Pengamat yang satu mengatakan, calon dari kalangan Islam paling baik untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pengamat yang lain mengatakan, Partai Demokrat lebih baik berkoalisi dengan Jokowi.
PinterPolitik.com
Siapa saja pengamat-pengamat yang dimaksud? Pertama adalah Taufik Febri dari Lingkar Survei Indonesia (LSI), yang mengatakan adalah baik kalau calon wakil presiden (cawapres) Jokowi berasal dari kalangan Islam yang masih muda. Sementara yang kedua adalah Hanta Yuda dari Poltracking, yang menyebut baiknya Partai Demokrat tidak membentuk poros ketiga, tapi bergabung dengan poros Jokowi.
Beberapa hari terakhir, sejumlah partai Islam memang sudah berbondong-bondong mengajukan cawapres kepada Jokowi. Partai-partai ini punya kelebihan dan kedekatan yang berbeda-beda dengan Jokowi, dan bermanfaat bagi sang presiden untuk mengisi kelemahan politik Islamnya.
PPP Sebut Dukungan Umat Islam Menengah pada Jokowi Lemah #Pilpres2019 https://t.co/qeIsBdUoAB
— JPNN.com (@jpnncom) November 7, 2017
Ada PKB yang sudah cukup lama mengajukan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Kedekatan Jokowi dengan Cak Imin pun sudah terlihat beberapa kali, khususnya saat Jokowi meresmikan kereta Bandara Soekarno-Hatta.
Lalu, ada pula PPP yang mengajukan nama ketua umumnya Romahurmuziy (Romi). Jokowi dan Romi terlihat bersama saat peresmian beberapa venue Asian Games di Senayan, awal bulan ini.
Yang tak diduga, dua partai yang cenderung berseberangan dengan Jokowi, yakni PAN dan PKS pun disebut-sebut sudah mengajukan nama cawapres kepada sang presiden. PAN mengajukan nama ketum Zulkifli Hasan, sementara Ketum PKS Sohibul Iman menyebut tengah menyeleksi tokoh di internal partai.
Sejauh mata memandang, hanya empat partai di atas yang menjadi partai Islam aktif saat ini, dan keempatnya sudah berusaha mendekatkan diri ke Jokowi. Lalu, adakah “partai Islam” lainnya?
Beberapa pihak menyebut partai poros tengah, yakni Demokrat pun sebenarnya punya kapasitas untuk menawarkan nuansa Islam-nya untuk Jokowi.
Lebih dari itu, nuansa Islam-militer yang kuat selama sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun disebut-sebut dapat jadi tawaran menarik untuk Jokowi.
Suksesnya Demokrat “Berfusi” dengan Islam
“Kita harus memberi contoh bagaimana Islam yang benar sesuai dengan firman Allah. Kalau dijalankan, gelombang islamophobia bisa diredam.”
-Susilo Bambang Yudhoyono-
Sejak 9 September 2001, Demokrat didirikan sama sekali bukan oleh orang-orang dengan latar belakang Islam yang kuat. Vence Rumangkang (pebisnis), alm. Achmad Yani Wachid (sosiolog), Subur Budhisantoso (antropolog), Irzan Tanjung (ekonom), sampai alm. Heroe Syswanto Ns (seniman) bukanlah bagian dari para pemuka Islam atau tokoh yang penuh dengan pemikiran Islam.
Namun, SBY sendiri yang diusung sebagai calon presiden, disebut-sebut merupakan sosok yang lebih Islami daripada yang nampak di luar. Dino Patti Djalal dalam bukunya Harus Bisa: Seni Memimpin ala SBY, mengatakan bahwa SBY sebenarnya dilahirkan dekat dengan budaya santri, di Pacitan, Jawa Timur. Kedekatan dengan budaya santri ini, tegas Dino, menjadikan Sang Jenderal Pemikir ini pun memiliki legitimasi politik di kalangan santri.
Dengan modal tersebut, nyatanya Demokrat sukses merebut kesetiaan partai-partai Islam pasca menang Pemilu 2004. Di putaran pertama Pemilu 2004 Demokrat hanya didampingi oleh satu partai Islam yakni PBB. Kemudian, di putaran kedua Demokrat didampingi oleh PKS, sementara PKB, PPP, dan PAN memilih menjadi partai netral. SBY menang, salah satunya karena peran 7,34 persen suara milik PKS yang cukup signifikan.
Setelah SBY menjabat presiden, akhirnya semua partai Islam yang disebut di atas berlabuh ke sisi Demokrat. SBY dan Demokrat pun punya legitimasi penuh memerintah dengan label “Islami”, karena semua partai Islam berada di sisinya. Hal ini terlepas, tentu saja, dari permainan tokoh Islam sekaligus Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang terus bermanuver di parlemen, dan disebut-sebut menjadi “the real president” di periode pertama SBY, kata Buya Syafi Ma’rif.
Dari sudut pandang kekuatan politik, koalisi Islam ini bertahan sampai periode kedua SBY berkuasa dan menghasilkan citra pemerintahan kuat Islam-militer milik SBY.
Lalu, bagaimana jika dilihat dari sudut pandang kebijakan publik? Apakah SBY memiliki keberanian, katakanlah untuk mengambil sikap politik maupun keputusan yang tidak populer di mata umat Islam?
Sepertinya, SBY memang berani mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak populer di sebagian kalangan Islam. Kesuksesan tersebut sepertinya merupakan buah dari keberhasilannya membangun koalisi dengan seluruh partai Islam.
Hal ini terlihat dari keberanian SBY menumpas banyaknya teroris dan menyelesaikan kasus terorisme sampai akarnya di dua periode kepemimpinannya. Pada periode pertama, SBY menangkap Abu Bakar Ba’syir dan sejumlah teroris kawakan lainnya yang menjadi dalang Bom Bali I dan II.
Pada periode kedua, SBY bahkan sukses merumuskan program deradikalisasi Islam yang ampuh mengurangi secara signifikan jumlah aksi terorisme. Program ini dicontoh oleh banyak negara ASEAN, dan menjadikan politik Islam sebagai senjata utama SBY di luar negeri, tak hanya di dalam negeri saja.
Bagaimana dengan kiprah ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI)? Sang pimpinan Rizieq Shihab bahkan mampu ditangkap dan dijebloskan ke penjara akibat aksi anarkis ormasnya di acara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada tahun 2008. Sementara, bisa dibayangkan betapa sulitnya menangkap Rizieq di era Jokowi sekarang ini.
Tak hanya Rizieq, FPI pun cenderung minim aksi dan dapat dikontrol di era SBY. Beberapa sumber bahkan mengatakan SBY melalui Jenderal Polisi Sutanto yang menjabat Kapolri sampai 2008, benar-benar mengontrol FPI dengan “menernaki” mereka, menurut sebuah laporan Wikileaks.
Walaupun telah dibantah oleh pihak Polri, namun fakta bahwa FPI tidak banyak bertindak anarkis apalagi sampai membawa ratusan ribu massa di pusat Kota Jakarta, menandakan kelompok Islam oposisi tidak memiliki momentumnya di rezim SBY.
Maka, taring-taring SBY dan Demokrat sebenarnya menancap dengan kuat di kalangan Islam. Hanya saja, di akhir kuasanya, SBY kehilangan kemampuan mengontrol PKS—termasuk FPI, ormas yang bersekutu dengan PKS—dan akhirnya pisah jalan pada Pemilu 2014.
Apa Tawaran AHY?
“Janganlah kita membentur-benturkan Islam dan Pancasila. Karena Islam dan agama manapun yang diakui di Indonesia ini kompatibel dengan nilai-nilai luhur pancasila.”
-Agus Harimurti Yudhoyono-
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon terdepan Demokrat saat ini punya modal yang begitu baik. Tak hanya muda, visioner, dan kerap menyasar para pemilih pemula, AHY pun punya citra yang baik di kalangan umat Islam. Ini yang menjadikan AHY punya elektabilitas tertinggi sebagai cawapres pada Januari 2018, mencapai 15,85 persen.
Apakah modal kedekatan ayahnya dengan kalangan santri, berdampak positif bagi AHY? Sepertinya demikian. Tapi tak hanya di kalangan santri NU, AHY disebut-sebut juga sudah punya modal baik di kalangan warga Muhammadiyah. Safari AHY di berbagai daerah “milik” NU dan Muhammadiyah menghasilkan popularitas yang tinggi di kalangan dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu. Setidaknya itu pendapat Rais Naam NU sekaligus Ketua MUI Ma’ruf Amin.
Belum lagi, bila menilik dari idealisme AHY sebagai calon yang muda dan Islami, seperti pendapat Taufik Febri di awal tulisan. Maka, sebenarnya tokoh seperti AHY dapat menjadi pilihan yang menarik.
Karena muda dan sering menjadi pembicara di kampus-kampus, AHY populer di kalangan muda. Dan karena AHY adalah orangnya partai tengah, maka ia juga dapat menengahi polarisasi politik Pancasilais vs Islam yang sedang panas-panasnya belakangan ini.
AHY jelas menjadi pilihan yang menarik untuk menjadi cawapres Jokowi. Apalagi, kekuasaan Jokowi atas parpol Islam pun sebenarnya tak sekuat SBY dulu, karena hanya ada dua partai yang setia (PKB dan PPP), sementara satu partai lain cenderung mbalelo (PAN) dan satu partai oposisi (PKS).
Sementara dulu, SBY punya tiga partai setia (PKB, PPP, PAN) dan satu partai mbalelo (PKS), selama kurang lebih sepuluh tahun. Demokrat sangat punya keuntungan dan dapat menawarkan kelebihan ini kepada Jokowi.
Bila Jokowi resah dengan hitung-hitungan kursi parlemen milik Demokrat, sepertinya Jokowi perlu mempertimbangkan teori koalisi dari William H. Riker. Dalam positive political theory, khususnya game theory, dijelaskan bahwa koalisi yang baik tidak perlu dijalankan dengan partai pemilik kursi terbanyak.
Menurut Riker, dua partai medioker saja cukup untuk membangun koalisi, bila keduanya ingin melawan partai terbesar itu. Alasannya, bila partai-partai medioker sampai kecil mampu berkoalisi, maka jumlah total kursi mereka akan mengalahkan jumlah kursi milik partai terbesar.
Tak hanya membentuk koalisi yang ramping, Riker juga menyarankan agar seorang aktor politik mempertimbangkan sosok dan ketokohan daripada mempertimbangkan partai dengan suara terbesar. Karena dalam beberapa kasus, sosok akan dapat mengangkat elektabilitas partai, dan mampu mengalahkan partai dengan mesin politik yang baik di akar rumput.
Apakah dengan demikian ini menjadi modal Demokrat, partai tengah dengan kekuatan citra politik? Apakah citra SBY dan AHY cukup baik untuk membantu Demokrat di 2019?
Setidaknya, bila melihat partai terbesar pendukung Jokowi, yakni PDIP yang belum mewacanakan untuk kembali mengusung sang presiden, maka kondisinya masih abu-abu bagi Jokowi. Ia dapat ditinggalkan oleh PDIP di tengah jalan. Sementara, PDIP sebagai partai terbesar dapat dikeroyok oleh partai-partai yang lebih kecil bila begini terus.
Dengan kondisi seperti itu, Jokowi harus mengamankan partai-partai lebih kecil lainnya dalam rangkulannya. Golkar, Nasdem, Hanura, PSI sudah. Apakah sekarang giliran Demokrat?
Jokowi sepertinya benar-benar harus mempertimbangkan AHY dan “Islam-nya Demokrat” untuk ikut di dalam koalisinya untuk 2019. (R17)