Site icon PinterPolitik.com

Gibran Mengubah Demokrasi Indonesia?

Gibran Mengubah Demokrasi Indonesia?

Gibran Rakabuming Raka (Foto: Tara Wahyu NV/DetikJateng)

Putra sulung Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka telah memberikan perubahan pada demokrasi Indonesia. Gibran telah membuat pembicaraan mengenai cawapres menjadi jauh lebih kuat dan menarik dibanding edisi pilpres-pilpres sebelumnya.


PinterPolitik.com

“Politics is the art of making your selfish desires seem like the national interest.” – Thomas Sowell

Ada fenomena menarik di Pilpres 2024. Tidak seperti perhelatan pilpres-pilpres sebelumnya, pembicaraan dan pemberitaan mengenai kandidat cawapres jauh lebih banyak dan kuat. Berbagai isu dan sudut pandang mencuat. Berbagai tokoh ramai disebutkan akan menjadi cawapres dan dicocok-cocokkan dengan kandidat capres tertentu.

Mungkin, untuk pertama kalinya sosok cawapres benar-benar dilihat sebagai game changer atau perubah permainan. Pemilihan cawapres sangat dipercaya dapat memperkuat atau justru memperlemah si capres. Cawapres tidak lagi hanya sebagai pelengkap, dan tidak lagi terdengar diksi “ban serep”.

Oleh karenanya, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pembahasan cawapres tidak kalah seksinya dengan pembahasan capres. Keduanya memiliki bobot pembahasan yang sama. Bahkan mungkin dapat dikatakan, Pilpres 2024 adalah pertarungan para cawapres.

Melihat fenomena itu, tentu pertanyaannya sederhana. Kenapa terjadi perubahan itu? Kenapa pembahasan mengenai cawapres menjadi begitu seksi?

Kenapa Terjadi?

Ada tiga alasan kunci di balik perubahan politik yang menarik itu. Alasan pertama, kekuatan ketiga bacapres yang sudah muncul di publik terbilang setara. Popularitas dan elektabilitas ketiganya terbilang kompetitif. Tidak terdapat bacapres yang begitu menonjol.

Karena terbilang setara, ketiga bacapres kemudian mencari sosok cawapres yang dapat menambal kelemahan dan meningkatkan keterpilihannya.

Simpulan ini juga disebutkan oleh Wasisto Raharjo Jati dalam tulisannya Why vice presidents matter in Indonesia – especially in 2024 di Indonesia at Melbourne pada 5 Mei 2023. Menurut Wasisto Jati, pilihan cawapres adalah kesempatan bagi kandidat capres untuk menarik pemilih di luar basis pemilih tradisionalnya.

Itu terlihat jelas di Anies Baswedan, satu-satunya bacapres yang sudah menetapkan bacawapresnya. Terpilihnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan jelas untuk menutupi kelemahan Anies di Jawa Timur. Seperti disebutkan oleh Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali, Anies lemah di tujuh provinsi, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Kalau dari internal kita kurang lebih Anies kalau tidak salah kalah di tujuh provinsi, tapi yang lebih substansif itu di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ungkap Ali pada 19 April 2023. Faktor itu juga diakui Anies ketika diwawancara oleh Najwa Shihab.

“Di bulan Juni kepada semua saya sampaikan kita perlu mengundang PKB. Kenapa? Karena kita lemah di Jawa Timur, lemah di Jawa Tengah dan kita membutuhkan partai yang punya basis kuat di sana. Jadi, ketika ada nama ini (Cak Imin), ini adalah nama yang sesuai dengan kebutuhan,” ungkap Anies di YouTube Najwa Shihab yang tayang pada 4 September 2023.

Alasan kedua, para kandidat cawapres potensial di Pilpres 2024 terlihat jauh lebih atraktif. Kita dapat dengan mudah menemukan pemberitaan dan konten mereka di media massa dan media sosial. Sebut saja nama Erick Thohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Ridwan Kamil, Andika Perkasa, Airlangga Hartarto, dan seterusnya.

Alasan besar di balik berbagai atraksi itu adalah pertumbuhan pesat media sosial. Pinal Yildirim dalam tulisannya How Social Media Is Shaping Political Campaigns pada 17 Agustus 2020, menjelaskan bahwa media sosial telah memberi perubahan besar terhadap cara dan metode kampanye.

Media sosial memungkinkan kandidat untuk berbicara langsung dengan pemilih. Itu memungkinkan komunikasi dua arah, di mana kandidat dan pemilih dapat berbalas komentar hingga membuat konten kolaborasi. Menurut Yildirim, itu tidak pernah terjadi sebelumnya di sejarah demokrasi manusia.

“Jika Anda melihat cara para politisi berkomunikasi saat ini, itu sangat berbeda dengan cara mereka berkomunikasi lima atau sepuluh tahun yang lalu,” tulis Yildirim.

Faktor Gibran?

Alasan ketiga yang sekiranya paling menarik dan merupakan faktor terbesar. Masuknya nama putra sulung Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat cawapres Ganjar dan Prabowo benar-benar mengubah peta permainan.

Untuk pertama kalinya di demokrasi Indonesia, anak presiden yang masih menjabat tengah disebut-sebutkan untuk menjadi cawapres. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah usia Gibran yang masih menginjak 35 tahun. Secara legal formal Gibran bahkan tidak memenuhi syarat karena undang-undang mewajibkan minimal usia capres-cawapres adalah 40 tahun.

Setidaknya dalam dua tahun terakhir, nama Gibran memang berubah menjadi magnet politik. Berbagai elite politik berusaha mendekat. Nama besar seperti Prabowo Subianto bahkan tanpa malu-malu ingin menunjukkan kedekatannya dengan Wali Kota Solo tersebut.

Namun, menimbang pada aspek legal formal, Gibran tampaknya tidak benar-benar diperebutkan sebagai cawapres.

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Kenapa Gibran Diperebutkan Jadi Cawapres? pada 22 Agustus 2023, telah dijabarkan bahwa diperebutkannya Gibran sebagai cawapres sebenarnya adalah perang simbol.

Itu adalah perang simbol untuk menarik hati Presiden Jokowi. Sebagaimana yang terlihat, PDIP dan Partai Gerindra tengah salim klaim dukungan politik Jokowi.

Siapa yang didukung Gibran akan menjadi sinyal dan simbol yang kuat atas kemana dukungan Jokowi berlabuh. Gibran adalah simbol atas dukungan politik Jokowi itu sendiri.  

Well, kira-kira itulah tiga alasan kuat di balik besarnya perhatian dan pemberitaan terhadap isu cawapres menjelang Pilpres 2024. Mari menikmati pesta demokrasi tahun depan. (R53)

Exit mobile version