam tulisan tersebut setidaknya mencontohkan beberapa penggunaan star power seperti ini dalam politik, khususnya di dunia aktivisme. Salah satunya adalah bintang film Hollywood yang bernama Angelina Jolie yang aktif di dunia humaniter.

Tulisan itu juga menjelaskan bahwa para selebriti tetap dihormati oleh banyak orang meski masyarakat memiliki tendensi untuk mempercayai politisi. Hal ini dapat menjadi modal pembeda antara politisi artis dengan politisi pada umumnya.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, terdapat juga beberapa politisi yang sukses menjadi dalam pemilihan umum (Pemilu). Beberapa di antaranya adalah mantan Presiden AS Ronald Reagan dan mantan Gubernur California Arnold Schwarzenegger.

Tidak hanya AS, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky juga merupakan selebriti yang bergerak di bidang akting dan komedi. Ia pun menjadi pilihan alternatif di antara para politisi lama di panggung Pemilu Ukraina pada tahun lalu.

Popularitas ala selebriti seperti ini sebenarnya juga dapat dijelaskan melalui tulisan milik Kimberly Casey yang berjudul Defining Political Capital. Dalam tulisan itu, Casey menyebutkan istilah “name recognition” atau pengakuan sebagai salah satu modal sosial yang dapat ditransformasikan menjadi modal politik.

Selain itu, bila mengacu pada tulisan Casey, Giring dan PSI sendiri bisa saja memiliki modal finansial yang dapat ditransformasikan menjadi modal politik. Layaknya Zelensky yang didukung oleh pengusaha besar yang bernama Igor Kolomoisky, PSI juga disebut-sebut disokong oleh sejumlah sosok yang dekat dengan pengusaha – seperti Sunny Tanuwidjaja dan Jeffrie Geovanie yang menjadi Dewan Pembina PSI.

Meski begitu, perjalanan Giring bisa dibilang tidak akan mudah. Sebagai partai kecil, PSI akan kesulitan untuk mengajukan nama mantan vokalis Nidji ini sebagai capres yang kuat pada tahun 2024 nanti. Partai ini sendiri sebelumnya tidak memenuhi ambang batas parlemen pada tahun 2019.

Bila PSI akan menghadapi tantangan tersebut, lantas, mengapa partai ini tetap mendukung pencalonan Giring pada tahun 2024 mendatang? Apa dinamika politik yang terjadi di internal PSI sendiri?

Untuk Selamatkan PSI?

Kesulitan yang akan dihadapi Giring pada pencalonannya nanti memunculkan dugaan akan adanya manuver tertentu dari PSI. Sejumlah pihak menilai bahwa pengumuman pencalonannya hanyalah merupakan gimmick politik.

Ernest Prakasa yang juga berasal dari golongan selebriti, misalnya, menganggap pencalonan Giring sebagai ajang politik yang tidak serius. Dengan mentah, pelawak dan sutradara film tersebut mengaku tidak akan mendukung Giring.

Asumsi yang mirip juga datang dari M. Qodari. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer tersebut, pencalonan Giring hanya menjadi gimmick politik. Hal ini disebabkan karena PSI juga masih membutuhkan dukungan partai-partai politik besar yang kemungkinan telah memiliki preferensi calonnya sendiri.

Selain kesulitan yang akan dihadapi oleh PSI, Qodari juga menganggap bahwa gimmick ini hanya ditujukan untuk memperkenalkan Giring sebagai Plt. Ketum PSI selama setahun ke depan.

Lantas, bila benar apa yang dikatakan Ernest dan Qodari, mengapa Giring tetap tampak optimis mengumumkan pencalonannya sebagai capres di tahun 2024 mendatang? Mengapa Giring perlu diperkenalkan sebagai Plt. Ketum PSI?

Bukan tidak mungkin, terlepas dari keputusan Grace untuk melanjutkan studinya di Singapura, alasan politik turut mendasari gimmick upaya unjuk gigi Giring ini. Mantan vokalis Nidji tersebut bisa jadi telah dipersiapkan oleh Grace untuk mengatasi persoalan internal dari PSI sendiri.

Pasalnya, beberapa waktu lalu, ketidakpuasan diduga turut tumbuh di internal PSI. Ini mulai terlihat dari kabar mundurnya seluruh pengurus DPD PSI Jember di Jawa Timur.

Kabarnya, pengurus DPD PSI Jember memiliki visi yang tidak sejalan dengan DPP PSI. Mereka juga menyebutkan bahwa DPD PSI Jember merasa diabaikan setelah Pemilu usai setahun yang lalu. Bahkan, konsolidasi di kalangan internal partai juga disebut sangat minim.

Bisa jadi, ini adalah pertanda bahwa Grace mulai mendapatkan tantangan dari internal PSI sendiri. Asumsi seperti ini pernah dijelaskan oleh Fredrik Bynander dan Paul ‘t Hart dalam tulisan mereka yang berjudul The Politics of Party Leader Survival and Succession.

Dalam tulisan itu, Bynander dan Hart menjelaskan bahwa pergantian pemimpin – seperti yang dilakukan Grace dengan menunjuk Giring – ini biasa terjadi dalam suatu partai. Biasanya, munculnya pemimpin baru seperti ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kekalahan dalam Pemilu, tantangan internal, dan skandal.

Bukan tidak mungkin, apa yang terjadi di DPD PSI Jember merupakan pertanda dari tantangan internal yang dihadapi Grace. Belum lagi, PSI secara nasional memang mengalami kekalahan politik karena tidak mendapatkan satu kursi pun dalam Pemilu 2019 lalu.

Munculnya Giring dalam diskursus publik ini boleh jadi merupakan manuver PSI untuk menyelamatkan diri dari tantangan-tantangan tersebut. Meski begitu, sebagai politisi, Giring sendiri juga masih terbilang baru.

Pertanyaan-pertanyaan akan kemampuan Giring juga tidak dipungkiri akan terus bermunculan ke depannya. Menarik untuk diamati kelanjutan dari manuver PSI dan Giring ini. (A43)

Exit mobile version