HomeNalar PolitikGibran Memang Seharusnya Jadi Cawapres

Gibran Memang Seharusnya Jadi Cawapres

Banyak yang melihat pengalaman dan usia Gibran Rakabuming Raka sebagai hambatan bagi dirinya untuk menjadi seorang calon wakil presiden (cawapres). Tapi, apakah usia dan pengalaman adalah hambatan yang mutlak? 


PinterPolitik.com 

Setelah Prabowo Subianto mengumumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres)-nya, tidak sedikit warganet dan juga pejabat publik yang mempertanyakan potensi kapabilitas politik Walikota Solo tersebut. Sebagian besar dari mereka berargumen bahwa Gibran adalah sosok yang terlalu muda dan minim pengalaman politik. 

Salah satu pernyataan yang paling mencuri perhatian publik dalam konteks ini datang dari mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP), atau yang dikenal sebagai Ahok.  

Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, Ahok menyatakan bahwa pengalaman politik Gibran masih minim. Lebih khusus, Ahok menyoroti bahwa Gibran belum pernah berada di lembaga legislatif dan belum memiliki pengalaman dalam tataran eksekutif provinsi. Hal itu membuat Gibran sulit mengerti keadaan politik Indonesia, kata Ahok. 

Pendapat seperti yang diungkapkan Ahok hanyalah salah satu dari banyak pandangan serupa yang beredar di media sosial, yang cenderung pesimis terkait usia Gibran yang baru menginjak 36 tahun. Mereka seakan satu suara bahwa faktor usia sangat memengaruhi prospek kepemimpinan Gibran sebagai calon wakil presiden. 

Namun, ada satu aspek penting yang sepertinya terlupakan dalam perdebatan ini, yaitu bahwa usia seorang kandidat bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam kepemimpinan. Kalau kita mengutip pandangan dari pendiri Bijak Memilih, Andhyta F. Utami (Afutami), dalam menjadi seorang pemimpin, ada faktor lain yang lebih penting dari sekadar umur kandidat, yaitu lingkungan yang melatarbelakangi kehidupan dari sang kandidat. 

Terkait hal itu, kita perlu mengingat bahwa Gibran sebetulnya memiliki satu modal politik yang tidak dimiliki oleh politisi lain untuk saat ini, dan itu adalah status Gibran sebagai anak dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang memimpin Indonesia selama 10 tahun. Bagi keutuhan demokrasi, pemimpin yang memiliki status tersebut sebetulnya sangat perlu didorong untuk masuk politik. 

Lantas, bagaimana hal ini bisa menjadi nilai positif bagi Gibran? 

image

Aristos” dalam Demokrasi 

Ketika kita bicara tentang politik dan demokrasi, tampaknya akan lebih menarik bila kita juga berkaca ke asal mulanya, yakni Yunani Kuno. Yunani memang dikenal sebagai fondasi dari demokrasi modern, tapi banyak yang sepertinya lupa bahwa demokrasi yang diterapkan di negara-negara kota Yunani kuno, khususnya Athena, juga memiliki nilai-nilai aristokrasi. 

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Mungkin kita bisa langsung ambil contoh keadaan di Athena pada abad ke-4 sebelum masehi (SM), ketika Athena berperang melawan Kekaisaran Persia.  

Disebutkan dalam buku A Companion to Greek Studies oleh Leonard Whibley, sebelum berperang, Athena adalah negara-kota yang sangat mengutamakan kuantitas voting politik penduduknya dibanding bobot dari pemilih yang melakukan keputusan kebijakan. Namun, setelah Persia menyerang, kondisi tersebut berubah drastis. 

Perangnya Athena dengan Persia membuat mereka sadar bahwa agar eksistensi negara-kota Athena bisa terjamin, mereka perlu memiliki sebuah sistem di mana pengambilan keputusan politik dilakukan oleh orang-orang yang sudah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan politik dan militer, hal ini agar ketika suatu krisis muncul, modal yang dimiliki orang-orang tersebut bisa digunakan secara maksimal. 

Akibatnya, dari yang tadinya memiliki sistem demokrasi langsung, orang-orang Athena kembali mengaplikasikan sedikit nilai aristokrasi dalam bentuk memilih orang-orang yang berasal dari keluarga bangsawan untuk memegang sejumlah posisi politik yang krusial, yang utamanya dikenal sebagai Magistrate. Karena ini pula akhirnya bisa muncul pemimpin-pemimpin muda yang energetik di sistem politik Athena, dan negara-negara kota Yunani di sekitarnya. 

Nah, fenomena aristokrasi-demokrasi ini bisa jadi refleksi kita terhadap situasi Gibran saat ini. Filsuf Yunani, Plato, melalui analogi kapal demokrasinya, pernah mengatakan bahwa suatu kapal lebih baik memiliki nahkoda yang familiar dengan kondisi laut dibandingkan rakyat jelata yang hanya tahu laut dari cerita-cerita orang. Kalau memang politik dan demokrasi kita ibaratkan seperti laut, tentu akan sangat baik bila kita memiliki pemimpin yang memang sudah paham situasi dan kondisi politik, bukan? 

Atas dasar itu, perlu kita sadari bersama bahwa Gibran mungkin adalah satu-satunya politisi yang saat ini mengalami langsung bagaimana rasanya hidup “satu atap” dengan seorang Presiden yang menjabat selama 10 tahun. Walaupun Gibran saat ini hanya berusia 36 tahun, lingkungan kepresidenan yang dialaminya selama 10 tahun tersebut mungkin lebih berharga daripada pengalaman politisi-politisi lain yang hanya tahu politik dari posisi legislatif, atau kepala daerah semata. 

Atas dasar itu, opini dari Afutami yang disebutkan dalam awal tulisan ini bisa jadi ada benarnya. Dalam melihat Gibran, kita tidak bisa melihatnya sebagai individu saja, tetapi juga perlu mempertimbangkan lingkungan politik yang membesarkannya, dari seorang remaja, sampai orang dewasa saat ini. Layaknya seorang Magistrate, melihat latar belakang lingkungan Gibran, ia sebetulnya adalah sosok yang sangat bisa kita percaya untuk menjadi salah satu pemimpin Indonesia. 

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Di satu sisi, mungkin lingkungan politik ini pula yang membuat Gibran mengatakan tertarik untuk terjun politik dalam acara Mata Najwa pada tahun 2018. 

Namun, lingkungan politik Gibran bukan satu-satunya advantage dari seorang anak presiden dalam memantapkan dirinya sebagai cawapres. 

image 1

Gibran Bisa Sehebat Augustus dan Alexander? 

Untuk kalian yang senang sejarah, pasti kalian tidak asing dengan nama Caesar Augustus dan Alexander the Great. Yap, dua orang tersebut sering dianggap sebagai pemimpin muda yang paling sukses dalam sejarah, Augustus berhasil menjadi kaisar pertama Romawi saat berumur 36 tahun, sementara Alexander berhasil menaklukkan Persia saat berumur 26 tahun. 

Namun, dua orang tersebut tidak menjadi pemimpin yang hebat hanya karena usahanya sendiri, tetapi juga karena sosok-sosok mentor yang berada di sekitarnya. Augustus bisa menjadi salah satu Kaisar Romawi yang paling sukses karena ia dikelilingi oleh penasihat-penasihat ayah angkatnya, Julius Caesar. Begitu juga dengan Alexander, yang mendapatkan privilege untuk menjadi murid pribadi dari filsuf terkenal Yunani, Aristoteles. 

Gibran di satu sisi sebetulnya memiliki situasi yang tidak jauh berbeda dengan Augustus dan Alexander. Seperti yang kita ketahui, sebagai cawapres di kubu Prabowo, Gibran memiliki kesempatan untuk mendapatkan keilmuan politik, ekonomi, dan kebangsaan yang tinggi dari sosok seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Erick Thohir, Airlangga Hartarto, dan Yusril Ihza Mahendra. Bisa jadi, sosok-sosok ini akhirnya mampu membuat Gibran layaknya Augustus dan Alexander di masa sekarang. 

Akhir kata, kita pun tidak boleh melupakan bahwa sebetulnya banyak pemimpin-pemimpin muda negara lain yang berasal dari keluarga politik, yang memiliki masa kepemimpinan relatif diapresiasi oleh rakyatnya, seperti Perdana Menteri (PM) Kanada, Justin Trudeau dan eks-Presiden Amerika Serikat (AS), John F. Kennedy.  


Berdasarkan hal-hal di atas, sebenarnya tidak banyak alasan bagi kita untuk tidak melihat Gibran sebagai cawapres, apalagi hanya karena usianya. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?