Site icon PinterPolitik.com

Giliran Sandiaga Klaim Budaya Malaysia?

giliran sandiaga klaim budaya malaysia

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengenakan pakaian adat salah satu daerah dalam suatu kegiatan. (Foto: Istimewa)

Publik Indonesia kembali diramaikan oleh isu klaim budaya yang dilakukan oleh Malaysia yang dikabarkan ingin mengajukan Reog sebagai warisan budaya ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno malah sindir balik dan menyebut bahwa dirinya tidak pernah mendengar istilah “Reog Kelantan” atau “Reog Kuala Lumpur”.


PinterPolitik.com

Bagi mereka yang memiliki dan tumbuh bersama saudara atau saudari, pertengkaran mungkin bukanlah hal yang asing lagi. Tidak jarang, gesekan-gesekan antar-saudara terjadi meskipun sebenarnya mereka saling menyayangi.

Saat harus berbagi mainan yang jumlahnya terbatas, misalnya, pertengkaran akhirnya tidak jarang terjadi. “Kan, kemarin kamu udah. Sekarang giliranku,” merupakan kata-kata yang kerap kali terucap saat upaya perebutan ini terjadi.

Pertengkaran antar-saudara yang umum terjadi dalam rumah ini tampaknya juga terjadi di tingkat negara. Bagaimana tidak? Di banyak kawasan, negara-negara serumpun dan masih sedarah biasanya berakhir pada pertengkaran – bahkan peperangan.

Coba kita ambil Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) sebagai contohnya. Dua negara yang memiliki asal-usul dan akar sejarah yang sama ini malah berakhir pada persaingan dan pertempuran – yang mirisnya disebabkan oleh warisan Perang Dingin antara negara-negara adidaya pada paruh akhir abad ke-20.

Selain Korsel dan Korut, pertengkaran antar-saudara ini tampaknya juga terjadi di kawasan Asia Tenggara, yakni antara Indonesia dan Malaysia. Pasalnya, perdebatan antara negara mana yang lebih baik sering terjadi di antara para warganet kedua negara ini.

Saat tim nasional (timnas) Indonesia dan Malaysia bertemu di laga semifinal ASEAN Football Federation (AFF) Cup 2020 pada akhir tahun 2021 lalu, misalnya, media massa maupun media sosial (medsos) diramaikan oleh berita dan kabar terkait kemenangan Indonesia. Berbeda dengan pertandingan melawan timnas negara lain, banyak pendukung justru merasa lebih bangga ketika berhasil timnas Malaysia mengalami kekalahan.

Bukan hanya soal rivalitas sepak bola, perdebatan antara warga Indonesia dan Malaysia – khususnya di ruang internet – sudah terjadi sejak dekade 2000-an. Pada tahun 2009 silam, misalnya, sebuah kontroversi muncul setelah Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Malaysia menyertakan tari pendet asal Bali dalam video iklan pariwisata mereka.

Perdebatan soal klaim budaya antara Indonesia dan Malaysia ini kerap terjadi di banyak unsur budaya lainnya – seperti masakan rendang asal Sumatera Barat (Sumbar), lagu Rasa Sayange ciptaan Paulus Peal, hingga batik. Mungkin, inilah mengapa akhirnya sejumlah lembaga dan kementerian – seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) – berusaha mengajukan sejumlah kebudayaan Indonesia agar diakui sebagai warisan budaya Indonesia oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

Namun, upaya saling klaim antara Indonesia dan Malaysia ini tampaknya terus terjadi berulang-ulang meskipun perdebatan semacam ini sudah terjadi sejak tahun 2000-an. Buktinya, isu soal klaim Reog Ponorogo muncul kembali akhir-akhir ini.

Mengapa perdebatan semacam ini terus terjadi? Apakah ini secara alami terjadi karena kedua negara tersebut merupakan negara serumpun? Atau, apakah mungkin ada konsekuensi strategis di balik perdebatan budaya antara Indonesia dan Malaysia?

Gara-gara Indonesia-Malaysia Serumpun?

Salah satu penyebab umum yang disebut akhirnya memunculkan perdebatan klaim budaya Indonesia-Malaysia ini adalah alasan kedekatan kultural antara kedua negara. Pasalnya, sebelum kekuatan-kekuatan kolonial datang ke kawasan ini, jalinan antar-suku bangsa telah terjadi melalui jaringan perdagangan yang ada di kawasan maritim Asia Tenggara.

Tentunya, dalam upaya perdagangan, bahasa Melayu lah yang menjadi bahasa bersama (lingua franca) di antara suku-bangsa dan kerajaan yang tersebar di kawasan ini. Inilah mengapa akhirnya kekuatan-kekuatan kolonial di Asia Tenggara – seperti Britania Raya (Inggris) dan Belanda – memilih menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa formal kedua mereka di Hindia Belanda dan Malaya Britania.

Salah satu alasan mengapa Bahasa Melayu akhirnya dikembangkan ulang menjadi Bahasa Indonesia oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia adalah karena bahasa tersebut cukup sederhana dan telah digunakan dalam pendidikan dan administrasi Hindia Belanda.

Di sisi lain, jalannya perdagangan di antara kerajaan-kerajaan maritim Asia Tenggara pada era pra-kolonial pun berujung pada perpindahan manusia di antara suku-suku bangsa yang ada. Flores Tanjung dalam tulisannya yang berjudul Awareness of History Nation Serumpun (Indonesia-Malaysia) menjelaskan bahwa perpindahan antar-suku bangsa ini disebut sebagai merantau.

Budaya merantau ini akhirnya menimbulkan perpindahan budaya di antara suku-suku bangsa di Asia Tenggara maritim. Secara tidak langsung, unsur-unsur identitas kultural mereka juga terbawa. 

Inilah mengapa sejumlah unsur budaya yang secara wilayah modern ada di Indonesia juga eksis di wilayah-wilayah kedaulatan modern Malaysia. Perantauan ini pun masih terjadi hingga kini – dengan kedatangan pekerja-pekerja migran Indonesia ke Malaysia.

Namun, persoalan klaim budaya antar-negara ini menjadi semakin pelik karena unsur-unsur budaya ini berbenturan dengan batas-batas negara-bangsa yang terbangun di era kontemporer. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Malaysia kini menjadi dua negara yang masing-masing berdaulat dan berdiri secara mandiri.

Diskursus soal klaim budaya oleh Malaysia ini juga menjadi keprihatinan para pejabat negara Indonesia – mulai dari Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyebutkan adanya keinginan Malaysia untuk mengklaim Reog hingga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno yang menyindir Malaysia. Bukan tidak mungkin, ini menunjukkan adanya konsekuensi strategis di balik upaya perebutan identitas kultural antara dua negara ini.

Lantas, konsekuensi strategis seperti apa yang akan dihadapi oleh Indonesia bila akhirnya nanti Malaysia berhasil mengklaim sejumlah unsur budaya? Mengapa Malaysia selalu berupaya untuk mengklaim budaya-budaya negara kita?

Suka Klaim Budaya Karena Insecure?

Insiden klaim budaya Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia sebenarnya terjadi akibat fondasi pembangunan identitas nasional dari negeri jiran. Pasalnya, berbeda dengan Indonesia, Malaysia masih memiliki dasar ke-Melayu-an sebagai identitas nasionalnya. 

Setelah sebagai negara berdaulat yang lepas dari kolonisasi Britania Raya, Malaya (sekarang Malaysia) membutuhkan kejayaan (grandiose) dari masa lampau untuk membangun identitasnya sebagai sebuah negara-bangsa – yakni dengan mendasarkan negara-bangsa Malaya pada kerajaan dan kesultanan masa lalu seperti Melaka, Johor, Perak, Kedah, dan Trengganu.

Mengacu pada tulisan Riwanto Tirtosudarmo yang berjudul The Orang Melayu and Orang Jawa in the ‘Lands below the Winds’, Malaysia mendasarkan identitas ke-Melayu-annya pada model sejarah yang diperkenalkan oleh seorang Britania yang bernama Sir Richard Winstedt. Identitas ke-Melayu-an ini – mengacu pada penjelasan Alex Au Wipang di tulisan Who is Malay? – semakin dianggap penting dengan kehadiran etnis-etnis lain di Malaysia seperti Tionghoa dan India.

Wipang juga menyebutkan bahwa kebutuhan akan grandiose identitas ini menjadi salah satu alasan mengapa orang-orang Malaysia selalu merasa bahwa orang-orang Indonesia menjadi bagian dari identitas ke-Melayu-an. Alhasil, budaya-budaya yang ada di Indonesia dianggap menjadi bagian integral dari kelompok Melayu.

Saat Perdana Menteri (PM) Malaysia Ismail Sabri Yakoob mengusulkan Bahasa Melayu untuk menjadi salah satu bahasa resmi ASEAN, misalnya, ada asumsi dari sejumlah ahli di Malaysia yang menganggap bahwa Bahasa Indonesia merupakan salah satu varian dari Bahasa Melayu. Usulan ini akhirnya mendapatkan penolakan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim karena menganggap Bahasa Indonesia lebih layak.

Penolakan Nadiem sebenarnya bukan tanpa alasan. Meskipun Bahasa Indonesia memiliki akar dari Bahasa Melayu, ada perasaan dari masyarakat Indonesia bahwa Bahasa Indonesia berbeda dengan Bahasa Melayu.

Wipang dalam tulisannya tadi juga menyebutkan bahwa ada perasaan bahwa identitas ke-Indonesia-an tidak didasarkan pada kejayaan masa lalu seperti Malaysia – kecuali soal sejarah Majapahit yang juga memiliki kebudayaan lebih dekat ke Jawa dibandingkan Melayu. Selain itu, identitas nasional Indonesia sejak era perjuangan kemerdekaan lebih didasarkan pada identitas kepulauan yang berpusat pada ibu kota Batavia (sekarang Jakarta).

Inilah mengapa masyarakat Indonesia merasa tidak perlu untuk menganggap Malaysia sebagai bagian dari rumpun mereka. Suku-suku bangsa di kepulauan Indonesia lebih melihat diri mereka sebagai kelompok-kelompok yang memiliki peran masing-masing sebagai bagian dari identitas ke-Indonesia-an secara keseluruhan.

Mungkin, identitas ke-Indonesia-an yang tidak didasarkan pada kejayaan masa lalu ini merupakan blessing (berkah) bagi negara-negara tetangga seperti Malaysia. Pasalnya, bukan rahasia umum lagi bahwa Indonesia memiliki bakat ekspansionisme.

Jika grandiose masa lalu ala Majapahit tercetak dalam DNA ke-Indonesia-an, bukan tidak mungkin justru Indonesia lah melakukan berbagai upaya klaim budaya dari negara-negara tetangga yang dianggap sebagai subordinate – seperti yang dilakukan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap Korea dengan mengklaim sejumlah unsur budaya seperti hanbok dan kimchi

Lagipula, sebagai sebuah negara-bangsa modern, sudah waktunya Malaysia membangun identitas ke-Melayu-annya secara mandiri tanpa membutuhkan entitas negara-bangsa lainnya. Mungkin, bak hubungan persaudaraan ketika sudah dewasa, sudah waktunya untuk tidak mengambil hak milik saudara sendiri. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version