Dengarkan Artikel Ini:
Dalam debat calon wakil presiden (cawapres) Minggu 21 Januari lalu, cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menuai banyak sorotan terkait gestur menarik yang ditunjukkan dalam debat.
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka memperoleh banyak pro dan kontra terkait penampilannya dalam debat.
Banyak pihak yang menilai Gibran tidak menunjukkan rasa hormat terhadap kedua lawan debatnya yang jauh lebih senior karena melakukan beberapa gimmick dalam bertanya maupun menjawab pertanyaan.
Salah satunya, Gibran melakukan gestur seolah sedang mencari-cari jawaban saat menanggapi jawaban cawapres nomor urut 3 Mahfud MD.
Gestur Gibran itu dinilai merendahkan Mahfud yang jauh lebih senior dalam dunia politik dan pemerintahan. Seharusnya, Gibran dinilai bisa lebih menghormati lawan-lawan debatnya itu.
Setelah debat, banyak narasi yang menyatakan Gibran adalah cerminan anak muda yang “songong” dan tidak menghormati orang yang lebih senior.
Namun, Sekretaris TKN Prabowo-Gibran Nusron Wahid menilai apa yang dilakukan Gibran itu adalah bentuk spontanitas anak muda dan tidak dipersiapkan oleh tim TKN.
Nusron juga menganggap maksud Gibran adalah memecahkan kebekuan agar suasana debat tidak terlihat kaku dan monoton, bukan bermaksud untuk mengejek Mahfud.
Pembelaan atas aksi Gibran juga disampaikan oleh sang adik yang juga Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep. Dia menyampaikan jika apa yang dilakukan Gibran adalah tingkah laku sang kakak sehari-hari yang memang suka bercanda.
Selain itu, ada juga publik yang menilai Gibran adalah contoh anak muda yang berani melakukan terobosan dan mendobrak cara-cara lama.
Lantas, benarkah kritik dan apa yang dilakukan Gibran dalam debat cawapres kemarin adalah bentuk merendahkan lawan debat?
Anak Muda Harus Tunduk?
Ada pepatah yang mengatakan, “semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin yang menerpa”. Pepatah itu berarti, semakin tinggi posisi seseorang, maka akan semakin banyak ujian dan cobaan yang datang.
Mungkin pepatah itu cocok untuk menggambarkan apa yang sedang dialami oleh Prabowo-Gibran dalam kontestasi elektoral 2024.
Dengan popularitas dan elektabilitas yang selalu berada di posisi paling atas, membuat banyak pihak yang ingin menjatuhkan pasangan tersebut.
Hal ini kiranya bisa dilihat dengan munculnya label songong, sombong, dan tidak beretika kepada Gibran setelah berhasil menjawab atau melemparkan pertanyaan dengan esensi yang akademik dalam debat.
Namun, Gibran yang dinilai masih terlalu muda dan minim pengalaman dalam berpolitik, justru tampaknya lebih menunjukkan kematangan sikap dalam berdebat dibanding kedua lawannya yang jauh lebih senior.
Dalam debat itu, terlihat ada kontradiksi ketika upaya mempermalukan lawan dengan cara disasosiasi antara pertanyaan Gibran yang akademik dibalas dengan hal yang berbau moralitas oleh cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Ajang debat kontestasi dalam pemilihan presiden sejatinya adalah momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara.
Di dalamnya terungkap dinamika perdebatan ide dan visi antara kandidat yang bersaing untuk menduduki posisi tertinggi.
Hal ini bisa dilihat dari tinjauan antropologi. Dalam perspektif antropologi dikenal konsep identitas politik yang dapat dipahami sebagai konstruksi sosial yang melibatkan berbagai elemen, termasuk budaya, nilai, dan pandangan dunia.
Stuart Hall dalam The Question of Cultural Identity menjelaskan identitas budaya berfokus pada dinamika dan perubahan, menekankan bahwa identitas tidak statis dan selalu terbentuk dalam hubungan dengan “the other” (yang berbeda).
Debat yang seharusnya menjadi wadah untuk menyampaikan ide-ide dengan rasionalitas dan mendalam, namun terdapat kecenderungan penurunan kualitas debat.
Perubahan pola pemikiran yang mendasari ini dapat dilihat dari sikap kurang rasional saat menjawab pertanyaan.
Sebagai contoh, menganggap pertanyaan sebagai ‘recehan’ dan mengaitkannya dengan moralitas seperti yang ditunjukkan oleh Mahfud dan Cak Imin mencerminkan kurangnya keseriusan terhadap isu-isu yang seharusnya menjadi fokus dan substansi utamanya.
Gibran Titisan Raja Alexander?
Dengan berbagai gimmick yang dilakukannya dalam debat cawapres membuat publik menilai Gibran telah mendobrak nilai-nilai lama yang kerap menjadi ciri khas anak muda.
Maka, tak berlebihan kiranya jika Gibran dapat kita samakan dengan Raja Yunani Kuno dari Kerajaan Makedonia, yakni Alexander The Great.
Dia dinobatkan sebagai Raja pada usia 20 tahun dan juga dikenal sebagai Raja yang menyebarkan budaya Yunani.
Alexander menjadi Raja yang hebat bukan hanya karena usahanya sendiri, tetapi juga sosok mentor yang berada disekitarnya.
Raja Filipus II dari Makedonia yang merupakan ayah dari Alexander mempekerjakan salah satu filsuf terbesar dalam sejarah, yakni Aristoteles yang mempunyai tugas untuk mendidik Alexander yang saat itu masih berusia 13 tahun.
Hingga dia kemudian meneruskan takhta ayahnya yang tewas dibunuh pada pernikahan Cleopatra dari Makedonia pada 336 SM.
Alexander dikenal sebagai raja yang dikenal tidak pernah kalah dalam perang, dan berhasil menaklukkan wilayah Semenanjung Balkan, Mesir, hingga wilayah Asia yang kini menjadi Pakistan selama 13 tahun kepemimpinannya.
Layaknya Alexander, Gibran dinilai sebagai anak muda yang berani melakukan terobosan dengan menggunakan pembangunan ekonomi hijau, digitalisasi, hingga teknologi terbarukan.
Selain itu, Gibran juga dinilai telah melampaui kemampuannya sebagai anak muda, karena bisa menjawab berbagai pertanyaan dari dua kandidat yang lebih senior.
Dalam debat cawapres, Gibran membuktikan dirinya telah menguasai materi debat sehingga dapat membungkam kandidat lainnya dalam medan debat.
Atas dasar itu, tak berlebihan kiranya jika Gibran disamakan seperti Alexander The Great yang menjadi penakluk dalam usia muda dalam medan peperangan.
Well, perlu diingat juga gimik yang dilakukan Gibran diperuntukkan untuk segmennya, yakni millenial dan gen Z. (S83)