Dengarkan artikel ini:
Di tengah dinamika politik yang tengah terjadi pasca-pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, seorang wakil presiden (wapres) disebut ingin memiliki “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming Raka wants to break free?
“I’ve got to break free. God knows, God knows I want to break free” – Queen, “I Want to Break Free” (1984)
Mungkin, bagi sebagian banyak penggemar film dan musik masih ingat dengan animo publik terhadap sebuah film yang dirilis pada tahun 2018. Film itu mengisahkan perjalanan hidup seorang musisi legendaris yang merupakan bagian dari band ternama asal Britania (Inggris) Raya, Queen.
Musisi itu adalah sang vokalis yang bernama Freddie Mercury. Dalam perjalanan kariernya sebagai musisi, tidak dapat dipungkiri bahwa Mercury telah menorehkan banyak warisan, baik melalui songwriting-nya maupun suaranya yang khas.
Di balik pekikan suara indah Mercury, tentunya terdapat makna-makna terdalam di setiap baris liriknya. Salah satu lagu yang memiliki tingkat makna demikian adalah “I Want to Break Free,” yang mana merupakan single kedua dari album The Works (1984).
Mengapa lagu ini begitu fenomenal? Ya, jawabannya adalah karena video musiknya yang begitu nyentrik – bila disesuaikan dengan norma yang berlaku kala itu di Inggris.
Dalam video musik itu, tampak Mercury dan teman-teman se-band-nya mengenakna pakaian perempuan sambil mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, mulai dari membersihkan lantai hingga mencuci baju.
Meskipun secara visual lagu itu begitu menghebohkan publik, makna yang ingin ditunjukkanpun sebenarnya dalam, yakni bagaimana seseorang ingin bisa terbebas dari kekangan-kekangan kehidupan, mulai dari norma, tekanan pekerjaan, hingga kemiskinan struktural.
Mungkin, perasaan yang dimiliki oleh Mercury dkk saat menulis lagu ini kini juga hadir dalam benak sejumlah politisi Indonesia. Bukan tidak mungkin, politikus itu adalah Gibran Rakabuming Raka yang kini menjabat sebagai wakil presiden (wapres) RI.
Mengapa demikian? Mengapa Gibran kini bisa dibilang sedang want to break free atau ingin terbebas?
Gibran yang Terkekang?
Dalam pemerintahan Indonesia, posisi wapres sebenarnya tidak memiliki peran dan wewenang luas. Semua bergantung pada kehendak presiden soal kewenangan apa yang didelegasikan kepada wapresnya.
Dasar hukum atas jabatan wapres sendiri diatur dalam UUD NRI 1945, tepatnya pada pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa presiden dibantu oleh seorang wapres dalam menjalankan kewajibannya.
Selain pasal tersebut, jabatan wapres juga disebutkan pada pasal 8 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa wapres menggantikan presiden jika presiden tidak mampu menjalankan tugasnya, seperti bila mangkat, berhenti, diberhentikan, atau sejumlah alasan lain yang membuat presiden tidak dapat menjalankan kewajibannya.
Namun, kewajiban dan kewenangan seorang wapres RI tidaklah jelas. Beberapa wapres sebelumnya memiliki kewenangan lebih di luar kantor wapres karena memiliki kemampuan atau pengaruh lebih.
Wapres ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), misalnya, memiliki peran lebih dalam sejumlah bidang saat menjabat. Salah satunya adalah bagaimana JK berperan besar dalam upaya mediasi dan perdamaian di sejumlah daerah konflik seperti Aceh.
Tidak hanya itu, JK juga memiliki peran besar dalam sejumlah kebijakan ekonomi saat menjabat sebagai wapres di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa di antaranya adalah pengaruh JK dalam kebijakan infrastruktur.
Selain JK, ada juga Wapres ke-13, K.H. Ma’ruf Amin, yang kerap disebut warganet sebagai pejabat yang AFK (away from keyboard) alias jarang terlihat bekerja. Namun, tanpa diketahui banyak orang, Ma’ruf memiliki pengaruh besar dalam ekonomi syariah, khususnya dalam dunia perbankan syariah Indonesia.
Keterbatasan kekuatan wapres ini juga bukanlah rahasia dalam dunia akademik. Mengacu ke tulisan Norsharil Saat, seorang peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, dalam tulisannya yang berjudul “The Implications of a Ma’ruf Amin Vice Presidency in Indonesia”, keterbatasan wapres dinilai tidak akan mengubah banyak kepemimpinan presidennya.
Bila benar demikian, lantas, mengapa Gibran bisa jadi menjadi kasus yang berbeda? Mungkinkah Gibran breaks free dan memengaruhi pemerintahan Prabowo Subianto?
Gibran Berani “Senggol” Prabowo?
Menariknya, seperti JK dan Ma’ruf, Gibran berusaha mencari ruang geraknya sendiri. Ini terlihat dari bagaimana Gibran melakukan sejumlah kegiatan blusukan dan uji coba makan bergizi gratis.
Apa yang dilakukan Gibran sebenarnya masuk akal. Dalam politik, modal Gibran tentu terbatas bila posisi wapres tidak memiliki kewenangan dan peran yang luas.
Padahal, karier politik Gibran masihlah panjang. Dengan usia yang masih sangat muda, Gibran memiliki petualangan yang masih panjang. Belum lagi, Gibran adalah kini simbol dari kekuatan Jokowi dalam dinamika politik saat ini.
Mengacu ke tulisan Kimberly Casey yang berjudul Defining Political Capital, dalam dinamika politik, terdapat modal yang dimiliki dan digunakan. Untuk memanfaatkan modal politik, sejumlah modal lain-pun bisa ditransformasikan menjadi modal politik.
Modal sosial, misalnya, merupakan modal yang didapatkan melalui relasi sosial yang dimiliki oleh seorang politikus. Dalam kasus Gibran, modal sosial itu sudah dimiliki melalui relasi yang dimilikinya melalui Jokowi dan para pendukung politiknya.
Namun, modal institusional Gibran bisa jadi terbatas melalui posisinya sebagai wapres. Menariknya, sejumlah kabar mengatakan bahwa Jokowi ingin Gibran mendapatkan kewenangan lebih dari Prabowo.
Bila kabar itu benar, bukan tidak mungkin, Gibran akan mendapatkan modal institusional lebih luas. Well, jika kabar itu benar adanya, mungkin, seperti lagu Queen di awal tulisan, Gibran ingin bisa lebih break free dengan modal politik yang lebih luas. (A43)