Site icon PinterPolitik.com

Gibran Mudah Dikalahkan “Anak Indie”?

Gibran Mudah Dikalahkan Anak Indie

Calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta Februari lalu. (Foto: The Jakarta Post)

Kepastian bertarungnya calon independen Bagyo Wahyono-FX Suparjo (Bajo) dalam Pilkada 2020 edisi Kota Solo menjadikan kontestasi Desember mendatang kian menarik. Tak hanya dianggap memunculkan alternatif dari potensi monopoli Gibran-Teguh semata, melainkan memberikan jawaban atas sebuah kebuntuan. Jawaban apakah itu?


PinterPolitik.com

Kopi, senja, dan rintik hujan menjadi frasa filosofis populer bagi kalangan beraliran indie. Ya, sebuah aliran yang cukup jamak dianut kaum muda kekinian dalam mendefinisikan jati diri mereka, anak indie.

Indie sendiri merupakan kependekan dari kata independent, yakni sifat-sifat yang mandiri, bebas, atau merdeka. Aliran ini tercitrakan pada musik, gaya hidup, hingga penampilan.

“Mahzab” indie belakangan juga merambah ranah politik. Bukan dalam definisi indie sebelumnya, tetapi sebagai calon independen – tanpa usungan partai politik (parpol) – untuk maju dalam kontestasi pesta demokrasi Pilkada 2020.

Menjadi menarik karena dalam salah satu arena pertarungan yakni di Kota Solo, “anak indie” dipastikan akan berhadapan dengan anak orang nomor satu di republik.

Ialah Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo), yang akhirnya berhasil memenuhi persyaratan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon independen dan akan menjadi penantang putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka pada Desember mendatang.

Meski isu calon boneka hingga presumsi kredibilitas yang dipertanyakan menyeruak, eksistensi Bajo tetap saja membuat sorotan publik ditaksir akan cukup masif dalam meramaikan dan mengawal Pilkada Kota Solo edisi kali ini.

Tengok saja proses pendaftaran ke KPU pada ahad lalu. Para pendukung Bajo yang diperkuat organisasi masyarakat (ormas) Tikus Pithi Hanata Baris dan beratribut serba hitam, berbondong-bondong mengantarkan jagoannya itu.

Bahkan jika dibandingkan pasangan Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa, jumlah massa pengantar Bajo jauh lebih banyak dan disambut antusias masyarakat di sepanjang perjalanan, meski dalam arak-arakan itu para pendukung harus berjalan kaki di tengah terik matahari.

Apalagi sebelumnya, terdapat deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Kota Solo yang disinyalir akan mencurahkan dukungannya pada pasangan Bajo sebagai alternatif konkret dan mendukung relevansi isu yang selama ini digaungkan, yang “kebetulan” berseberangan terhadap koalisi politik Gibran-Teguh.

Atas faktor tersebut, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto menyebut bahwa Bajo berpotensi memberikan kejutan pada hasil akhir Pilkada 2020 Kota Solo jika KAMI benar-benar mendukungnya.

Lantas, mengapa eksistensi calon independen pada Pilkada 2020, utamanya di Kota Solo kali ini begitu menarik? Adakah makna tertentu di balik pertarungan antara anak indie melawan anak presiden tersebut?

Fenomena Sosio-Kultural

Pada dasarnya, kemunculan calon independen merupakan fenomena lumrah dalam berbagai sistem pemilihan umum (pemilu) di banyak negara. Kajian mengenai keterkaitan antara demokrasi dengan calon independen dalam pemilu juga beragam.

Dawn Brancati dalam Winning Alone: The Electoral Fate of Independent Candidates Worldwide menilai jika calon independen merupakan respon dan sekaligus katalisator bagi kualitas pemilu melalui isu-isu seperti sistem pemilu, partisipasi pemilu, dan deparpolisasi (melemahnya parpol) atau sentimen anti partai politik.

Diskursus mengenai melemahnya peran dan citra parpol di tanah air sendiri memang kian mengemuka belakangan ini. Pilkada 2020 Kota Solo juga menguak sorotan minor ketika nyaris semua parpol mendukung Gibran Rakabuming secara “berjamaah” dalam pencalonan.

Oleh karenanya sebelum Bajo muncul, Pilkada Solo tak hanya mengesankan terciptanya dinasti politik, tetapi juga menyingkap kegagalan parpol yang dianggap tak representatif bagi rakyat, dalam hal ini untuk menghadirkan pilihan alternatif demi tegaknya nilai demokrasi.

Aspek sosio-kultural dan historis politik Indonesia dinilai cukup tepat dalam memahami mengapa fenomena tendensi kegagalan parpol tersebut bisa terjadi, sehingga memunculkan calon independen.

Dalam tulisannya yang berjudul Elections and the Normalization of Politics in Indonesia, Edward Aspinall mengutip Clifford Geertz yang melakukan studi mengenai identitas sosio-kultural masyarakat Indonesia pada dekade 50-an dan dikatakan menjadi determinan kuat bagi fondasi terbentuknya parpol di tanah air.

Abangan, priyayi, dan santri disebut Aspinall menjadi tiga aspek vital yang sangat mewakili identitas sosio-kultural masyarakat kala itu atas eksistensi Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Masyumi, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), sebelum menginspirasi terbentuknya parpol lain bahkan kehadiran calon independen yang meramaikan pemilu pertama dalam sejarah republik pada tahun 1955.

Ketika eksistensi dan geliat parpol serta jalannya demokrasi belum sempurna, pergantian kekuasaan ke tangan Presiden Soeharto menjadi titik awal hancurnya citra dan visi parpol yang terkonstruksi selama beberapa dekade.

Jangankan calon independen, demokrasi bahkan terasa semu akibat fusi organisasi peserta pemilu yang kemudian membuat selama perjalanannya, hanya ada tiga parpol dalam ekosistem politik Orde Baru (Orba), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Hal tersebut membuat parpol semata-mata identik dengan corong kepentingan kekuasaan semata, bukan sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan rakyat. Tak hanya di level representasi parlemen, asas keterwakilan kepala daerah yang sesuai dengan aspirasi rakyat juga dianggap tertutup.

Sayangnya, reformasi pun nyatanya dianggap tak dapat mengembalikan marwah sejati parpol yang terbentuk dari identitas sosio-kultural masyarakat. Hal ini dinilai diakibatkan oleh mengakarnya mindset para aktor atas “keuntungan” tradisi politik Orba.

Sejak pemilu 1971 hingga edisi 2004 praktis dapat dikatakan eksistensi parpol ideal merupakan fatamorgana, terlebih belum ada regulasi yang mengatur opsi alternatif dari calon independen.

Terobosan di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai menjadi tonggak penting warna baru demokrasi Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menjadi landasan hukum bagi diperkenankannya kandidat pesta demokrasi dari jalur non-parpol.

Setelahnya, calon independen terus bermunculan sebagai jawaban dari transformasi identitas sosio-kultural masyarakat atas residu stigma negatif parpol era Orba yang dianggap belum banyak dibenahi paska reformasi.

Tak hanya bermunculan, nyatanya para calon independen juga jamak yang merengkuh tampu kekuasaan. Pada Pilkada 2015 misalnya, terdapat 12 Bupati dan Wali Kota indie yang sukses membungkam calon besutan koalisi parpol.

Oleh karenanya, keberadaan Bajo dalam Pilkada 2020 Kota Solo mencerminkan simbol penting di tengah tren minor peran parpol dalam demokrasi yang belum banyak berubah. Apalagi konteksnya dinilai sangat urgen dalam melawan isu dinasti politik, krisis meritokrasi parpol, hingga kartel politik.

Lantas, sejauh mana pasangan Bajo berpeluang mengalahkan Gibran-Teguh?

Pecahkan Kebuntuan?

Menghadirkan prediksi hasil akhir serunya Pilkada 2020 Kota Solo mendatang tentu bukanlah hal terlarang. Kalkulasi rasional jika berkaca pada koalisi parpol di belakang Gibran-Teguh memang membuat pasangan ini di atas angin.

Akan tetapi seperti halnya kontestasi apapun, hasil belum dapat dipastikan sampai peluit akhir dibunyikan. Artinya peluang menumbangkan anak presiden bukanlah hal mustahil bagi pasangan Bajo.

Fenomena isu minor atas dinamika politik level nasional kekinian serta kemenangan sejumlah calon independen pada Pilkada edisi lima tahun silam menjadi modal berharga bagi Bajo.

Lebih dalam, Brian John Costar dan Jennifer Claire Curtin dalam tulisannya yang berjudul Rebels with a Cause: Independents in Australian Politics menyatakan bahwa calon independen dapat meningkatkan konsolidasi demokrasi dengan menghadirkan keterbukaan politik.

Selain itu, Costar dan Curtin menambahkan jika keberadaan calon independen cukup positif dalam mewujudkan pemilu yang lebih kompetitif serta mengurangi jumlah non-pemilih atau golput.

Artinya, calon independen seperti Bajo dapat dikatakan berpeluang pula meraup suara dari ceruk pemilih yang masih “mengambang”, tentunya dengan keunggulan relevansi isu dibandingkan kubu lawan.

Pada saat yang sama, perwujudan pemilu yang lebih kompetitif menyiratkan makna bahwa eksistensi Bajo juga memecah kebuntuan tendensi parpol yang dinilai berusaha menciptakan kartelisasi politik dengan pembentukan koalisi besar demi menghalangi kompetisi atau lahirnya kompetitor.

Rakyat Solo menggenggam sebuah keputusan monumental dalam demokrasi Indonesia pada Desember mendatang.

Signifikansi dinamika isu politik yang belakangan mengemuka plus kontrasnya latar belakang kandidat tampaknya akan membuat hasil akhir kontestasi cukup merepresentasikan kualitas demokrasi Indonesia saat ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version